Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
“Baiklah,” jawab Vincent santai.
“Kamu tidak keberatan?” tanya Olivia sedikit bahagia.
“Tentu saja tidak. Ya sudah, ayo.”
Vincent menjawab datar namun tidak ada penolakan sedikit pun di suaranya.
Olivia tersenyum manis, rasa hangat memenuhi dadanya.
“Terima kasih,” ucapnya sambil melirik Zoe.
“Terima kasih, Tuan,” Zoe ikut menunduk hormat, tersenyum kecil.
Vincent hanya mengangguk sekali, singkat dan berwibawa.
“Kamu yakin tidak mau sama aku saja, Zoe?” tanya Olivia lagi.
Zoe menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak, sayang. Aku bawa mobil sendiri. Aku ikuti kalian dari belakang.”
“Baiklah.” Olivia masuk ke dalam mobil bersama Zoe, dan mereka melaju menuju mansion.
* * * *
Beberapa menit kemudian, mobil Olivia berhenti di halaman mansion mewah. Para pria berbadan tegap sudah berjajar rapi, siap membantu membawa barang-barang belanjaan Olivia yang jumlahnya memang… sangat banyak.
Di samping mereka, Sus Eve sudah berdiri dengan lembut sambil menggendong Valerie kecil.
Begitu Olivia turun, hatinya langsung melunak.
“Halo sayang… mama dan papa pulang,” ucapnya lembut sembari menghampiri Valerie.
Zoe ikut berlari kecil mendekat.
“Lihat sayang, mama bawa Tante Zoe,” Olivia terkekeh.
Zoe memandangi Valerie yang memiliki iris hijau terang, kulit putih, hidung mancung, dan rambut cokelat gelap yang jatuh lembut. Anak itu benar-benar menawan.
“Astaga… Olivia, dia cantik sekali. Aku gemas lihatnya,” ucap Zoe kagum, nyaris tak bisa melepaskan pandangannya.
Olivia tertawa kecil.
“Sus, bawa Valerie masuk. Kita ngobrol di dalam saja.”
Mereka semua pun masuk. Olivia dan Zoe mencuci tangan terlebih dahulu sebelum duduk santai di ruang keluarga, mengobrol tentang banyak hal sambil memperhatikan Valerie yang bermain.
* * * *
Pagi-pagi sekali, Olivia sudah tampil cantik dan rapi. Hari ini dia masuk kerja lebih awal—ada misi penting.
Vincent keluar dari kamar mandi, rambut basahnya menetes, aroma sabun maskulin memenuhi ruangan.
“Kamu pergi sepagi ini?” tanyanya sambil mengusap rambutnya dengan handuk.
Olivia merapikan tasnya.
“Iya, ada kerjaan. Jadi harus berangkat cepat.”
Vincent mendekat, mengusap rambut sang istri pelan, sentuhan yang jarang namun penuh perhatian.
“Baik. Jaga kesehatan, jangan terlalu lelah.”
Olivia tersenyum manis.
“Baiklah.”
Setelah itu, ia melangkah keluar mansion.
* * * *
Sesampainya di kantor, Olivia dan rekan-rekannya berkumpul bersama Capten Joseph.
“Target kemungkinan tiba pukul dua siang,” ucap Capten Joseph.
Olivia menahan napas. Kata “target” membuatnya tegang bukan karena misi, tapi karena ketakutan jika pria itu bisa saja mengincar Valerie.
“Rose dan Erica, kalian turun untuk eksekusi.”
“Baik, Capten,” jawab keduanya.
“Lokasi detail nanti saya kirim.”
Lalu Capten tiba-tiba bertanya,
“Eiden di mana? Kenapa dia belum datang?”
Semua saling menatap.
“Mungkin sebentar lagi tiba, Capt,” jawab salah satu anggota.
“Seharusnya ini tugas dia. Tapi karena dia tidak ada… kamu yang turun,” ujar Capten pada anggota lain.
Setelah briefing selesai, mereka bubar.
Erica mengerutkan dahi.
“Aku rasa ada yang aneh.”
Olivia menoleh.
“Ada apa?”
