Jelita Sasongko putri satu satunya keluarga Dery Sasongko dipaksa menikah dengan Evan Nugraha pengawal pribadi ayahnya. Jelita harus menikahi Evan selama dua tahun atau seluruh harta ayahnya beralih ke panti asuhan. Demi ketidak relaan meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini dia jalani dia setuju menikahi pengawal pribadi ayahnya. Ayahnya berharap selama kurun waktu dua tahun, putrinya akan mencintai Evan.
Akankah keinginan Dery Sasongko terwujud, bagaimana dengan cinta mati Jelita pada sosok Boy?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3
Seperti janji Jelita tadi Boy bisa menggandeng tangannya saat pulang kuliah dan Boy tak ingin kehilangan kesempatan itu.
Boy mengandeng jemari Jelita dari ruang kelas sampai ketempat mobil Evan terparkir. Hal itu tak lepas dari penglihatan Evan. Dia menatap sekilas jemari istrinya lalu beralih pada gawai ditangannya.
Tok!
Tok!
Boy mengetuk kaca mobil yang tertutup rapat, Evan menurunkan kaca mobil setengahnya saja.
"Ada apa?" Tanya Evan dengan ekspresi datar.
"Hanya mau bilang, aku titip dia," ujar Boy sembari memperlihatkan jemari mereka yang saling menggenggam.
Evan hanya menatap sekilas lalu membuang pandangannya ketempat lain. Sementara Jelita sudah masuk kemobil duduk di jok belakang.
Tanpa bicara Evan melajukan mobilnya meninggalkan kampus. Evan memang pendiam, tapi diamnya kali ini terlihat berbeda dimata Jelita.
"Evan."
"Hemm."
"Itu tadi Boy, yang pernah aku ceritakan padamu." Jelas Jelita. Entah mengapa dia merasa perlu menjelaskan masalah tadi pada Evan. Dia merasa perubahan sikap Evan setelah melihat Boy menggandeng jemarinya.
Tidak ada respon dari Evan, dia focus pada jalanan yang ramai didepannya. Entah apa yang ada dibenak lelaki itu, Jelita sangat ingin tau. Tapi ekpresi Evan yang selalu datar membuatnya sulit menebak isihatinya.
Mobil berhenti dibasemen, masih dengan diamnya Evan keluar dari mobil melangkah menuju Apartemennya.
Jelita mengekori langkah Evan dengan perasaan kesal. Harusnya dia senang Evan tak perduli keberadaan Boy diantara mereka. Tapi kenapa hatinya jengkel dengan sikap acuh Evan.
"Sudah makan siang?" Tanya Evan sembari membuka pintu Apartemen.
"Belum. Kau memberiku uang jajan lima puluh ribu, bagaimana bisa aku makan dengan uang segitu," omel Jelita sambil terus mengekori langkah suaminya.
"Boy tidak memberimu makan?" Tanya Evan. Dia berhenti saat tiba didapur. Membuka jas hitamnya meninggalkan kemeja putihnya saja. Meraih apron di nakas lalu tanpa ragu memakainya.
"Boy bukan suamiku, kenapa dia harus memberiku makan? bukankah itu tugasmu sebagai suami memberiku makan!" Sungut Jelita. Evan yang sedang membuka kulkas beralih menatap Jelita dengan tatapan tajam.
"Duduk diam disana aku akan membuatkanmu makan siang." Tegas Evan. Anehnya Jelita jadi sangat penurut. Dia menarik kursi didepannya, duduk manis disana sembari memperhatikan suaminya berjibaku dengan alat masak.
Tubuh kekar Evan yang terbalut Apron terlihat sangat seksi dimata Jelita. Apa lagi saat dengan apik jemarinya memainkan pisau memotong daging dan sayur, gerakan layaknya chef sekelas hotel bintang lima.
'No, no, no, tidak bisa begini. Tidak boleh kagum, dia tak lebih baik dari lelakiku. Tapi Evan kau benar-benar keren. Aku baru bersamamu dua hari, tapi langsung kagum padamu.'
Tak!!
Hentakan piring dimeja membuyarkan lamunan Jelita. Matanya nyalang menatap tatanan yang tersusun rapi. Benarkah Evan memasak semua ini.
"Makanlah, semoga sesuai dengan seleramu," ujar Evan. Dia mulai mengisi piringnya dengan nasi dan lauk. Sementara Jelita speechless dengan hidangan ini.
"Tidak suka?" Tanya Evan, menghentikan makannya.
"Suka."
"Terus kenapa hanya diam. Ingin aku suapi?"
"Ihh apaan sih. Aku cuma heran, kamu tuh pengawal pribadi atau shef," ujar Jelita sembari mengisi piringnya.
"Salah, kalau pengawal bisa masak?"
"Enggak sih, cuma masakan kamu ini sekelas chef bintang lima, salut aja." puji Jelita jujur. Semupa yang dimasak Evan rasanya sangat enak. Saking enaknya gak berasa makan dirumah.
