Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penaklukan Senyap dan Hati yang Bergetar
Pagi itu, suasana kantor Ornadi Tech tampak seperti biasa. Namun ketenangan itu buyar saat Alexio tiba dengan jas hitam berkancing emas dan langkah tenang namun mengintimidasi, ia memasuki lobi utama. Dua pengawal pribadi berada di belakangnya. Karyawan yang mengenali wajahnya langsung menunduk. Aura berbahaya Alexio begitu kentara. Rayden, yang berada di ruangannya, dikejutkan oleh kabar kedatangan Alexio.
"Suruh dia masuk," katanya, berusaha menahan kegugupan.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Alexio masuk. Tatapan mereka bertemu. Dingin. Tegang.
“Alexio,” gumam Rayden.
“Bos kasino bawah tanah yang… tak banyak orang berani menyebut namanya.”
Alexio duduk tanpa dipersilakan.
“Aku di sini karena ingin membeli Ornadi Tech.”
Rayden tertawa hambar.
“Maaf. Perusahaan ini bagian dari Ornadi Corporation. Aku tidak bisa ambil keputusan sendiri. Harus ada persetujuan dari—”
“Cassandra,” potong Alexio.
“Tentu. Tapi sayangnya… aku tak punya banyak waktu untuk formalitas.”
Ia mengangkat tangan. Jay, yang berdiri di dekat pintu, melangkah masuk dan meletakkan map hitam di meja.
“Bukti-bukti. Penyuapan. Penggelapan. Transfer dana ke rekening luar negeri yang kau kendalikan dengan nama samara dan beberapa rekaman pembicaraan yang tidak akan disukai publik.”
Wajah Rayden pucat. Ia refleks mengangkat ponsel dari meja, tapi Jay lebih cepat. Dalam satu gerakan cekatan, Jay sudah meraih dan mengantongi ponsel itu. Rayden hendak berteriak, namun Alexio sudah berdiri di hadapannya. Pisau lipat kecil, elegan tapi tajam, diletakkan di leher Rayden. Ujungnya menekan kulit.
"Bergerak sedikit… kau berdarah. Mati, mungkin. Tapi lebih menyakitkan dari itu, namamu akan hancur dan seisi negeri akan tahu kebusukanmu," bisik Alexio.
Rayden gemetar.
“Pilihannya mudah,” lanjut Alexio.
“Tandatangani surat pengalihan kepemilikan Ornadi Tech dan aku akan menyimpan semua ini rapat-rapat.”
Rayden terdiam. Terjebak antara maut dan amarah Cassandra. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia meraih pena dan menandatangani dokumen itu.
Alexio tersenyum tipis.
“Bagus. Terimakasih atas kerja samanya.”
***
Malam menjelang. Di atap kasino milik Alexio, pesta berlangsung meriah. Langit terbuka penuh bintang. Musik menghentak. Cahaya lampu kota berkilauan seperti permata. Irene berdiri di dekat bar, menyesap wine merah. Di dekatnya, Dita tertawa ringan.
“Sejak kau datang, suasana geng ini berubah,” ujar Dita.
“Kau buat kami para perempuan punya peran. Dulu, kami hanya bayangan. Sekarang, kita berdiri di garis depan.”
Irene tersenyum.
“Karena yang pandai tak selalu pria.”
Di sisi lain lounge, Davin berdansa dengan dua gadis berpakaian minim. Suaranya riang.
“Untuk kemenangan pertama kita!” teriaknya sambil mengangkat gelas.
Jay dan Vincent mengangguk, ikut bersulang. Alexio hanya duduk di sofa, minum dalam diam. Matanya tak lepas dari Irene. Bayangan ciuman tanpa sengaja itu terus mengusik pikirannya. Bibir itu… terlalu lembut untuk dilupakan. Jantungnya kembali berdebar, namun ia memilih diam.
Davin tiba-tiba menggiring dua gadis cantik ke arah sofa.
“Lex! Jangan menyendiri terus. Ini malam perayaan!”
Gadis-gadis itu duduk dan mulai meraba dada Alexio sambil tertawa genit. Irene menoleh. Pandangannya membeku. Hatinya kesal.
Ciuman pertamaku... kenapa harus dia? batinnya.
Ia membalikkan badan dan berjalan pergi tanpa suara. Jay mengangkat alis.
“Dia pergi?”
Davin bersiul pelan.