“Eiden. Dia beberapa kali terlihat seperti orang ketakutan. Entahlah, dia terlihat… aneh.”
Olivia mencoba tenang.
“Mungkin dia sakit.”
Erica menggeleng keras.
“Tidak. Tatapannya kosong. Atau dia terlilit hutang?”
Olivia menghela napas.
“Sudahlah. Mungkin masalah keluarga…”
Tapi dalam hati Olivia tahu:
Eiden tidak punya keluarga. Aku harus menyelidikinya sebelum Vincent tahu…
Mereka kembali bekerja.
* * * *
Mereka sudah berada di depan sebuah restoran Cina sederhana.
“Kamu yakin mereka tiba di sini?” tanya Olivia sambil mengintip dari balik teropong.
“Sesuai info,” jawab Erica sambil mengetik di laptop kecilnya.
Ponsel Olivia berdering nama Vincent muncul.
“Halo?”
“Maaf mengganggu. Kamu pulang terlambat hari ini?” suara Vincent terdengar dingin namun tenang.
“Sepertinya tidak. Ada apa?”
“Aku ingin ajak kamu makan malam.”
Olivia tersenyum kecil, hatinya menghangat.
“Baiklah. Akan aku usahakan.”
Telepon terputus.
Erica langsung menggoda.
“Wah, begitu rasanya ditelpon suami ya?”
Olivia hanya tersenyum tipis sambil merakit senjata dengan teliti.
* * * *
Di ruangan tertutup, seorang pria bertubuh kekar duduk sambil tersenyum sok ramah.
“Suatu kehormatan bertemu Tuan Muda Verhaag,” ucap Stave.
Vincent bersandar santai, menyesap vapornya.
“Ck. Benar. Tidak semua orang bisa.”
Stave mencoba basa-basi sebelum memberi isyarat. Asistennya membuka tas berisi sertifikat helikopter baru.
“Ini ganti untuk helikopter Anda, Tuan Verhaag.”
Vincent melihat sekilas. Nilainya tidak sebanding.
Sampai akhir pun kau masih coba menipuku… pikir Vincent sambil tersenyum tipis.
Ia melirik Louis. Louis mengerti, mulai mengetik cepat menghubungi seseorang.
“Apa kau pikir aku bodoh, Stave? Membawa rongsokan ini dan berharap aku percaya?”
Stave masih berusaha santai.
“Aku hanya punya ini sekarang. Kalau ingin yang setara dengan punyamu, butuh waktu”
“Kalau begitu… aku ambil saja hakku sendiri.” Nada Vincent turun, dingin.
Beberapa detik kemudian, asisten Stave mendapat pesan. Wajahnya pucat.
Ia membisikkan sesuatu ke telinga Stave.
Ekspresi Stave berubah drastis.
“Apa?! Jelaskan dengan benar, dasar bodoh!”
Asistennya memberikan ponsel. Di layar, pabrik ganja milik Stave terlihat terbakar habis.
Vincent mengisap vapornya pelan, tatapannya penuh kemenangan dan ancaman yang disembunyikan di balik tenang.
* * * *
Olivia melihat semuanya melalui teropong.
Apa yang dia lakukan di sana…? batinnya shock melihat suaminya sendiri duduk berdampingan dengan target.
Erica ikut terkejut.
“Itu… Tuan Muda Verhaag. Olivia! Itu benar-benar dia!”
Seluruh tim memang tidak tahu siapa suami Olivia.
“Ah, begitu ya…” Olivia menjawab datar, tidak menunjukkan keterkejutan.
Capten menimpali lewat earpiece,
“Tuan Muda Verhaag memang sengaja memancing Stave ke sana.”
Semua mengangguk paham, kecuali Olivia yang kini harus menjaga dua rahasia sekaligus
misi… dan identitas suaminya.
“Rose, lakukan.” perintah Capten.
“R-Rose,” panggil Erica, melihat Rose masih kaku.
“Ah iya… baik,” jawab Rose gugup, menarik napas panjang.
Misi dimulai.
Dan bagi Olivia…
ini adalah awal dari kekacauan baru antara dunia pekerjaannya dan dunia gelap suaminya.