Seorang mafia kelas kakap, Maxwell Powell nyaris terbunuh karena penghianatan kolega sekaligus sahabatnya. Namun taqdir mempertemukannya dengan seorang muslimah bercadar penuh kharisma, Ayesha, yang tak sengaja menolongnya. Mereka kemudian dipersatukan oleh Allah dalam sebuah ikatan pernikahan gantung karena Ayesha tak ingin gegabah menerima lamaran Maxwell terhadapnya. Kehidupan seorang muallaf dengan latar belakang kehidupan gelap seorang mafia mengharuskan sang gadis muslimah yang nyaris sempurna ini harus menguji dulu seberapa mungkin mereka kelak bisa membangun rumah tangga Islami yang seutuhnya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurliah Ummu Tasqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32. Masalah Pabrik (Part 3)
Satu jam sebelum subuh Ayesha sudah terbangun dan bergegas melaksanakan qiyamul lail seperti biasa. Setelah tahajjud dan witir serta menyelesaikan tilawah qurannya beberapa lembar, ia berniat hendak membangunkan suaminya agar turut terbiasa, tapi ia terhenyak ketika mendapati sang suami sudah duduk di sisi tempat tidur dan memandang dirinya yang baru saja bangkit dan masih berbalut mukenah.
"Hubby sudah bangun? Apakah suaraku membaca Al Quran mengganggu hubby?"
"Tidak mengganggu sama sekali, malah aku sangat menikmati merdunya suara honey. Kapan aku bisa membaca lancar seperti itu? sangat menyenangkan."
"Pasti bisa, Insyaa Allah. Hanya perlu belajar dengan gigih. Tidak ada satu orang pun langsung jadi ahli tanpa sebelumnya jadi orang amatir bukan?", Ayesha tersenyum sambil membuka mukenahnya. Ia beranjak membenahi mukenahnya dan berjalan mendekati suaminya.
"Hubby mau ngapain?"
"Aku ingin melakukan ibadah sepertimu"
"Sholatlah seperti biasa dengan niat sholat tahajjud 2 rakaat dan diikuti sholat witir niatnya 1 rakaat. Setelah itu hubby bisa menyusulku ke ruang makan. Aku siapkan dulu sahur untuk kita puasa ayamul bidh hari ini. Bagaimana?"
"Sure. Wait for me. Tapi bolehkah aku dapat hadiah lebih dulu?", Maxwell tersenyum nakal.
"I see", Ayesha paham maksud suaminya. Dengan cepat ia mendekati Maxwell dan mengecup pipi kanannya dengan sangat singkat. Seketika ia tersipu malu dan berlalu pergi.
"Thanks honey", Maxwell tersenyum bahagia. Ah, dia sangat senang sekali dengan hadiah yang istrinya berikan. Dengan langkah semangat dan tersenyum sendiri, sambil memegangi pipinya, dia bergegas ke kamar mandi dan menyiapkan diri.
Sahur pun berjalan dengan lancar. Maxwell terkesima melihat keluarga barunya ini. Semua anggota keluarga Vladimir tanpa terkecuali ternyata ikut berpuasa tanpa direncanakan sebelumnya. Ternyata semuanya ingat untuk berpuasa tanpa dikomando. Sir Vladimir meski masih kurang sehat tetap berusaha berpuasa. Ia mengatakan akan mencobanya lebih dulu. Jika tak snaggup ia akan berbuka. Karena ini adalah kebiasaannya setiap bulan sehingga ia merasa rugi besar jika meninggalkan sunnah ini. Selain Sir Vladimir, tentu saja ada Ali, Bibi Leida, dua orang penjaga rumah dan dua orang pekerja kebun. Semuanya duduk bersama di meja makan besar di ruang makan keluarga. Ayesha melayani suami dan kakeknya. Bibi Leida melayani yang lainnya. Semuanya dengan khidmat makan bersama. Duduk bersama tanpa ada perbedaan status. Perasaan hangat menyentuh relung-relung hati Maxwell merasakan kasih sayang yang tulus dalam keluarga ini.
Setelah agenda sahur, sholat subuh berjamaah, belajar mengaji seperti biasa dan jogging beberapa menit di sekitar rumah, Ayesha dan Maxwell pun bersiap ke pabrik. Mereka naik helly untuk cepat sampai ke sana. Maxwell sendiri yang menjadi pilotnya karena dia sudah biasa sebelumnya. Ayesha pun kagum melihat suaminya.
Sesampai di lokasi, helly mereka mendarat tepat di samping pabrik yang memang disediakan untuk landasan pendaratan helly sang pemilik setiap kunjungan ke sana. Sudah ada helly Ahmed yang parkir di sana. Dan Ahmed pun terkejut karena Ayesha tidak memberi kabar sebelumnya. Ia yang mengetahui suara helly ketika sedang di kantor depan pabrik pun langsung menyambut kedatangan adik dan iparnya tersebut.
"Mengapa tidak memberi kabar dulu?"
"Assalamualaikum", Ayesha tidak menjawab melainkan mengucap salam dan memeluk kakak kesayangannya tersebut.
"Wa alaikumussalaam cantik....", sahut Ahmed sambil membalas pelukan manja sang adik.
"Emang kenapa kak? Kakak akan membuat upacara penyambutanku?"
"Tentu saja. Minimal akan kusuruh Bibi Margaret membuatkan jamuan spesial kesukaanmu", Ahmed melepaskan pelukan adiknya dan menowel pelan hidung bangir di balik cadar itu. Kini ia menyalami sang ipar. Maxwell tersenyum melihat keakraban istri dan iparnya tersebut. Hatinya lagi-lagi tersentuh. Ia tidak pernah merasakan hangatnya persaudaraan seperti kedua adik beradik itu.
