Zanna Kirania mendapatkan seorang kakak laki-laki setelah ibunya menikah lagi. Dia jauh dari bayangan Zanna tentang seorang kakak. Cuek, dingin, tidak peduli dan kasar.
Semua berubah saat mereka saling mengenal satu sama lain dan akhirnya menjadi seperti sebuah keluarga yang bahagia. Tapi itu tak lama sampai kedua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan. Lalu Kiran mendengar kakaknya menyalahkan ibunya karena membuat ayahnya meninggal. Kiran yang marah memutuskan untuk pergi dari rumah untuk tinggal dengan bibinya di kota lain.
Mereka terpaksa bertemu setelah 7 tahun kemudian, karena pekerjaan baru Kiran. Pertemuan itu mengejutkan Kiran, karena yang menunggunya di rumah adalah seorang pria dewasa yang sangat tinggi dan tampan. Benarkah dia kakaknya yang dulu?
Apakah mereka akan menjalin hubungan sebagai keluarga lagi atau malah sebagai sepasang kekasih? Apa boleh Kiran mencintai seseorang yang dulu dibencinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Kesalll banget rasanya hati Kiran mendengar semua yang dikatakan kak Dhika. Mereka baru saja bertemu setelah sebulan lebih. Dan ini yang didapatkan Kiran. Wejangan yang tidak masuk akal dari seorang laki-laki yang membela kekasihnya. Lebih baik dia kembali ke kantor sendiri daripada harus melihat wajah bu Desi dan kak Dhika lagi.
"Zanna ... tunggu!!!"
Duhhh, sebelll banget rasanya denger suara itu. Kiran mempercepat langkahnya seakan ingin terbang jauh dari tempat ini. Tapi sayang kakinya tidak sepanjang milik kak Dhika. Orang itu mudah sekali mengejarnya.
"Apaan sih?" kata Kiran saat kak Dhika mulai menarik lengannya.
"Kamu mau kemana? Disini masih jarang ada kendaraan"
"Biarin. Mending jalan daripada dengerin kak Dhika"
Orang itu kembali menarik lengannya. Kali ini dengan keras sampai Kiran terpaksa menghentikan langkahnya.
"Kakak hanya bicara seperti ini agar kamu dipandang baik oleh rekan kerja kamu"
"Kak Dhika kalo gak tau apa-apa mending diem aja. Yang tau situasi kantor Kiran ya Kiran, bukan kak Dhika. Jadi jangan sok tau!! teriak Kiran kesal.
Akhirnya orang itu diam dan melepas lengannya.
"Oke. Kakak tidak akan membahas ini lagi"
"Gitu kek dari tadi"
"Sekarang ayo balik ke dalam. Kakak panggil Desi biar kalian bisa kembali ke kantor"
Hati Kiran seakan tidak rela untuk kembali dan melihat wajah Bu Desi lagi. Apalagi mengingat nada manja yang digunakan Bu Desi saat bicara pada kak Dhika. Belum lagi semua tuduhan tidak benar yang dilayangkan padanya.
"Kiran mau jalan aja. Dada Kiran sesak denger semua tuduhan kak Dhika. Padahal tadi Kiran seneng banget bisa balik ke perkebunan ini setelah sepuluh tahun. Kak Dhika bener-bener pinter ngerusak semuanya"
Dia pikir sudah mengatakan semua kekesalan dan menganggap kak Dhika mengerti semua sii hatinya. Tapi ternyata tidak. Orang itu semakin membuatnya kesal dengan berkata :
"Jangan kekanakan. Tingkahmu sekarang seperti anak TK yang ngambek"
Kiran tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kak Dhika tetap lebih percaya pada Bu Desi daripada dirinya. Dan kini orang itu menganggapnya anak kecil? Amarah dalam diri Kiran memuncak. Dia memilih untuk kembali ke perkebunan bukan karena ucapan kakaknya tadi. Tapi karena sudah malas bicara lagi. Sepertinya kak DHika memang sudah berubah dari bodoh menjadi sangat bodoh tentang wanita. Tidak bisa membedakan wanita mana yang baik dan tidak. Tidak bisa membedakan urusan pribadi dan profesional juga. Kiran sungguh kesal dengan orang itu. Dia tidak akan pernah lagi mau bertemu dengan orang itu. Dia juga tidak akan pernah mengangkat telpon dari orang itu. Dia juga tidak sudi melewati rumah orang itu lagi kalau berangkat kerja. Tangan Kiran mengepal keras, tapi dia berusaha menahan amarah agar dapat pergi dari perkebunan ini.
Ayo buka bajumu
Apa?
