Pernikahan sudah di depan mata. Gaun, cincin, dan undangan sudah dipersiapkan. Namun, Carla Aurora malah membatalkan pernikahan secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas, dia meninggalkan tunangannya—Esson Barnard.
Setelah lima tahun kehilangan jejak Carla, Esson pun menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, tak lama setelah itu dia kembali bertemu Carla dan dihadapkan dengan fakta yang mencengangkan. Fakta yang berhubungan dengan adik kesayangannya—Alvero Barnard.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Licik Gilang
Carla menghentikan gerakan tangannya, urung lagi menikmati ramen yang masih tersisa banyak. Ia menatap Gilang sesaat, lantas mengalihkan pandangan ke sembarang arah dengan perasaan yang tak nyaman.
"Aku kurang beruntung, Mbak, kuliah harus mandek di semester dua. Akhirnya belajar fotografi secara otodidak doang, nggak ada bimbingan khusus dari ahlinya, nggak ada juga ijazah yang bisa dipakai untuk melamar kerja. Beberapa tahun ini aku jadi pekerja lepas. Terkadang disewa influencer, terkadang wedding organizer, terkadang juga cuma ngandalin jualan karya."
Gilang menarik napas panjang dan menjeda penjelasannya. Meski Carla tidak bertanya, tetapi mengalir saja cerita itu dari mulutnya.
"Minggu lalu aku disewa influencer yang lagi mempromosikan produk dengan latar Jepang. Sebenarnya tinggal dua harian lagi kerja kami di sini udah selesai, Mbak. Tapi ... aku ngerasa sayang kalau langsung pulang. Setelah ini belum ada agenda lagi mau ngapain, jadi kupikir-pikir di sini aja dulu, Mbak. Keliling tempat wisata dan foto-foto. Karena kebetulan juga aku belum ada karya yang berkaitan langsung dengan Jepang. Tapi ... ya itu tadi, aku belum paham banget dengan kota ini, termasuk bahasanya, cuma ngandalin Bahasa Inggris aku, Mbak."
Sampai Gilang terdiam beberapa detik, Carla belum menanggapi apa pun. Di satu sisi memang ada rasa iba, mengingat bagaimana berjuang sendiri di negeri orang itu tidak mudah, terlebih belum ada pekerjaan yang pasti. Namun, di sisi lain Carla juga malas jika harus berhubungan dengan orang-orang yang mengenal Vero. Takutnya hal itu menjadi jalan lagi untuk pertemuannya dengan Vero.
"Mbak ...."
Carla menghela napas panjang, lantas menatap Gilang dan berkata, "Aku di sini kerja ikut orang, tidak banyak waktu luang. Takutnya tidak ada sempat untuk membantumu."
Carla sudah menolak secara halus. Namun, Gilang seolah tak paham dengan maksud tersebut, atau mungkin sengaja dan berpura-pura.
"Aku nggak buru-buru kok, Mbak. Aku bisa menunggu Mbak Carla sampai benar-benar senggang. Kalau malem atau pas weekend gitu. Karena nggak tahu juga aku, Mbak, mau minta bantuan ke mana kalau bukan ke Mbak Carla. Aku nggak punya kenalan orang sini. Ini aja benar-benar keberuntungan bisa ketemu Mbak Carla di sini. Kayak kemudahan yang sengaja dikirimkan Tuhan padaku," ucapnya sambil tersenyum.
"Tapi, terkadang aku juga lembur."
"Kalau lembur, ya nggak apa-apa, Mbak, masih ada esok lusa. Aku nggak buru-buru, belum ada agenda lain juga, Mbak."
Setelah berpikir lama, akhirnya dengan sedikit terpaksa Carla mengangguk dan mengiyakan permintaan Gilang.
Girang sekali lelaki itu saat Carla meluluskan keinginannya. Berkali-kali dia mengucap terima kasih, seraya memuji dan menyanjung kebaikan Carla.
Diperlakukan demikian, Carla hanya tersenyum tipis. Bahkan saat Gilang meminta nomornya, Carla hanya mengangguk dan memberikannya begitu saja. Hampir tidak ada ekspresi di wajahnya.