Evan cuma diam, memilih menikmati makan siangnya. Hening membuat mereka lebih menikmati makan siang istimewa ini, terutama bagi Jelita.
"Abis makan aku harus pergi kerja lagi Je, kamu gak apa-apa dirumah? Atau kamu sudah ada janji dengan Boy?" Tanya Evan sembari memberesi sisa makan mereka.
"Biar aku yang cuci piring," ujar Jelita. Evan yang sudah memegang sabun cuci piring beralih pada Jelita.
"Yakin bisa?"
"Cuma cuci piring aja apa susahnya," sungut Jelita. Dia tak suka nada menyepelekan dari Evan.
"Emang pernah cuci piring?" Tanya Evan sembari menautkan kedua alisnya. Jelita menggeleng, pelan. Melihat itu Evan terkekeh.
"Sudah sana masuk kamar, dapur biar aku yang beresi." titah Evan. Tanpa menoleh lagi dia melanjutkan yang tadi tertunda.
Jelita duduk ditepi ranjang dengan perasaan tak menentu. Apa yang terjadi padanya?Kenapa semua yang Evan lakukan terlihat begitu manis dimatanya. Apa yang terjadi? Dua hari lalu dia begitu marah dan benci pada Evan. Dia benci dan marah harus meikah dengan lelaki tak berguna seperti Evan. Tapi baru dua hari pandangannya tentang Evan sudah berubah. Ini begitu cepat, dia merasa tak terima.
Tok!
Tok!
"Jelita Aku berangkat kerja dulu." Terdengar suara Evan dibalik pintu, lalu terdengar derap langkah kakinya menjauh.
"Jelita? Sejak kapan dia memanggilku Jelita. Bukankah biasanya dia memanggilku dengan sebutan nona." gumam Jelita seorang diri. Tapi dengan panggilan itu hatinya menghangat. Ehh apaan sih!
Jelita sedang bersantai di atas ranjang, tiba-tiba ponselnya berdering, tertera nama Boy dilayar.
"Sayang, ada waktu gak?" Tanya Boy disebrang telpon.
"Ada, memangnya kamu mau bawa aku kemana?"
"Jalan ke mall, lalu nonton gimana?"
"Aku gak punya uang, aku lagi jalani hukuman dar papa."
"Sayang, kalau hanya jajanin kamu di mall aku masih sanggup tanpa harus keluarin uang kamu."
"Baiklah kalau gitu, nanati aku kasih alamatnya kamu jemput aku dimana."
"Loh, gak di mansion?"
"Udah gak usah banyak tanya jemput aja di alamat itu."
"Apa kata sayang aja."
*****
Evan pulang menjelang makan malam. setelah membersihkan diri dia langsung menuju dapur, menyipakan makan malam untuk dia dan Jelita.
Dengan cekatan Evan menata hidangan diatas meja, setelah selesai dia menghampiri kamar Jelita.
Tok!
Tok!
"Jelita, makan malam sudah siap." Seperti biasa tanpa menunggu jawaban dari Jelita Evan meninggalkan kamar Jelita.
Cukup lama Evan menunggu dimeja makan, sampai dia menyadari kalau Jelita sedang tak berada dirumah. Tak masalah makan sendiri tapi sayangnya dia memasak sedikit berlebih.
Evan menikmati makan malamnya tanpa ekpresi, dua hari ini dia makan bersama Jelita. Tiba-tiba makan sendiri seperti ada yang hilang.
Dia baru saja memnyudahi makan malamnya saat Jelita pulang. Seperti biasa Evan tak begitu perduli, dia sibuk membereskan sisa makannya.
"Sudah selesai makan?" Tanya Jelita sembari berjalan mendekat, entah mengapa melihat hidangan tersaji untuknya Jelita merasa bersalah.
"Hemm." sahut Evan dengan gumaman.
"Maaf aku tadi sudah makan malam bersama Boy," tutur Jelita pelan.
Evan tak merespon, dia mengambil dua buah mangkuk yang memiliki tutup dari dalam rak piring, membawanya kemeja makan.
Dengan cekatan dia mulai menata semua hidangan tadi kedalam mangkuk lalu menutupnya rapat. Sementara Jelita masih mematung ditempatnya.
"Kenapa cuma berdiri saja, apa kau tidak ingin istrahat. Aku akan mengantar ini untuk satpam, sayang kalau dibuang." ujar Evan sembari berlalu pergi membawa dua mangkuk berisi makan malam yang seharusnya untuk Jelita.
Jelita hanya diam menatap kepergian Evan. Ada apa dengannya kenapa dia sedih melihat Evan menunggunya di meja makan. Dan tak rela saat Evan membungkus makan malamnya untuk di berikan pada satpam.
"Sepertinya aku sudah mulai gila." gumam Jelita sembari melangkah kekamarnya.