Rasanya, tidak akan pernah cukup, kendati selalu kupinta dirimu dalam setiap sujud.
Dan rasanya tidak akan pernah cukup, kendati selalu kulangitkan namamu dalam setiap tahajjud.
karena di atas segala daya dan upayaku dalam setiap doa untuk meminta, sudah lebih dahulu ditetapkan takdir atas diri kita.
Aku hanya mampu bertaruh cinta di atas Takdir, berharap Allah Ridho.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 Kata Iya Dan Tidak Sama Beratnya
"Dan Alhamdulillah, Ndok. Seluruh keluargamu sudah menerima lamaran ini dengan sangat baik." Itu kalimat dari syaikhona lagi untuk Meidina Shafa, sebagai jawaban pada gadis itu atas tatap penuh tanya yang diarahkan kepadanya.
Gadis ayu itu merasakan tubuhnya seketika menjadi lemas seakan tidak bertenaga. Kepalanya menunduk terkulai, dan dalam sesaat semua dapat melihat, ada titik-titik bening yang jatuh menggelinding di wajahnya.
Meidina merasa tak siap, berita ini terlalu mengejutkan. Ia hampir tak percaya kalau dirinya dijodohkan dengan Irfan Arafka Wafdan. Sedangkan diketahuinya selama ini kalau antara mereka berdua punya perbedaan yang cukup dalam. Tak hanya usia yang terpaut lima tahun dengan Arafka. Tapi juga dari segi pengetahuan, pemahaman tentang agama, dimana pemuda itu masih pemula. Sedangkan Meidina, gadis itu sudah mantap posisinya sebagai muslimah yang cerdas, pemahaman agamanya kuat. Yang rasanya hampir tidak mungkin kalau gadis ayu itu berkenan untuk menjadikan Arafka sebagai imam.
Akan tetapi semuanya sudah diputuskan. Keputusan yang menurut Meidina begitu timpang. Tubuh gadis ayu itu terasa lemas. Ia merasa masa depannya yang indah dan cerah telah diputuskan dengan sekejap. Di malam ini, di masjid raya Alhasyimi. Di saksikan oleh teman-temannya sendiri. Dan di saat ia merasa tak berdaya. Tak berdaya untuk mengajukan rasa keberatan. Karena pihak keluarganya sudah memberikan persetujuan.
Meidina hanya bisa menjerit dalam hati, akan sikap keluarganya yang tak lagi memberi toleransi. Padahal mereka sangat demokratis selama ini. Untuk urusan pendamping hidup Meidina, mereka serahkan semuanya pada keputusan sang putri, karena gadis itulah yang akan menjalani. Tapi, mengapa sekarang sikap demokratis itu sudah tiada lagi.
Apa karena yang mengajukan calon adalah seorang mulia terhormat, kyai besar yang menaungi puluhan ribu santri, sehingga mereka langsung menerima tanpa meminta persetujuan Meidina Shafa.
Mengapa pula mereka tak melihat dan menilai lebih dulu, pantas dan tidaknya pemuda yang mereka terima sebagai calon menantu itu untuk bersanding dengan putrinya.
Dalam diam dan tertunduk dalam, Meidina terus menyalahkan keluarganya yang telah menerima lamaran tanpa meminta persetujuan. Gadis itu merasa dirinya sudah sangat dewasa, dan perkara memilih jodoh, ia seharusnya dilibatkan dalam memberi keputusan. Bukan malah langsung mengiyakan seperti sekarang.
"Meidina." Kembali terdengar Kyai pengasuh berkata lembut pada gadis ayu yang wajahnya sudah basah oleh air mata itu. "Di sini aku merasa perlu untuk mendengarkan tanggapanmu, Nak. Karena meskipun kedua orang tuamu sudah menyetujui pinangan ini, namun yang paling berhak menentukan adalah dirimu sendiri. Dan di sini, sepenuhnya kau berhak untuk bicara."
