Hidup Aranti sudah hancur sejak 1 bulan lalu, setelah siswi kelas 2 SMA itu diperkosa oleh Davin—kakak kelasnya. Namun, Aranti harus menegakkan bahunya lantaran kejadian tersebut menghadirkan seonggok janin yang akhirnya tumbuh di dalam rahimnya.
Ketika semua orang termasuk orang tua Aranti memaksa Aranti untuk menggugurkan janinnya kemudian menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Demi masa depan sang janin, Aranti terpaksa menerima tanggung jawab Davin yang sangat ia benci, atas perbuatan pemuda itu kepadanya.
Setelah menikah, Aranti tinggal bersama keluarga Davin, sementara Davin melanjutkan kuliahnya di luar kota. Namun, meski orang tua Davin merupakan orang paling terpandang di desa Aranti tinggal, mereka justru memperlakukan Aranti layaknya budak. Fatalnya, kepulangan Davin tiga bulan kemudian, justru dibarengi dengan seorang wanita bernama Anggita.
“Anggita sedang hamil anakku dan aku akan menikahinya, apalagi orang tuaku sangat setuju. Jadi, jika kamu tidak suka, aku akan langsung menceraikanmu!” ucap Davin tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Lantas, apakah kali ini Aranti masih akan bertahan di tengah kenyataannya yang berjuang sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Dua
Kedatangan ibu Arimbi mengejutkan Aranti yang masih melamun memangku segelas air minumnya. Selain karena ibu Arimbi menyambutnya dengan hangat, wanita itu juga sampai membawa banyak barang. Ibu Arimbi membawa bantal, selimut, pakaian ganti untuk Aranti, dan juga aneka makanan maupun minuman yang boleh untuk turut mas Narendra makan.
“Aku beneran mau banyak makan. Apalagi Aranti sudah siuman dan harusnya dia sehat!” ucap mas Narendra sambil membongkar makanan yang sang mama bawa, di meja sebelah ranjang rawat Aranti.
“Maaf banget yah, Pak. Saya sudah sangat merepotkan,” ucap Aranti yang memang menyesali keadaan. Ia memberikan gelas berisi air putihnya kepada ibu Arimbi yang mengulurkan tangan.
“Kamu beneran bikin aku, ... lelah lahir batin. Karena memang, sebelumnya, beneran belum pernah terbayang aku bakalan nangis ketakutan melihat wanita berjuang—” Mas Narendra jujur sejujur-jujurnya sambil menikmati siomay yang baru saja ia bongkar dari tempat bekal.
“Kalau boleh memilih, tentu aku enggak mau mengalaminya, Pak,” balas Aranti yang masih lemas. Ia membiarkan ibu Arimbi mengganti bantalnya.
“Aranti wajib bed rest selama dua minggu ke depan, Ma. Kita lihat tiga hari ke depan. Kalau sudah lebih baik, bed rest-nya dilanjut di rumah. Kalau enggak, mau enggak mau ya harus di sini,” jelas mas Narendra yang duduk di tempat tidur sebelah.
Menyimak itu, Aranti jadi ketar-ketir. “M—mahal banget dong, Pak? Ya sudah, Pak! Saya pulang sekarang saja! Sumpah, Pak ... saya sudah sembuh!” hebohnya, tapi justru ditanggapi tawa oleh mas Narendra.
“Pak, kok malah ketawa? Bu ... Bu, sumpah Bu! Sumpah saya sudah sembuh! Sakitnya saya beneran takut ke duit!” yakin Aranti, tapi tetap saja membuat lawan bicaranya menertawakannya.
“Sebenernya mereka kenapa?” rengek Aranti dalam hatinya. Namun, Aranti percaya, kedua bosnya merupakan orang baik. Keduanya sangat peduli kepadanya. Jarang-jarang ada bos mau menjaga karyawannya secara langsung. Paling banter jika sudah membayarkan biaya pengobatan, bos pasti lebih memilih membayar orang untuk menjaga tanpa harus membuat mereka turut menjaga secara 24 jam.
“Soalnya, kalau saya di sini terus. Otomatis biayanya makin membengkak,” lirih Aranti yang kemudian melirik sedih kanan kirinya.
Aranti menatap mas Narendra maupun ibu Armbi, silih berganti.
Sambil mengunyah siomay di dalam mulutnya, mas Narendra yang melirik Aranti berkata, “Nanti biayanya suruh diet saja biar enggak membengkak, Ra!”
Aranti ingin tertawa layaknya ibu Arimbi yang memang jadi ngakak akibat kata-kata mas Narendra barusan. Namun, gambaran biaya pengobatan untuknya yang tidak sedikit, tetap membuatnya lemas.
“Soalnya rencananya, habis bulan ini aku mau berhenti kerja dari rumah makan. Nunggu pinjaman aku lunas,” lirih Aranti. “Nah ... sampai ada acara keguguran. Jadi kalai sudah sembuh, ... aku mau keluar negeri saja. Ke Singapura atau ke Taiwan ... sepertinya gajinya lumayan.”