"Ah Bibi Margaret. Dimana dia?"
"Tentu di dapur pabrik seperti biasa. Hei, apakah kalian kemari untuk bersenang-senang?"
Mereka bertiga kini berjalan bersama ke arah kantor.
"Oh ya aku hampir lupa. Aku tak sabar ingin melihat siapa penghianat itu", Ayesha terlihat gemas sekali. Maxwell terpana sesaat. Ia tak menyangka wanita lembut di sampingnya bisa juga terlihat cukup marah.
"Apakah kakak belum juga mendapatkan bukti yang cukup?"
"Dia sangat lihai. Aku tak bisa menuduhnya tanpa bukti"
"Apakah kak yakin memang dia pelakunya?"
"Cuma dia yang pantas dicurigai"
"Hanya berdasar pada kecurigaan?", Ayesha mengangkat alisnya.
"Tidak. Ada transaksi tak wajar di rekeningnya. Selain itu aset kekayaannya bertambah dengan tidak wajar. Karena dia hanya bekerja di pabrik kita, tidak ada lagi penghasilan yang lain"
"Terus mengapa kak katakan tak dapat buktinya? Bukankah itu sudah cukup?"
"Dia berdalih itu didapat dari warisan kakeknya yang barusan meninggal. Dan semuanya masuk akal. Istri dan saudara-suadaranya juga membenarkannya"
"Kak langsung interogasi dia?"
"Iya. Dan kak selidiki memang benar kakeknya meninggal dan memiliki kekayaan yang lumayan"
"Apakah hanya dia yang pantas dicurigai kak?"
"Karena dia masih baru. Yang lain adalah pekerja kita yang lama dan tidak ada celah untuk mereka"
"Benarkah?", Ayesha mnegernyit. Tangannya sibuk membuka buku keuangan dan laporan pabrik lainnya.
"Bolehkah aku membantu?", Maxwell yang sejak tadi mendengarkan mencoba menyela.
Mereka kini duduk di ruangan direktur pabrik. Di sofa dengan meja kaca dengan ruangan yang cukup luas dengan dua lemari dokumen, meja komputer dan sofa tamu.
"Tentu saja", sahut Ahmed. Ia duduk di depan adik iparnya. Maxwell duduk di sofa yang sama di samping sang istri.
"Apa yang akan hubby lakukan?"
"Bolehkah aku melihat data seluruh pekerja di sini?"
"Tentu. Ini. Di file ini", Ahmed memperlihatkan komputer di meja kerjanya dan membuka folder data pekerja pabrik. Sekilas Maxwell memperhatikan deretan nama dan masa kerja juga posisi masing-masing pekerja. Jumlah pegawai pabrik keluarga Vladimir memang tidak banyak. Hanya ada 100 orang pekerja tetap dan 20 orang pegawai tidak tetap dan 20 orang ini masih berkisar beberapa bulan saja masa kerjanya. Untuk menjadi pegawai tetap menunjukkan dedikasi mereka selama minimal 3 bulan kerja.
"Siapa yang brother curigai di sini?"
"Yang ini. Namanya Feodor. Dia baru saja menjadi manager keuangan beberapa bulan ini namun neraca keuangan terus merosot di bawah kendalinya dan sementara produksi dan distribusi ke luar negeri terus meningkat".
"Jika dia yang menjadi tersangka, sepertinya itu terlalu mudah untuk dicurigai. Seorang koruptor yang lihai dia tidak akan dengan mudahnya meninggalkan jejak. Feodor terlalu berani melakukan itu jika benar dia pelakunya, karena dia masih baru dan terlalu mencolok untuk melakukan korupsi besar-besaran seperti ini".
"Hubby benar. Aku setuju dengan pemikiran hubby...jadi, ada orang lain yang luput dari kecurigaan kita"
"Terkadang orang dekat dan dipandang setia punya peluang besar untuk berkhianat dan menusuk dari belakang tanpa kita sadari. Semoga itu tidak terjadi di sini".
"Tapi tidak tertutup kemungkinan seperti itu"
"Apakah brother ada orang dekat yang bisa dicurigai? Dan mereka adalah orang-orang yang bisa mengendalikan keuangan baik dari sisi produksi maupun distribusi".
Ahmed berpikir sejenak.
"Aku tidak yakin. Tapi kita coba. Ini nama-namanya"
Ahmed menunjuk beberapa nama. Ayesha mengernyitkan dahinya melihat sebuah nama.
"Ada apa dengan Paman Alex?", tanya Ayesha pada Ahmed.
"Dia adik tiri Uncle John yang baru dua tahun bekerja dan memegang kendali keuangan khususnya bagian produksi. Tapi aku tidak menemukan celah padanya. Aset kekayaannya biasa saja dan gerak geriknya tidak mencurigakan".
"Ini ada tiga nama. Bolehkah aku selidiki semuanya?", tanya Maxwell sambil terus mengutak-atik smart phone nya.
"Tentu saja", Ahmed melihat iparnya yang nampak serius dengan hp nya.
"Kita akan mengetahuinya sebentar lagi", Maxwell tersenyum.
Ahmed dan Ayesha penasaran. Belum selesai investigasi Maxwell, tak lama kemudian mereka dikejutkan dengan suara riuh dari luar.
"Kak, sepertinya ada masalah di luar".
"Tunggu di sini. Akan aku lihat. Tetaplah temani Maxwell menemukan si penghianat itu"
Ahmed bergegas ke luar ruangan.