Dengan ucapan syaikhona yang penuh dengan kelembutan itu, maka terbantahlah semua anggapan Meidina yang terlanjur menyalahkan keluarganya. Ternyata, gadis ayu itu masih diberi kesempatan untuk memutuskan, apakah akan menerima atau menolak. Dan saatnya sekarang bagi Meidina Shafa untuk memberi jawaban.
Akan tetapi mampukah Meidina memutuskan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya itu di saat yang secepat ini, dalam situasi begini, serta adanya beberapa fakta yang baru ia ketahui. Entahlah.
Yang terlihat jelas saat ini, Meidina mendongakkan kepala, dan disengaja atau tidak, tatapannya beradu dengan netra bening milik Arafka. Pemuda tampan yang mungkin sebentar lagi akan menjadi bagian dari hidupnya itu juga tengah menatap ke arahnya. Tak ada yang bisa mengartikan interaksi saling memandang di antara dua orang yang sudah terikat dalam khitbah itu. Yang dapat mereka saksikan sekarang, hanyalah air mata Meidina yang kembali berlinangan. Sementara rangkaian kalimat terucap dalam hatinya.
Entah apa yang harus aku katakan. Kalimat apa yang harus aku ucapkan. Iya atau tidak, rasanya sama beratnya. Sekarang aku tidak tahu apa-apa, dan tidak mengerti apa-apa. Hanya yang aku pahami, bahwa aku mencintai Rayyan Ali Fattan. Hanya dia yang aku harapkan, yang kuyakini mampu menjadi imam untukku. Bukan yang lain, hanya dia seorang.
Di ujung lamunan itu, Meidina merasa mendapatkan keputusan. Bahwa ia hanya akan memilih Ra Fattan. Gadis ayu itu pun terdongak, untuk menyampaikan apa yang sudah menjadi jawaban. Tapi, saat itulah tatapannya menyapu wajah Davina, sang sahabat yang kedekatannya sudah lebih dari saudara.
Meidina tercekat, mendapati satu fakta baru yang menyeruak, bahwa Rayyan Ali Fattan sudah dijodohkan dengan Kanza Davina, sahabat terkasih yang selama ini selalu memahami dirinya. Hal mana membuat Meidina kembali bergelung dengan pemikirannya sendiri.
Mampukah aku menyuarakan perasaan ini? Mampukah aku terus berjalan dengan apa yang kurasakan, setelah aku tahu tentang perjodohan itu? Mungkin Davina memang tulus mengalah, Davina ikhlas mengakhiri ikrar perjodohan itu. Tapi, bagaiamana dengan keluarganya, yang tentunya hal ini menjadi tumpuan harapan mereka.
Bagaimana pula dengan keluarga Rayyan Ali Fattan? Bukankah memang kyai Muhajir yang mengantarkan Syaikhona ke rumah Meidina Shafa untuk menyampaikan lamaran itu?
Tidakkah ini sebuah isyarat yang harus dipahami?
Lalu, apakah perasaanku akan menang? Apakah masih ada celah untuk ikrar kasihku dengan Ra Fattan untuk bisa bersama? Mampukah aku mendobrak tirai etika dan Akhlak yang sudah terpasang?
Haruskah aku membuat tersinggung perasaan banyak orang yang notabenenya adalah orang yang kuhormati dan kusayang, hanya untuk menggapai satu rasa, yaitu cinta? Apakah cinta yang kupunya harus membuatku jadi kejam?
Meidina Shafa terdongak, namun masih tak ada kata yang dapat ia ucap. Belum ada keputusan yang bisa ia buat.
Sedangkan Davina, berkali ia ingin beranjak menghampiri Meidina. Ia ingin memeluk sang sahabat dan megatakan, "Meidina, jangan meresahkan apa pun. Jangan merisaukan siapa pun. Masa depanmu adalah milikmu. Kau yang berhak menentukan.
Jangan mengingkari hatimu. Karena hati adalah sumber kebahagiaan.
Aku mendukungmu Meidina. Apapun keputusan yang kau ambil, aku selalu ada bersamamu."