“Aranti ....” Ibu Arimbi menyikapi dengan lembut. Ia meraih sebelah tangan Aranti dan menggenggamnya erat. Baginya, jujur dan mengabarkan semuanya dengan sungguh-sungguh sekaligus tulus, jauh lebih membuat niat baiknya diterima. Ketimbang acara kejutan yang sampai membuat targetnya menangis bahkan kena mental.
Tak lama kemudian, setelah menyimak serius maksud baik ibu Arimbi, Aranti langsung bengong. Aranti nyaris pingsan andai kedua tangan ibu Arimbi tidak sigap menahan kedua lengannya.
“Ya Allah ... orang tua kandung hamba saja dengan tega membuang hamba. Kenapa orang kaya sangat baik seperti mereka, justru ingin menjadikan orang seperti hamba menjadi bagian dari mereka?” batin Aranti.
“Enggak usah mikir macam-macam, Ra. Kami pasti akan menjadi keluarga yang baik buat kamu. Nanti, kami akan mengadopsi kamu secara resmi. Jadi bakalan ada surat-surat dan akan disepakati oleh orang tua kamu. Nanti semua itu, aku yang urus,” ucap mas Narendra sampai menunda acara makan siomay-nya.
“Biar kamu juga punya masa depan cerah. Biar orang-orang enggak seenaknya lagi ke kamu,” lembut ibu Arimbi sambil mendekap hangat tubuh Aranti. Ia sengaja menyandarkan kepala sekaligus tubuh Aranti kepadanya.
“Besok juga, kami usahakan kamu biar bisa balik sekolah. Jadi, mau enggak mau kamu juga harus belajar lebih lagi buat mengejar pelajaran, ya. Nanti ikut les khusus juga enggak ada salahnya sih,” lanjut ibu Arimbi.
Masa depan Aranti yang benar-benar cerah, jelas menjadi hasil dari segala rencana ibu Arimbi maupun mas Narendra. Aranti tak mungkin menolak karena pada kenyataannya, ia memang sangat butuh figur keluarga apalagi orang tua.
“Rasanya tetap mirip mimpi. Ini kalian enggak salah orang, kan?” tanya Aranti menatap kedua mata ibu Arimbi maupun mas Narendra, penuh kepastian. Lagi-lagi, mas Narendra ngakak.
Mas Narendra sampai tersedak dan buru-buru minum.
“Ya Allah ... ini aku beneran ketiban rezeki nomplok. Bukan bermaksud melupakan nasib janinku yang harus pergi terlalu dini. Karena biar bagaimanapun, apa yang aku dapatkan sekarang, patut disyukuri!” batin Aranti menyimak setiap jadwal ibu Arimbi maupun mas Narendra karena keduanya sedang membahasnya.
“Besok pagi juga, aku mau pulang ya. Bed rest di rumah saja. Apalagi Pak—” Aranti seolah dice.kik oleh tangan tak kasatmata hanya karena salah sebut ke mas Narendra yang harus ia panggil “Pak”.
“Aku sekalian mau protes. Kenapa semua karyawan manggil aku pak, padahal ke mama saja, mereka panggil Ibu, dan ke papa juga panggil pak. Berasa tua terlalu dini gitu loh, Ma!” protes mas Narendra.
“Nanti kalau manggilnya mas, dikira dipanggil pacar apa pasangan!” balas ibu Arimbi dan membuat Aranti refleks menahan tawa. Tawa yang juga membuat mas Narendra mendorong-dorong gemas punggung Aranti.
••••
Menjadi bagian dari ibu Arimbi, nyatanya juga langsung mengubah penampilan Aranti. Karena keesokan harinya, ketika ibu Arimbi membimbing Aranti mandi kemudian ganti pakaian, ternyata pakaian yang ibu Arimbi siapkan merupakan gamis lengkap dengan hijab.
“Bismillahirrahmanirrahim, ... dari pakaian saja bikin aku yakin, bersama mereka, aku bisa jadi manusia lebih baik lagi!” batin Aranti membiarkan ibu Arambi memasangkan hijab instan warna cokelatnya.
Mas Narendra yang fokus dengan ponsel, baru saja masuk ke dalam ruang rawat Aranti. Meski sudah sampai di sebelah ranjang rawat Aranti, mas Narendra belum melihat Aranti. Saking drastisnya perubahan penampilan Aranti, mas Narendra jadi pangling. Mas Narendra sampai menunduk dan menatap wajah Aranti dari bawah.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji'un ... beneran kamu. Kirain tadi aku salah masuk kamar. Ini hape sengaja buru-buru aku simpan!” heboh mas Narendra setengah mengomel.
Ketika Aranti langsung tersipu malu, tidak dengan ibu Arimbi. Ibu Arimbi yang baru keluar dari kamar mandi dan memang baru mandi, menertawakan tanggapan sang putra.
“Jangan innalilahi dong, Mas. Masya Allah, gitu!” ucap ibu Arimbi sambil memijat-mijat punggung sang putra menggunakan kedua tangan.
Karena mas Narendra masih menatap wajah Aranti dengan saksama, ibu Arimbi yang mengetahuinya sengaja bertanya. “Tambah cantik, kan?”
“I—iya!” ucap mas Narendra agak gugup sambil mengangguk-angguk.