Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYINYA NYAMAN SAMA AYAHNYA
Pintu kamar terbuka perlahan.
"Nina bobo... oh Nina bobo... kalau tidak bobo digigit hantu..."
Suara itu terdengar begitu tidak enak di telinga. Alih-alih merdu, justru menyerupai lantunan lagu dalam film horor. Yang lebih aneh lagi, suara itu berasal dari Romi, si tuan muda sombong dan arogan. Sekarang, ia malah mirip seperti pengasuh bayi dalam film horor. Namun, hal yang paling mencengangkan adalah bayi itu tampak tenang mendengar nyanyian Romi, seolah suara fals itu justru menenangkannya.
Laras, yang berdiri tak jauh dari sana, mengerutkan dahinya. "Sejak kapan Romi pintar menggendong bayi? Pantas saja kemarin aku melihatnya diam-diam sering menonton tutorial mengurus bayi. Lalu, ini anak siapa? Masa Romi menghamili anak orang?" pikirnya, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sementara itu, Viona terpesona dengan pemandangan di hadapannya. "Ah, andai saja anak ini yang menjadi suami Zee, pasti dia akan bahagia. Zee juga tampak bahagia sekarang, padahal ia melahirkan tanpa seorang suami," gumamnya dalam hati. Mendadak, pikirannya melayang ke Raka. Rasa kesalnya muncul lagi. Rasanya ia ingin mengirim Raka ke planet Pluto saja.
Di sisi lain, Jayadi memandang Romi dengan tatapan tajam. Amarahnya mulai naik ke permukaan. "Kurang ajar! Tuan muda sombong ini berani-beraninya menggendong cucuku. Aku saja belum sempat menggendongnya! Aku harus membuat perhitungan dengannya. Tapi, kenapa Zee tampak bahagia? Apakah mereka punya hubungan khusus?" pikirnya curiga.
Semua orang tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara itu, Romi tetap tak peduli dengan suasana di sekitarnya. Ia tampak fokus menatap wajah bayi di pelukannya, sesekali tersenyum, lalu berbisik lembut,
"Anak siapa sih ini?"
"Anak Om Omi, ya?"
Gumamannya terdengar jelas, membuat suasana menjadi lebih tegang. Ucapan Romi memicu berbagai spekulasi di kepala orang-orang yang ada di ruangan itu.
"Azizah, kamu baik-baik saja, Nak?" suara Viona membuyarkan lamunan semua orang. Sejenak, mereka tersadar dari pikiran masing-masing.
Azizah dan Romi serempak menoleh ke arah sumber suara.
Mata Romi membelalak. "Astaga! Sejak kapan mereka ada di sini? Dan apakah mereka mendengar suara merduku tadi?" pikirnya dengan penuh percaya diri.
Sementara itu, air mata Azizah mulai menggenang di pelupuk matanya. Dari tadi ia berusaha menahannya, tapi akhirnya tangisnya pecah juga. Bagaimanapun, ia merasa sedih karena anaknya lahir tanpa disaksikan oleh ayahnya. Lelaki itu entah di mana, bahkan tak memberi kabar sedikit pun.
"Aku baik-baik saja, Mah," gumam Azizah lirih sambil memeluk Viona erat-erat. Di pelukan ibunya, ia akhirnya menangis. Dari tadi sebenarnya ia ingin menangis, tapi nyanyian horor dari Romi membuatnya menunda air matanya.
"Tuan muda sombong, Romi Aditama! Apa yang kau lakukan di sini? Dan kenapa kau yang menggendong cucuku?" suara Jayadi menggema di ruangan itu.
Romi menoleh, lalu menatap Jayadi dengan wajah tanpa dosa.
"Eh, Om, tadi aku lihat Azizah mau melahirkan, jadi aku langsung membawanya ke rumah sakit. Aku menggendongnya ke mobil, mengantarnya ke sini, dan menunggu proses persalinannya dengan penuh kekhawatiran. Aku juga mengurus segala keperluannya. Dan lihat, Om, bayinya nyaman denganku. Dia pasti terpesona dengan suaraku yang merdu," ucap Romi panjang lebar dengan nada bangga.
Surya dan Viona yang mendengar penjelasan itu hanya bisa melongo. Inilah Romi yang mereka kenal empat tahun lalu—ceria, cerewet, dan usil. Tapi, sifat itu menghilang selama empat tahun terakhir. Selama ini, Romi menjelma menjadi pria yang dingin dan arogan.
Jayadi mendengus. "Bukan urusanmu membuatnya nyaman! Kau pikir kau ini siapa?"
Sebelum Romi bisa menjawab, Surya—ayahnya—langsung menyela dengan nada tajam.
"Hei, Jayadi Pratama, jangan sembarangan membentak anakku! Lihat, anakmu baik-baik saja, cucumu juga sehat. Dan asal kau tahu, satu lantai ini khusus untuk keluarga Aditama. Anakku hanya ingin memberikan pelayanan terbaik untuk anakmu."