Sayangnya, semua ucapan penyemangat itu, hanya tertahan di rongga dada. Tak akan sampai pada Meidina. Karena Davina tak bisa melanggar batas akhlak santri pada gurunya, dengan melangkah menghampiri Sahabatnya yang duduk dekat dengan syaikhona. Gadis itu cuma bisa berharap, semoga suara hatinya, dapat didengar oleh Meidina Shafa.
Meidina Shafa masih dengan air matanya. Masih berada dalam pergolakan jiwa dan tak menemukan muara rasa sebagai jawabannya. Sepintas ia sampai pada keputusan untuk menerima saja pinangan itu. Dan bait-bait syair sedih pun mewarnai rongga jiwanya.
Apakah ini akhir dari semuanya Ra Fattan? Apakah ini jawaban dari Allah atas semua doa-doa saya, jawaban dari segala pertanyaan saya?
Apakah saya harus melupakan ajunan Ra?
Melupakan bangunan impian yang sudah rampung dan hanya tinggal ditempati saja.
Apakah saya harus bersama dengan orang lain, yang sebenarnya tidak pantas dengan saya?
Mampukah saya hidup dengan orang yang sebenarnya tidak saya inginkan?
Mampukah saya mencintainya, seperti saya mencintai ajunan Ra.
Dan bisakah dia mencintai saya seperti ajunan?
Ah tidak.
Terlihat Meidina menggeleng kuat. Dan wajahnya segera terdongak. Sepertinya sebuah keputusan sudah ia dapat. Gadis itu merasa tak mampu berdamai dengan perasaannya tentang hal ini. Tak mampu untuk bersandiwara dengan perasaannya sendiri. Berharap kapal layar berlayar di daratan itu adalah sesuatu yang tak mungkin, baginya.
Mungkin saya bisa bercerai kasih dengan ajunan Ra Fattan. Tapi saya tak akan bisa hidup bersama orang yang seharusnya saya memanggil adik kepadanya.
Itu adalah keputusan Meidina, dan dia sudah siap untuk mengutarakannya. Namun, secara tiba-tiba, wajah ayahnya membayang di pelupuk mata. Wajah sang ibu yang menatapnya dengan penuh kasih mengikut pula. Kemudian wajah saudara satu-satunya juga hadir di sana. Meidina tercekat. Jika ia menolak lamaran itu, sementara kedua orang tuanya sudah menerima. Bagaimana perasaan keduanya? Pasti bukan hanya rasa malu yang mereka dapat karenanya.
Lalu tegakah Meidina mempermalukan orang tua, menyakiti keluarga. Mereka yang selalu siap merangkulnya, kendati gadis itu mungkin dalam keadaan penuh lumpur dan berbau. Hanya keluarga yang sanggup melakukan hal itu. Bisakah Meidina menafikan cinta kasih mereka yang telah teruji dan terbukti selama ini, demi untuk meraih sebuah cinta kasih yang masih sebatas diyakini?
Sedangkan untuk menerima, bukan hanya perasaannya saja yang tak mampu. Tapi ada hati milik sahabatnya sendiri yang pasti akan terluka. Hati seorang Zaskia Arifa yang sangat memendam cinta begitu dalam pada Arafka. Bagaimana ini.
Ah Ya Allah.
Meidina menjerit dalam dada.
Menunduk atau mendongak sama saja.
Kata iya atau tidak untuk diucapkan sama beratnya.
Akhirnya tak pernah ada kata yang dapat terucap dari bibirnya. Tak pernah ada keputusan yang mampu ia ajukan sebagai jawaban. Hanya ada air mata. Hanya air mata yang dimaknai dengan beragam oleh semua yang melihatnya.
Dan Syaikhona menyikapi semua itu dengan tindakan bijak dan putusan tegas. Setelah sekian waktu telah terlewat, dan Meidina Shafa tetap tak mampu memberi jawab. Beliau pun berkata lembut pada sang gadis yang duduk cukup dekat.
"Karena kau diam, aku memaknai semua itu sebagai tanda setuju."
Davina menghela napas kuat mendengarnya. Sedangkan Meidina hanya bisa tertunduk dan merasa tak sedikit pun memiliki daya.
