Montir Cantik Milik Aditama

Rayyanna Jevia Princess Sanjaya, Balita cantik yang mewarisi bola mata biru milik mama nya tampak sangat menggemaskan.

Rambut hitam legam bahkan tumbu lebat seperti sang ayah. Wajahnya tegas, sorot matanya tajam dengan dua lesung pipi yang timbul jika balita yang kerap dipanggil Jevia itu tersenyum. Namun jangan pernah berpikir jika kecantikannya memudahkannya untuk menampilkan senyum seperti bayi bayi lain seusianya.

Diusianya yang menginjak setahun lebih dua bulan saat ini, Jevia sudah bisa berjalan dengan lancar. Jarang menangis apalagi merengek, sepertinya gen sang papa sangat kental menurun padanya.

Jevia bahkan akan menatap garang pada siapapun yang berani mengusiknya, mengambil mainannya atau hanya sekedar menjahilinya.

Tak mudah didekati dan susah untuk ditarik perhatiannya. Jevia lebih suka dengan dunianya sendiri dan memaksa orang lain yang mengikuti kemauan nya. Benar-benar duplikat seorang Rayyan yang tegas, penuh ambisi, berwibawa juga mempunyai keyakinan teguh pada apa yang telah diputuskannya.

Sikap Jevia yang tak seperti kebanyakan balita pada umumnya sempat membuat Jennie khawatir. Namun dokter yang khusus didatangkan untuk bayi itu mengatakan jika tak ada hal yang membahayakan dan semua masih wajar. Jevia memang bayi unik dan punya ciri khas sendiri.

Seperti saat ini, dia masih saja tenang meski suara berisik berada di sekitarnya. Jevia duduk di atas karpet bulu yang digelar di ruang tengah tempat dimana saat ini mama dan papanya sedang berbincang dengan orang yang biasa dipanggil om Roy.

Hanya menoleh sekilas saat namanya disebut, tanpa senyum hanya menatap ke arah Roy dan Jessi sebelum kembali asyik dengan mainan yang dipegangnya.

"Wow, benar-benar duplikat Rayyan Sanjaya, si dingin yang mengalahkan dinginnya kutub utara. Kau benar-benar menciptakan generasi penerus yang sungguh mempesona, kak." Roy tergelak dengan ucapannya sendiri. Sementara Rayyan hanya tersenyum samar, menatap sang putri yang mewarisi kecantikan mama nya.

"Do'akan kami karena saat ini kami juga sedang berproses, kak." Jessi berujar lirih, sungguh dia ingin membahagiakan suaminya.

"Tentu. Kami selalu mendoakan kalian semua, dan kamu Roy, berusahalah untuk semakin giat."

"Karena alasan itulah kami datang kemari, kak. Aku akan membawa Jessi ke kota B."

"Wahh, benarkah?? akhirnya. Aku ikut senang, tentu kami mendukung apapun keputusan kalian berdua." Jennie menjawab dengan antusias sambil memeluk Jessi erat.

***********

Baik Ujang maupun Benni tak bisa mengatakan apapun, keduanya bahkan tak pernah menyangka kejadian yang menimpa Dee dan Adit disinyalir merupakan sebuah musibah yang memang direncanakan.

Cerita yang mengalir dari bibir gadis tangguh itu tetap membuat ngilu siapapun yang mendengarnya.

"Bahkan Om Suryo pun belum sadar dari komanya hingga saat ini." Dee terisak, mengingat Suryo membuat hatinya diliputi oleh perasaan bersalah yang teramat besar. Baik Roy maupun Rico sudah mengatakan jika hal yang menimpa Suryo merupakan musibah dan memang sudah tanggungjawab lelaki itu dalam menjaga Dee dan Adit sesuai tugasnya namun Dee tetap merasa semua adalah salahnya.

"Lalu Adit dimana sekarang?"

"Adit diungsikan sementara waktu oleh orang-orang kak Rico, lebih tepatnya mama Yenni yang membawanya pergi. Mereka bilang akan menjaga Adit dan membawanya berobat.

"Nyonya Yenni baik sekali ya, kamu beruntung bertemu dengan beliau." Benni menepuk pelan pundak gadis yang telah dianggapnya adik itu.

"Keluarga beliau memang baik, termasuk kak Rico. Bang Ben pasti nggak nyangka kalau kak Rico itu anaknya mama Yenni." Dee mengusap air matanya, menarik nafas dalam beberapa kali untuk menetralkan emosinya.

Ha

"Iya. Kak Rico ternyata anaknya mama Yenni, aku saja nggak nyangka banget Bang. Aku bahkan mengetahuinya sesaat setelah tragedi itu terjadi."

"Abang sudah melihat situasi di rumahku berarti?" aku belum sempat melihatnya sampai saat ini."

Tatapan Dee menerawang mencoba membayangkan keadaan rumah yang pernah ditinggalinya beberapa waktu tersebut. Bukan tak ingin tahu, namun baik Roy maupun Rico melarang keras gadis itu untuk sekedar mendekat ke arah sana.

Setidaknya untuk saat ini penyamaran Dee masih belum terungkap.

Ketukan di pintu membuat asitensi mereka teralihkan. Dua orang dengan pakaian pelayan restoran nampak menampilkan senyum serta mendorong teroli yang berisi makanan masuk.

"Selamat siang mbak Anggi, kami mengantarkan makanan yang dipesan oleh Pak Rico."

"Silakan, terimakasih sebelumnya."

Beberapa menu telah terhidang diatas meja membuat Ujang menelan ludahnya kasar. Semua makanan nampak enak dan nikmat. Dee hanya tersenyum melihat tingkah Ujang sedangkan Benni hanya bisa menepuk jidatnya pelan melihat kelakuan anak buahnya tersebut.

Sepeninggal para pelayan resto pintu kembali terbuka dan sosok Rico nampak masuk seraya menggulung lengan bajunya sebatas siku.

"Silakan mulai saja, ini sudah lewat jam makan siang. Silakan jangan sungkan." Pemuda itu memilih duduk dekat Dee.

Dengan sigap Dee segera meraih piring dan mengisinya dengan nasi. Mengambilkan lauk yang ditunjuk setelahnya baru Dee mengambil untuk dirinya sendiri.

Benni yang melihat semua itu pura-pura tak melihatnya. Hanya senyum tipis yang tersungging dibibirnya seraya menyantap makanan lezat yang jarang jarang bisa mereka makan.

Ada rasa lega dalam hati Benni saat melihat keadaan Dee yang baik baik saja. Tak lupa lelaki itu juga telah mengabarkan pada sang istri agar tak khawatir.