Kumpulan Cerita Pendek Horor
Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Mereka selalu memperhatikan kita, setiap waktunya. Tidak peduli itu pagi, siang, sore, atau malam. Selama 24 jam kita hidup bersama mereka.
Jangan merasa tenang ketika matahari masih muncul di hadapan kita. Mereka tetap akan memberitahu jika mereka ada, walaupun ketika matahari masih bertugas di langit atas. Bukan hanya malam, mereka ada setiap waktunya. 24 jam hidup berdampingan bersama kita.
Mereka ada, melakukan kegiatan layaknya manusia. Mereka bisa melihat kita, tetapi kita belum tentu bisa melihat mereka. Hanya ada beberapa yang bisa merasakan kehadiran mereka, tanpa bisa melihatnya.
Apa yang akan kamu lakukan, jika kamu bersama mereka tanpa sadar. Apa yang akan kamu lakukan, jika mereka menampakkan dirinya di depan kamu. Mereka hanya ingin memberitahu jika mereka ada, bukan hanya kita yang ada di dunia ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ashputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Ada Pocong di Rumah Ibuku
"Jadi gak lo nginep di rumah gue?" tanya Hadi pada temannya saat ini.
"Jadi, bentar abisin kopi sama rokok dulu," jawab Reza dengan rokok yang berada di tangannya.
Hadi menganggukkan kepalanya mengerti, lalu ia duduk di samping Reza seraya menyalakan satu bungkus rokok di tangannya.
"Rumah lo ada orang gak? Atau kita aja?" tanya Reza pada Hadi.
"Gue doang."
"Kakak-kakak lo?"
Hadi menghembuskan napasnya pelan, "mereka gak pulang, pada di rumahnya masing-masing. Itu rumah kalau gak ditengokin kan sayang banget, takut berdebu. Semenjak orang tua dan adek gue meninggal, gak ada yang datang lagi ke ke rumah ini. Jadi ya sesekali gue yang ke sini," jelasnya.
Reza menganggukkan kepalanya mengerti, "gak ada setannya kan?" tanyanya lagi.
Hadi melirik sinis ke arah Reza, "lo setannya itu."
Reza berdecak seraya meminum kopinya yang tinggal setengah, "lo udah sholat belum?" tanyanya pada Hadi.
"Nanti," jawab Hadi pendek.
"Tuh kan." Reza menunjuk Hadi dengan jari telunjuknya. "Diliatin setan tau rasa lo. Sholat sama ngaji tuh harus dipertahankan bagi umat muslim. Lo Islam KTP sih, jadi sholat nunggu mood doang," ujarnya memberi nasihat.
"Nanti juga sholat."
"Kalau inget."
Hadi menganggukkan kepalanya singkat, "tuh tau."
Reza menggelengkan kepalanya dengan heran, "dengan lo sholat dan ngaji, lo bisa doain orang tua dan adek lo. Mereka yang udah meninggal tuh butuh doa dari kita yang masih hidup. Jadi selama lo masih hidup, perbanyakin tuh sholat sama ngaji. Nanti pas lo udah meninggal, anak lo doain lo juga," jelasnya pada Hadi yang terdiam.
"Lo doain gue meninggal ya?" tanya Hadi seraya memicingkan matanya curiga ke arah Reza.
Reza berdecak sebal dengan respon Hadi, "gak doain, lagian umur kan gak ada yang tau. Kita sebagai makhluk hidup pasti meninggal. Ibaratnya nih kita di dunia ini, lagi nunggu antrian buat balik ke surga. Makanya, manfaatin selagi kita diberi kesempatan. Kalau misalnya lo besok-besok tobatnya, keburu meninggal."
Hadi menghembuskan napasnya pelan, "iya nanti gue sholat." Lalu ia menoleh ke arah Reza yang menatapnya sinis. "Beneran sholat, gak bohong. Nyampe rumah langsung wudhu," ujarnya meyakinkan.
Reza menganggukkan kepalanya puas, "bagus."
Beberapa menit mereka saling berdiam dengan rokok masing-masing, tanpa ada yang membuka suara satupun. Reza yang melihat gelas kopinya telah habis langsung membuang gelas plastik ke tempat sampah terdekat. Ia juga memastikan puntung rokok yang terlihat kecil ke tanah.
"Udah?" tanya Hadi pada Reza.
Reza menganggukkan kepalanya pelan, "iya, ayo ke rumah lo."
Hadi menganggukkan kepalanya dan mematikan rokoknya ke tanah. Ia dan Reza langsung melangkah menuju rumahnya yang berada di depan gang. Suasana sekitar cukup sepi, hanya suara jangkrik dan langkah kaki mereka yang terdengar.
Bahkan sesekali mereka menepuk lengan atau pipinya yang digigit oleh nyamuk. Padahal jam masih menunjukkan pukul delapan malam, tapi suasana yang sepi membuat siapa saja takut untuk keluar dari rumah.
Sesampainya di rumah, Hadi langsung masuk ke dalam dan menyalakan lampu rumah. Ruangan yang tadinya gelap, berubah menjadi terang benderang. Walaupun lampu yang dipakai cukup samar, tapi membantu Hadi dan Reza agar tidak parno karena gelap.
