Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan
"ngebantu? Biar apa?"
"Biar kesalahpahaman itu terpecahkan, biar putra Tante kembali bahagia, biar keluarga Tante bisa kembali semula," tutur Alena seraya tersenyum tulus.
Melisa lebih bingung. "Kesalahpahaman apa?"
"Kesalahpahaman dengan suami Tante."
Mata Melisa melebar tercengang. "Kamu tahu?!
Alena mengangguk dengan hati tidak enak. "Iya ... aku tahu. Tapi, aku gak bisa kasih tahu semuanya hari ini. Pelan-pelan aja biar Tante ngerti kesalahpahaman itu. Kita tunggu Deva sembuh total."
Walaupun masih tidak percaya dan terkejut dalam hatinya, Melisa mengangguk dengan canggung, namun senyumannya tulus. "Makasih ...."
Mengamati Alena lamat, Melisa bertanya antusias. "Siapa nama kamu?"
"Alena .... "
"Cuma Alena?"
Alena terkekeh. "Enggak lah, Tan. Nama aku Alena Valencia Alvarendra."
Melisa tertegun. Setelah bereaksi, ia berucap terkejut. "Alvarendra?!"
Alena bingung dengan reaksinya yang sangat kaget, tapi ia mengangguk.
"Apa kamu putrinya Berliana?"
Alena mengangguk Lagi.
"Oh, Berliana ... putri kamu sangat cantik," gumamnya yang masih Alena dengar.
Alena semakin bingung. "Tante kenal Mamah?"
"Tentu kenal! Dia kan teman sebangku Tante waktu SMA," ucapnya semangat, bernostalgia.
Alena terkejut, lalu ia tertawa kecil. "Beneran, Tan?"
Melisa mengangguk antusias. "Iya! Ber--"
"Ibu ...."
Ucapan Melisa terputus saat mendengar suara lirih seseorang dari samping.
Kedua perempuan berbeda usia itu menoleh bersamaan dan melihat Deva yang masih terdapat perban di beberapa bagian tubuhnya, dengan baju rumah sakit, wajahnya terlihat sedih menatap Melisa yang terkejut.
Melisa tertangkap basah selama beberapa bulan menghilang dari putranya.
Melisa sempat melihat Alena terlebih dahulu yang mengangguk untuk menghampiri Deva. Percuma jika bersembunyi. Mungkin, hari ini memang seharusnya mereka bertemu.
Air mata Melisa luruh melihat putranya kembali. Apalagi, Melisa sangat merindukan panggilan 'Ibu' dari putranya. Dia langsung menghampiri Deva dan memeluknya erat.
Deva membalasnya, Dia sangat merindukan Ibunya. Saat tidur, ia pikir sedang berhalusinasi mendengar suara ibunya. Namun, saat bangun suara itu masih terdengar di luar.
Deva keluar dan menemukan orang yang paling ia cintai dan rindukan sedang tertawa bersama Alena. Dia mencoba mencubit lengannya agar memastikan apakah dia sedang bermimpi?
Namun, rasa sakit datang membuat Deva menyadari bahwa ini bukanlah mimpi.
"Ibu ... ke-napa ibu pergi?"
Deva sudah menangis di pelukan Melisa. Jika saja teman-temannya melihat, mereka tidak akan menyangka bahwa yang menangis itu adalah si Deva yang datar dan dingin.
"Maaf, Nak. Maafin ibu," ucap Melisa penuh dengan rasa bersalah.
Alena sangat terharu melihat adegan di depannya. Matanya ikut berkaca-kaca tanpa sadar.
Setelah Deva tenang, Melisa melepaskan pelukannya. Lalu ia menangkup pipi putranya dengan lembut. "Maafin ibu ... seharusnya ibu gak egois karena pergi dari kamu, seharusnya ibu nyari tahu dulu sebelum nyalahin Ayah kamu."
Deva mengerutkan kening mendengar ucapan terakhir ibunya. Wajahnya berubah marah. "Gak, Bu! Di sini Ayah yang salah! Tiap hari dia bawa perempuan beda-beda! Jadi pemabuk! Bahkan, dia gak pernah usaha buat cari Ibu!"
"Gak seperti itu, Dev," sanggah Alena tiba-tiba, membuat ibu-anak itu menoleh.
Alena tersenyum tenang, lalu menatap Melisa. "Ayah Deva gak pernah nyetujuin perceraian Tante, kan?"
Melisa mengangguk kaku dengan ekspresi bingung.
"Itu karena dia sangat mencintai Tante. Dia selalu mabuk karena depresi atas kepergian Tante," tuturnya. Lalu beralih menatap Deva. "Ayah kamu sengaja bawa perempuan tiap hari, bersikap seakan-akan memang dia yang selingkuh agar kamu nyalahin kepergian ibu kamu karena kesalahan dia sendiri. Tapi sebenernya, perselingkuhan itu gak benar. Juga, Ayah kamu selalu nyari ibu kamu mati-matian tanpa kamu ketahui, Deva."
Pandangan Alena kembali pada Melisa. "Maaf, bukannya aku nyalahin Tante, tapi apa yang udah Tante lihat, gak sama dengan apa yang Tante pikirin. Tante salah paham, harusnya Tante denger penjelasan suami Tante dulu. Selain itu, suami Tante udah ngumpulin banyak bukti bahwa dia gak selingkuh. Tapi ... kepergian Tante ngebuat semuanya jadi kacau."