Jayadi menatap Surya dengan tajam. "Aku tidak butuh bantuanmu! Kalau perlu, aku beli rumah sakit ini. Lagipula, anakmu sudah lancang membawa anakku tanpa sepengetahuanku!"
Surya tertawa sinis. "Sombong sekali kau! Habis seluruh hartamu pun, rumah sakit ini tidak akan aku jual. Heran aku, anakku sudah menolong anakmu, bukannya berterima kasih, kau malah marah-marah tidak jelas!"
Jayadi menyilangkan tangan di dadanya. "Jadi, sekarang aku harus berterima kasih karena dia tiba-tiba muncul entah dari mana dan mengambil alih situasi? Ini anakku, Surya! Bukan urusan anakmu!"
Surya balas melipat tangan. "Anakku tidak muncul entah dari mana! Dia kebetulan ada di sana dan bersikap seperti pria sejati. Tidak seperti beberapa orang yang hanya bisa marah-marah tanpa alasan!"
Adu mulut mereka semakin absurd.
Jayadi: "Aku marah karena dia tidak punya hak!"
Surya: "Hak apa? Membantu? Sejak kapan membantu dilarang?"
Jayadi: "Sejak orang yang membantu itu menyebalkan!"
Surya: "Pfft, ini lebih tentang egomu daripada tentang Romi!"
Situasi hampir berubah menjadi perang dingin ketika tiba-tiba—
"Cukup!"
Viona akhirnya angkat bicara. Suaranya tegas, membuat suasana hening seketika. Ia menatap Jayadi dan Surya bergantian.
"Kalian ini kenapa? Kita ada di rumah sakit. Azizah baru saja melahirkan, dan kalian malah ribut soal hal yang tidak penting?"
Jayadi terdiam, sementara Surya mendecak kesal tetapi memilih diam.
Viona menoleh ke arah Azizah. "Sayang, jelaskan semuanya. Biar tidak ada kesalahpahaman."
Azizah menarik napas dalam-dalam. Ia menatap ayahnya, lalu menoleh ke arah Romi yang masih santai menggendong bayinya.
"Ayah, semua ini benar. Romi menolongku. Aku hampir melahirkan di jalanan kalau bukan karena dia."
Hening. Semua orang mencerna ucapan Azizah.
Tiba-tiba, suara nyaring memecah kesunyian.
"Ih, cucu Oma ganteng banget ya, kayak Omi waktu bayi!"
Semua menoleh ke sumber suara. Ternyata, Laras sudah menggendong bayi Azizah. Ia tampak sangat antusias, dan yang anehnya, bayi itu tetap tenang dalam pelukannya.
"Hei, Nyonya Aditama, kenapa Anda menggendong cucuku?" ucap Jayadi dengan nada tegas, meski suaranya pelan.
"Turunkan nada suaramu..."
"Stop, Pah! Nanti bayinya bangun," potong Laras.
Surya yang tadi berapi-api langsung diam. Semua orang bisa ia lawan, tapi tidak dengan istrinya.
Laras kemudian menyerahkan bayi itu kepada Viona. "Ini, Jeng. Dede bayinya."
Viona menerima bayi itu dengan penuh haru. Air matanya menetes. Bayi ini adalah bukti perjuangan Azizah yang luar biasa. Dan tiba-tiba, rasa kesalnya pada Raka semakin membuncah.
Jayadi mendekat pada viona dan mau menggendong bayi, viona menyerahkan pada Jayadi namun tiba bayi itu menangis kencang...Jayadi panik dan langsung memberikan lagi pada viona, viona berusaha menenangkan tangisan bayi
"Mah sini mungkin dia lapar" ucap Aziza setelah sekian lama bayinya tak kunjung berhenti menangis.
Viona memberikan pada Aziza, Aziza coba menenangkan dan mau memberikan susu namun anak itu tak kunjung berhenti menangis.
"Mungkin mau digendong sama ayahnya Bu" ucap suster
Mata Aziza seketka berkaca-kaca.
"Coba ibu berikan bayi itu pada ayahnya ...." Ucap suster lagi
"Suaminya tidak ..." Ucap viona
Namun tiba-tiba "sini aku gendong" ucap Romi dan mengambil bayi dari pangkuan Azizah dan ajaibnya bayi itu berhenti menangis
"Tuh saya bilang juga apa, sepertinya bayi ini lagi pengen sama ayahnya terus" ucap suster.
"Sepertinya bayi ini menginginkan mu nak romi" ucap viona tiba-tiba
"Maksud mamah gimana?" Tanya jayadi
"Sepertinya bayi ini ingin nak romi jadi ayahnya" jelas viona
"Wah ide bagus itu" ucap Laras
"Tidak..aku tidak setuju" ucap Surya tegas
Bersambung