Cepet
Enggak ... enggak
Desi terbangun dari mimpi dan merasa dadanya sesak. Dia melihat sekitar dan merasa kembali tenang. Ternyata dia masih ada di dalam kantor kecil Dhika. Sudah lama sekali dia tidak bermimpi hal itu. Kenapa sekarang bermimpi lagi? Desi duduk dan menyeka keringatnya.
"Dhika!" panggilnya tapi laki-laki itu tidak ada di ruangan berukuran 4x5 meter itu. Dimana Dhika? Bukankah tadi laki-laki itu masih ada disini, sedang menulis sesuatu di mejanya?
Setelah merasa tenang, Desi berdiri dan mulai berjalan keluar dari rumah kecil itu. Dia melihat anak baru itu berdiri di teras. Sedang memandang jauh ke arah pegunungan. Sedangkan Dhika, laki-laki yang seharusnya ada bersamanya memandang anak baru itu. Desi tidak suka apa yang dilihatnya. Dia mulai berpikir kalau Dhika kemungkinan tertarik pada Kiran. Kesal dengan pemikirannya sendiri, Desi memutuskan untuk keluar dari rumah dengan cepat.
"Dhikaaa. Kamu kemana tadi?" katanya manja lalu melihat wajah laki-laki itu berubah saat memandangnya. Apa itu tadi? Kenapa dia mendapat kesan kalau Dhika seperti takut ketahuan sedang memandangi anak baru itu?
"Aku ... tadi menyerahkan SPD milik Mba ini"
Desi melihat berkas SPD yang sekarang ada di tangan Kiran.
"SPD-nya beres. Apa pekerjaan kamu udah selesai?" tanyanya pada anak baru itu.
"Udah Bu. Ini lagi nunggu ibu keluar dari kantor pak Radhika" jawab Kiran tanpa berbalik melihatnya. Sungguh tidak sopan sekali anak baru itu padanya. Desi ingin sekali merajuk pada Dhika tentang perilaku anak baru itu tapi batal melakukannya. Karena wajah Dhika yang marah membuatnya yakin kalau laki-laki itu juga tidak suka dengan kelakuan Kiran. Dia merasa senang sekali sekarang. Melupakan mimpi yang dia alami tadi.
"Ya udah. Sekarang kita balik ke kantor"
"Ya"
Sekali lagi, Desi melihat raut wajah tidak suka Dhika ketika mendengar jawaban singkat anak baru itu. Ternyata Dhika memang tidak suka dengan tipe seperti Kiran yang seenaknya sendiri. Kalau begitu, Desi bisa tenang kalo lain kali anak baru itu ditugaskan ke perkebunan ini. Karena sekali Dhika tidak suka pada seseorang, perasaan itu akan kekal selamanya.
"Kamu tadi ngobrol sama pemilik perkebunan?" tanya Desi saat dia dan anak baru itu dalam perjalanan kembali ke kantor.
"Enggak Bu"
Keduanya ada di depan teras rumah tapi tidak bicara sama sekali? Aneh.Padahal semua perempuan yang melihat Dhika selalu tertarik untuk bertanya tentang informasi laki-laki itu pada Desi. Kenapa anak baru ini tidak?
"Menurut kamu ... pemilik perkebunan tadi cakep gak?" tanyanya lagi berusaha untuk mencari tahu apakah anak baru itu hanya pura-pura tidak tertarik atau memang sama sekali tidak tertarik pada Dhika.
"Enggak" jawab anak baru itu dengan mantap.
Apa Desi bisa mempercayai anak baru ini dari jawaban sesingkat itu?
"Kamu tau kan kalo saya dan pemilik perkebunan tadi adalah couple?" tanyanya lebih memastikan lagi.
"Iya saya tahu. Bu Desi sama Bapak tadi kan sama-sama terus. Cuma orang bodoh yang gak tau kalo Bu Desi sama Bapak tadi pacaran"
Ohh, ternyata anak baru ini pntar juga. Bisa membaca situasi dengan cepat.
"Kalo kamu ditugaskan lagi ke perkebunan terus aku denger kamu godain pacar saya. Saya bakal ... "
"Ngapain juga saya godain Bapak tadi. Maaf ya Bu Desi, tapi Bapak tadi ketuaan buat saya. Jangan marah ya Bu. Tapi saya sama sekali gak tertarik sama pacar ibu"
Jawaban tegas anak baru itu cukup meyakinkan untuk Desi. Lagipula, menurutnya anak baru itu memang tidak memiliki ketertarikan sams sekali pada Dhika. Begitu juga sebaliknya. Jadi mungkin kali ini Desi bisa tenang membiarkan anak baru itu ditugaskan ke perkebunan Dhika sendirian. Mereka sampai di kantor dan anak baru itu bergegas mengurus berkas SPD. Tanpa membuang waktu, anak baru itu segera pulang setelahnya. Desi heran melihat anak baru itu berbeda dari perempuan lain.