Melisa menutup mulut dengan tangan karena terkejut, air mata mengalir begitu saja. Dia berdiri kaku dengan kaki gemetar. Ketakutan, rasa bersalah, cemas, semua emosi menyerang hatinya.
Sedangkan Deva sama-sama mematung, tertegun. Menatap Alena tidak percaya. "Alena ... gimana lo ...."
Alena menghela nafas lembut. "Percaya atau enggak sama yang aku omongin, aku gak maksa kok. Sekali lagi, tolong jangan tanya gimana dan kenapa aku tahu semuanya. Aku gak pernah nyelidikin atau nyari masalah kalian, aku cuma pingin ngebantu kalian. Anggap aja ini balas budi karena kamu--Deva, udah nyelamatin aku dari kecelakaan kemarin. Terus ... kalian bisa bicara baik-baik sama dia biar semuanya jelas dan gak ada yang di disalahpahami lagi."
Deva merasa hidupnya tercerahkan mendengar apa yang Alena ucapkan. Walaupun dia bingung dari mana Alena tahu, tapi ia percaya melihat ketulusan Alena.
Tanpa aba-aba, Deva langsung memeluk Alena membuat orang yang dipeluk kaget bukan main. Matanya hampir melompat keluar karena terbelalak.
"Makasih, Alena."
Dengan tulus Deva berterima kasih. Matanya memerah berkaca-kaca tanpa Alena ketahui. Alena yang kaku mencoba rileks, dan dia membalas pelukannya sambil mengusap punggungnya menenangkan.
"Sama-sama. Aku cuma pingin ngebantu kamu supaya semuanya selesai. Keluarga kamu bisa kembali seperti semula." Alena merasa lega tanpa alasan. "Deva ... makasih juga karena udah nolongin aku."
Deva mengeratkan pelukannya. Baru kali ini dia berpelukan dengan perempuan selain ibunya, namun sangat nyaman. Hatinya menghangat dengan semua ucapan Alena.
"Ngapain kalian pelukan?"
Suara mengandung sedikit kemarahan itu membuat keduanya langsung saling melepaskan pelukannya.
Di sana, terdapat delapan orang berseragam sekolah dengan ekspresi berbeda-beda.
Kunjungan mereka disambut dengan suasana haru dan hangat, namun itu malah membuat suasana hati setiap orang ikut haru dan ada juga yang menjadi sebaliknya. Entah bagaimana itu, yang pasti beberapa mereka bisa tertebak suasana hati hanya dengan ekspresi yang ditampilkan.
Rafka dan Ravael, kedua cowok itu terang-terangan menampilkan ekspresi cemburu, sedangkan Andreas tetap datar sehingga tak tahu apa yang di pikirkan. Audrey mengernyit, lalu Dhita, Risha, Alvin dan Radhit berekspresi syok dengan mulut menganga.
Alena sangat malu sekaligus bingung dengan ekspresi mereka.
Sedangkan Deva, dia juga sedikit malu di lihat teman-temannya. Apalagi matanya sempat berkaca-kaca. Tapi, dengan cepat dia berekspresi santai dan datar kembali.
"Eum ... kami—" Alena bingung harus memberikan alasan apa.
Namun, dengan cepat Deva memotong ucapannya. "Alena nemuin ibu gue, dan gue berterima kasih sama dia, karena gue ngerasa seneng banget. Jadinya ya ... gue peluk dia."
Tanpa mereka sadar, Deva terlihat malu, salah tingkah, sehingga ujung telinganya memerah saat pengucapan terakhir.
Di sisi lain, Melisa hanya diam karena tidak mengerti keadaan.
Ekspresi ke delapan orang itu sedikit rileks, namun ada beberapa yang masih berekspresi kesal. Seperti Rafka, Ravael.
"Kalian mau ngejenguk Deva, ya?" Alena membuka suara untuk meredakan suasana yang sedikit canggung.
Mereka mengangguk.
Tatapan Alena beralih ke Ravael. "Bukannya kak Rava punya kegiatan di sekolah?"
"Tadinya iya. Tapi, tadi Mamah nelpon kalo kamu belum pulang. Kakak inget kalo kamu setiap hari menjenguk Deva, jadinya kakak nyusul kesini takut ada apa-apa, dan mereka ikut," jelasnya sembari menunjuk ke orang-orang di samping.
Alena mengangguk mengerti.
"Dia Ibu lo, Dev?" tanya Alvin sambil melirik Melisa.
Walaupun Alvin sudah lama berteman dengan Deva, tapi Alvin tidak pernah melihat ibunya. Apalagi semenjak dikabarkan ibu temanya itu pergi.
Deva mengangguk, tersenyum tipis melihat ibunya. "Iya. Gue gak nyangka bakal ketemu Ibu gue disini."
Melisa tersenyum sambil mengusap rambut putranya. Andreas dan Rafka sedikit iri melihat mereka, dan tatapan kedua orang itu tidak lepas dari Alena.
Sedikit tidak enak dan kasihan melihat ekspresi iri kedua protagonis itu, Alena membuka suara lagi. "Ayo kita ngobrolnya di dalem aja."