“Bos kita yang gagah menolak dua wanita seksi demi satu gadis keras kepala?”
Vincent tertawa kecil.
“Menarik.”
***
Di kantor Ornadi Corp, Cassandra menghantam meja kerjanya.
“APA?!! Ornadi Tech sudah berpindah tangan? Tanpa satu rupiah pun?!”
Rayden berdiri kaku.
“BODOH!” teriak Cassandra.
“KAU—!! Sialan! Gagal total!”
Lucas melangkah masuk, tenang dan licik.
“Tenang, Nona Cassandra. Kita bisa membalas.”
“Apa maksudmu?”
Lucas tersenyum licik.
“Kasino Alexio adalah mesin uang. Kalau kita ambil itu… semua kerugian akan terbayar. Bahkan lebih.”
Cassandra menatapnya. Pikirannya berpacu.
***
Di koridor sunyi markas Valtherion, Irene berjalan cepat menuju kamarnya. Langkahnya tergesa, napasnya sedikit berat. Denting musik dari longue mewah di lantai atas masih samar terdengar, namun koridor ini sunyi seperti memisahkan dirinya dari dunia ramai di luar sana.
“Rin!” suara Alexio terdengar lantang, menggema.
Irene tidak menoleh. Dia justru mempercepat langkahnya.
Namun Alexio sigap. Ia menyusul dan langsung meraih lengan Irene, membalikkan tubuhnya agar menghadap padanya.
“Kenapa menghindariku?” tanyanya, nadanya dalam dan tenang, tapi matanya menyala penuh tanya.
Irene menatap Alexio sejenak, lalu berpaling.
“Terserah kau mau pikir apa.”
Alexio menyipitkan mata.
“Kalau begitu aku pikir kau marah karena tadi aku menolak dua wanita seksi demi mengejarmu.”
Irene mendengus pelan.
“Aku tidak peduli.”
Alexio mengangkat alis.
“Benarkah?”
Dia maju selangkah. Irene otomatis mundur.
“Kau cemburu?”
“Tidak.” Jawaban Irene terlalu cepat, terlalu defensif.
Alexio menahan senyum.
“Tentang ciuman tempo hari…”
Refleks, Irene menutup telinganya dengan kedua tangan.
“Aku tidak mau dengar!”
Alexio terkekeh.
“Jadi itu… ciuman pertamamu?”
Irene menatapnya kaget. Matanya melebar, pipinya memerah.
“Kau terlalu frontal!” sentaknya.
Alexio menggeleng perlahan, lalu menatap Irene lekat-lekat.
“Kau menyukaiku?”
Pertanyaan itu menghantam Irene seperti badai. Dia terdiam, kehilangan kata.
“Aku tidak memikirkan hal-hal seperti itu,” gumam Irene, menunduk.
Dalam hatinya, Irene menambahkan, Fokusku sekarang hanya satu… merebut kembali Ornadi Corp dari Cassandra. Aku tidak boleh teralihkan.
Alexio menghela napas, lalu mendekat. Irene kembali mundur hingga punggungnya menyentuh dinding. Detak jantungnya semakin cepat. Ia bisa merasakan hawa tubuh Alexio yang kini hanya sejengkal darinya dengan lembut, Alexio mengangkat dagu Irene. Wajah tampannya begitu dekat. Matanya tajam, tapi dalam. Ada sesuatu yang mengaduk-aduk perasaan Irene saat ia menatapnya.
“Aku tidak bercanda,” bisik Alexio.
“Kau terlalu menarik untuk diabaikan.”
Irene menahan napas. Alexio sedikit mendekat. Bibirnya hampir menyentuh Irene—
“Aaa!” Irene berteriak dan mendorong dada Alexio sekuat tenaga. Ia segera berlari menjauh tanpa menoleh lagi.
Alexio berdiri terpaku, dadanya bergemuruh hebat. Ia mengusap wajahnya pelan.
“Apa-apaan ini…” gumamnya.
Tapi di balik keluhan itu, matanya menyiratkan sesuatu yang tak pernah ia rasakan selama ini. Keinginan yang muncul bukan dari ambisi… tapi dari hati.
Tak jauh dari mereka, di balik pilar koridor, sepasang mata mengintip dalam diam. Lensa kamera diarahkan.
Klik.
Seseorang memotret kejadian itu diam-diam. Siluetnya menghilang dalam bayangan, membawa gambar yang bisa menjadi senjata… atau bencana.