"Kalian semua, apakah setuju dengan keputusanku ini?" Dan Syaikhona masih meminta persetujuan yang lain, atas keputusan yang telah ia buat.
Dan bagaimana mereka semua tidak akan mengiyakan, sedangkan keputusan Syaikhona itu mengacu pada tuntunan rosul, dalam sebuah peristiwa khitbah di jaman beliau dulu. Beliau dengan jelas menyatakan, jika seorang perempuan dipinang, atau dikhitbah, jika ia janda maka dengarkan pendapatnya, apakah setuju atau tidak. Dan jika ia seorang gadis, maka diamnya, adalah pertanda setuju.
Maka siapa yang bisa menampik dengan semuanya. Bahkan juga termasuk Meidina Shafa. Karena,
Assukutu Yadullu Ala Na'am.
🥀🥀🥀🥀🥀
Assalamualaikum ...
Apa kabar semuanya?
Sombong sekali ya, penulisnya. Yang baru bisa menyapa kalian di bab ini.
Mohon maaf banget..
Maaf beribu maaf.
Saya hampir tak bisa mengatur waktu saat memutuskan untuk mengontrakkan dua novel sekaligus. Karena bersamaan itu, kesibukan di dunia nyata juga tak bisa diabaikan begitu saja. Dari semua hal yang sudah tak memungkinkan untuk dikerjakan bersama, akhirnya harus ada satu yang mengalah. Kalau aktivitas di dunia nyata, udah gak bisa diotak atik lagi. Sudah patent itu. Maka nulis novelnya yang harus dikurangi.
Akhirnya, saya memutuskan novel ini lanjut, dan novel yang satunya stay di tempat dulu sampai bulan depan, atau tahun depan. Dan novel terjerat cinta sang pewaris juga akan ditamatkan.
Jadinya, hampir gak ada waktu say hello dengan kalian, maaf ya..bukannya sombong. Saya butuh kalian ada. Saya butuh cinta kalian untuk setiap tulisan saya. Dan saya butuh kalian setia pada setiap goresan tinta saya. Lebih tepatnya, ketikan ujung jari saya. Karena sekarang kan udah gak nulis di buku lagi.
Love u teman-teman pembaca semuanya.
Saya sedikit ingin bercerita tentang bab ini yang hampir semuanya hanya berisi narasi, dan mungkin agak berlebihan juga penjelasannya. Saya di sini hanya ingin menjabarkan perasaan tokoh dengan sejelas-jelasnya, ketika menghadapi satu kondisi yang tak pernah diingini. Gadis yang sudah tiba waktunya akan menikah, seringkali dilema dengan masalah pendamping hidup. Ketika yang datang tidak sesuai dengan kriterianya. Memutuskan untuk menerima dan menolak seseorang juga bukan perkara mudah, apalagi ketika orang yang kita muliakan ikut berperan.
Hal itu yang sangat saya rasakan dulu, ketika masih ada di pesantren. Bagaimana teretorial kyai itu jauh lebih tinggi dari pada pemerintah, terlebih bagi santrinya.
Di sini saya cuma ingin menyajikan satu sisi kehidupan, dan satu sisi pemikiran yang mungkin tidak diketahui secara umum, atau merupakan bagian dari minoritas saja. Tapi, pemikiran seperti itu, dengan pola hidup seperti itu, seperti masa-masanya Meidina Shafa dan teman-temannya itu memang benar-benar ada, dan nyata. Hanya saja saya tidak akan menyebutkan kalau ini adalah kisah saya. Memang ada sebuah kisah nyata yang menginspirasi saya untuk menulis kisah ini.
Harapan saya semoga berkenan, dan dijauhkan dari kata bosan.
Sekedar info, cerita ini saya tulis di tahun 2012, dan baru sekarang bisa diluncurkan. Ya, karena pada saat itu masih belum kenal Noveltoon.
Love u semuanya...💞💞💗💗
aku mampir ya thor...🥰
banyak yang mengidolakan 😌