Setelah mencapai kesepakatan, Carla dengan cepat menghabiskan ramen dan teh hijau miliknya. Lantas tanpa menunggu Gilang menyantap habis makanannya, Carla bangkit dan pergi lebih dulu. Gilang tak menahannya, karena apa yang telah dia inginkan, sudah ia dapatkan jalannya.
"Esson yang angkuh, dulu aku memang gagal menjatuhkanmu lewat Vero. Tapi sekarang, aku akan menjatuhkanmu lewat mantanmu. Dan aku yakin, kali ini nggak akan gagal," batin Gilang sembari menatap langkah Carla yang makin jauh darinya.
Senyum miring pun terukir di bibir, seiring rencana licik yang perlahan saja memenuhi seluruh ruang dalam otaknya.
_______
Embusan napas panjang berulang kali terdengar memenuhi ruang kerja di rumah utama keluarga Barnard. Sang pemilik kediaman, Esson, tampak duduk di kursi kebesarannya. Menatap fokus pada beberapa dokumen di hadapan dengan perasaan yang campur aduk. Antara kesal, bingung, marah, dan juga lelah.
Sampai kemudian, perasaan-perasaan itu perlahan terkikis karena kehadiran sang istri. Wajah cantik dan sikap anggun yang disuguhkan, membuat Esson sedikit mampu menepis penat yang menekan pikiran.
"Sayang, katanya mau ke rumah sakit, kok masih kerja terus?" tanya Tessa sembari duduk di samping Esson. Lantas, turut menatap dokumen-dokumen yang menumpuk di meja. "Lanjutkan besok saja pekerjaannya. Kasihan Vero."
"Ada sedikit masalah."
Tessa terkejut dan sontak bertanya, "Masalah apa?"
Usai mengembuskan napas kasar, Esson menjelaskan terkait masalah yang terjadi dalam bisnisnya akhir-akhir ini. Secara berkala, ada saja proyek-proyek kecil yang mengajaknya bekerja sama. Namun, jika diselidiki, ada sesuatu yang tak beres di balik proyek-proyek tersebut. Seolah ada pihak yang sengaja menjadi dalang dan memainkan pion dari balik layar.
Walaupun sejauh ini Esson tak pernah gagal mengatasinya, tetapi tetap saja ia belum tenang karena sampai saat ini masih tidak tahu pihak mana yang melakukan itu semua.
"Apa kamu tidak ada seseorang yang dicurigai?" tanya Tessa.
"Aku punya beberapa rival, tapi ... aku tidak tahu itu salah satu dari mereka atau bukan. Cara kerjanya cukup rapi, aku belum bisa melacaknya."
"Apa pun itu, semoga semuanya berjalan lancar, Sayang. Tidak ada kendala atau masalah yang serius." Tessa mengusap pelan bahu Esson, memberikan dukungan dan semangat penuh untuk sang suami.
"Amin, Sayang." Esson tersenyum. Lalu menyambung ucapannya, "Sekitar lima tahun lalu pernah ada kejadian yang mirip seperti ini, dan aku mencurigai rival terbesarku, Thomas Hartono. Tapi, sekitar dua tahun terakhir pria itu fokus dengan bisnisnya di luar negeri. Kurasa agak mustahil jika sekarang masih mengusikku, sementara dia sendiri tidak ada di sini."
Mendengar penuturan Esson, Tessa ikut berpikir. Namun, tak kunjung ada jawaban yang masuk akal di otaknya. Ia pun tak tahu harus mencurigai siapa, karena sama sekali belum ada jejak yang bisa diselidiki.
"Sayang, ya sudahlah tunda dulu pekerjaan itu. Kita pikirkan nanti, pelan-pelan, siapa kira-kira yang punya niat jahat ke kamu. Sekarang, lebih baik kamu cepat pergi ke rumah sakit. Dari siang loh kamu belum melihat Vero," ucap Tessa.
Esson pun lantas menurut. Tidak bersikeras lagi dengan masalah yang belum ada benang merahnya. Dengan segera Esson bangkit dan meninggalkan ruang kerja, bersiap pergi ke rumah sakit guna melihat sang adik yang masih terbaring dalam perawatan medis.
Bersambung...