"Langsung sholat lo," ucap Reza seraya duduk di sofa ruang tamu.
"Iya... gue ke belakang dulu. Kalau ada yang nyariin suruh tungguin gue aja," ujar Hadi pada Reza.
Reza mengangkat ibu jarinya dengan mata yang terus tertuju pada layar ponsel, "oke."
Hadi menghela napas dan langsung melangkah menuju kamar mandi. Sebelum ke kamar mandi, ia menaruh ponselnya terlebih dahulu di meja dekat televisi. Ia mengisi daya ponselnya yang terlihat sudah memerah.
Hadi menghentikan kegiatannya saat mendengar suara seseorang sedang berkegiatan dari ruang makan. Ia terdiam untuk memastikan suara tersebut.
Suara-suara aneh terdengar dengan jelas dari arah ruang makan. Hadi masih terdiam dan tidak berniat untuk menghampiri asal suara tersebut.
Hadi menoleh ke arah Reza yang sibuk dengan ponselnya, "Reza," panggilnya.
"Apa?" Reza menatap Hadi dengan tatapan bertanya.
"Lo denger suara gak." Hadi memberi kode pada Reza untuk menghampirinya. "Sini deh biar kedengeran," ucapnya.
Reza langsung menghampiri Hadi yang berada di dekat pintu ruang makan. Ia menatap Hadi dengan bingung lalu terdiam.
"Denger gak?" tanyanya saat suara-suara dari arah ruang makan semakin jelas.
Reza mengerutkan dahinya bingung seraya menggelengkan kepalanya pelan, "gak, gue gak denger apa-apa," ucapnya.
"Masa sih?" Hadi menatap Reza dengan bingung.
Reza menganggukkan kepalanya dengan tegas, "iya, gue gak denger apa-apa." Lalu ia beranjak meninggalkan Hadi ke ruang tamu. "Lo halu kali karena kecapean. Udah sana wudhu, biar bisa langsung istirahat."
Hadi menghela napas pelan, ia kembali mendengar suara-suara orang yang sedang berkegiatan di ruang makan, "apa ada maling ya?" tanyanya pada diri sendiri.
"Coba gue cek deh."
Dengan ragu Hadi melangkah menuju ruang makan, ia menundukkan kepalanya takut jika benar memang maling yang masuk ke dalam rumahnya. Dengan perlahan Hadi mengangkat kepalanya sedikit. Ia terbelalak kaget saat melihat sebuah kaki yang terikat dengan kain putih di ujung ruang makan.
Lalu Hadi kembali mengangkat kepala sepenuhnya untuk melihat siapa yang berada di ujung ruang makan. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa lemas saat di ujung ruang makan terdapat sosok putih dengan ikatan khasnya di setiap sisi tubuhnya.
Mata dari sosok pocong tersebut berwarna merah, seperti siap menghunus jantung Hadi yang terasa terhenti saat ini. Rasanya Hadi ingin pingsan saat sosok di depannya menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri.
Hadi tidak bisa berteriak sama sekali, bahkan tubuhnya sangat sulit digerakkan. Setiap sisi tubuhnya terasa keringat dingin karena sosok di depannya. Beberapa menit Hadi dan sosok pocong tersebut saling bertatapan, dengan sosok tersebut yang terus menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri.
Setelah itu Hadi bisa melihat sosok tersebut terbang ke arah plafon rumahnya. Dengan mata merah yang masih menatap ke arah dirinya. Hadi kasih terdiam di tempat, bahkan saat sosok tersebut telah menembus genteng rumahnya.
"Hadi," panggil Reza.
Hadi tersentak kaget dan langsung berlari meninggalkan ruang makan. Ia berlari melewati Reza yang terlihat bingung.
"Hadi, kenapa?" tanya Reza bingung.
"Gak usah nginep di rumah gue, di rumah lo aja," jawab Hadi dengan panik.
"Tapi kenapa?"
Hadi menggelengkan kepalanya dengan cepat, "ikutin apa kata gue aja," ucapnya.
Dengan perasaan yang masih bingung akhirnya Reza mengikuti Hadi menuju rumahnya. Sesekali ia melirik ke arah Hadi yang tampak terdiam dengan wajah ketakutan.
"Kenapa sih?" tanya Reza pada Hadi saat mereka telah sampai di depan rumah Reza.
Hadi menggelengkan kepalanya dengan pelan, "gue takut."
"Takut kenapa?"
"Tadi di rumah gue ada pocong. Liatin gue terus, gak mau gue. Makanya gue langsung lari," jelas Hadi dengan ketakutan.
"Hah? Pocong? Di rumah lo?"
Hadi menganggukkan kepalanya dengan depan, "iya."
"Serem?" tanya Reza spontan karena tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Serem, matanya warna merah. Liat ke arah gue terus." Hadi mengedikkan bahunya karena merinding. "Abis itu dia terbang, ke genteng rumah gue."
"Terus?"
"Terus tuh setan hilang."
•••