Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Setelah merayakan ulang tahun Umar di sebuah saung rumah makan, aku duduk di kursi penumpang, sementara Bu Airin yang juga dosennya dan temanku, mengendarai mobil mengantarku pulang. Di luar jendela, lampu jalanan berkelebat cepat, seolah berusaha mengalihkan pikiranku yang terus terpusat pada Umar.
Sementara itu, kurasa Umar sudah melaju ke rumah Citra. Dia bilang karena ada tugas dan harus memberikan materi, tapi aku tahu betul itu alasan biasa yang tak pernah benar-benar menjelaskan kepergiannya. Hatiku seolah berat, mengenang betapa sering dia punya alasan yang sama, meninggalkanku dalam hampa.
Di rumah, sebelum turun, aku menyadari Bu Airin menoleh padaku dengan mata yang seolah penuh perhatian dan sedikit enggan meninggalkan. Dia menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menahan perasaan kasihan yang terpancar jelas.
"Boleh Ibu singgah sebentar?" tanyanya lembut, senyumnya kecil tapi tulus, seakan tahu betapa berat bebanku saat ini. Aku hanya bisa mengangguk, mengizinkan keberadaannya sedikit mengusir sepi yang menyelinap.
Aku cuma mengangguk pelan, menahan diri untuk tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kehadirannya di ruang tamu yang seringkali dingin dan sunyi itu seperti secercah hangat yang tiba-tiba merayap masuk. Bu Airin, dengan tatapan lembut dan sikap tenangnya, selalu membawa rasa aman seperti ibu kedua bagiku. Matanya menyimpan perhatian tulus yang kadang sulit diungkapkan kata-kata. Saat dia membuka suara, aku tahu dia sudah memilih kalimat dengan hati-hati.
"Umar cerita ke Ibu..." suaranya serak, seolah takut membuat suasana berubah.
"Dia sangat mencintai kamu, Nay."
Kata-kata itu meluncur perlahan, tapi menusuk di balik ketenangannya. Aku menelan ludah, dada berdebar. Sebagai orang bahasa, aku tahu betul betapa dalam dan berat makna tersirat di balik kalimat sederhana itu. Diamku bukan hanya karena takut, tapi juga karena rindu yang belum berani kuakui.
Sekuat apa pun aku menekan perasaan ini, rasa sakit itu tetap mencakar dadaku dengan tajam. Kenapa Umar harus memilih jalan ini? Aku tak pernah menginginkan hidupku terpotong setengah demi separuh orang lain.
Di hadapan Bu Airin, aku menata senyum yang rapuh, seolah segala guncangan di hatiku tak pernah ada. Aku menolak jadi beban dengan kesedihanku, terutama kini saat cinta Umar mulai terpecah. Namun, di balik semua itu, ada bisikan lirih dari dalam yang tak bisa kuabaikan, bertanya apakah keadilan benar-benar pernah memihak padaku. Meskipun aku belum tahu pasti tentang pernikahan Umar dengan wanita lain, firasat itu makin keras menusuk hati.
Naluri wanita memang lebih tajam dari logika yang mencoba menenangkan. Mungkin ini hanya prasangka, atau malah kebenaran yang belum kujalani sepenuhnya.
Aku duduk di sudut ruang tamu, memegang erat cangkir kopi yang mulai dingin. Pandanganku kosong menatap pintu depan yang tertutup rapat. Suara langkah Umar yang pelan di tangga semalam masih terngiang tapi kini ia jarang kembali ke rumah. Katanya sibuk memberi materi pengkaderan di organisasi, tapi bau asing yang melekat di bajunya bikin dada ini sesak. Setiap kali dia pulang, aku mau bertanya,
"Ada apa sebenarnya?" tapi kata-kata itu tercekat, menggantung di kerongkongan.
Aku bertanya-tanya, apakah ini cuma perasaanku yang bengkak atau mungkin hati kecilku sudah tahu sesuatu yang mataku belum bisa lihat. Saat Umar pamit, aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan keraguan.
"Kak Airin, aku mandi dulu yah. Santai saja di rumah ini. Anggap saja rumah sendiri yah, Kak," suaraku terdengar ringan, padahal hatiku berdebar tak menentu. Aku bergegas ke kamar mandi, berusaha mengusir bayang-bayang rasa cemas yang menggigit.
"Iya, santai saja, Nay. Aku nyalain televisi yah, mau lihat drama Korea," Kak Airin menyapa sambil tersenyum tipis, tapi matanya tampak sayu, seperti menahan beban yang tak bisa ia ucapkan. Di dalam diam, pikirannya melayang ke Nay, kasihan, pikirnya. Mungkin Nay benar-benar kesepian setelah lama ditinggal Umar.
Airin tahu betul bagaimana rasanya hidup terpisah dari seseorang yang dicintai. Wajah Nay yang dulu ceria kini sering tampak redup, dan itu membuat dadanya sesak. Tapi di sudut lain, Airin tak bisa menutup mata pada keadaan Umar. Menikahi Citra mungkin itu bukan keinginan Umar sejak awal. Namun, siapa yang bisa menolak godaan seorang wanita secantik itu?
Airin menghela napas panjang, menahan gelombang perasaan yang bergolak di dalam dada.
"Ah, mungkin benteng hati yang kuat sekalipun, lama-lama bisa retak..." pikirnya getir. Ia mencoba mengalihkan pikiran itu, tapi logika dan hati tak kunjung berdamai.
Citra, bagaimanapun juga, kini resmi menjadi istri Umar. Kalau aku yang di posisinya, mungkin aku juga ingin diterima sepenuhnya, tanpa rasa asing di hati pasangan sendiri. Tapi... bisakah Nay benar-benar kuat menghadapi semua ini? Di mana keadilan untuk mereka bertiga?
Setelah mandi dan berganti pakaian santai, aku duduk di ruang tamu bersama Airin. Tanpa hijab di kepala, suasana jadi lebih ringan, meski matanya tetap menatap tajam, penuh pertanyaan.
"Kak Airin, kok belum mandi?" aku mencoba membuka percakapan, suaraku bergetar sedikit menahan canggung. Dia mengangkat bahu, cepat menjawab,
"Nanti saja di rumah," sebelum matanya kembali menyelidik ke arahku. Diam sesaat, lalu dia tiba-tiba bertanya,
"Sejak kapan Umar sering ninggalin kamu sendiri di rumah, Nay?" Suaranya berubah menjadi dingin, seperti sedang mengorek sesuatu yang kuberu saja sembunyikan.
Aku terpaku di tempat, mataku menatap kosong ke sudut ruangan. Kata-katanya terus bergema, menusuk pelan tapi pasti ke relung pikiranku. Apakah aku benar-benar pernah menyadari perubahan itu? Apakah Umar memang sering menghindar dariku? Perasaan sakit seperti sebuah pintu yang aku kunci rapat-rapat kini mulai dipaksa terbuka. Kupaksa ingat momen demi momen yang terlewat, mencari jawaban di tengah kebingungan yang tiba-tiba membanjiri benakku.
"Kapan, ya?" aku mengerutkan dahi, suara kecilku penuh ragu.
"Aku rasa... setelah dia pulang dari Semarang awal bulan ini," jawabku pelan, sambil menunduk.
"Sejak itu, Mas Umar sibuk banget. Ngisi materi pengkaderan terus. Dia sampai bilang harus tidur di tempat kegiatan," lanjutku, mencoba menyampaikan alasan yang selama ini dia berikan padaku, tapi hatiku tak yakin itu cukup.
Pikiran itu berputar dalam benakku tanpa henti. Apa semuanya benar-benar masuk akal? Kepulanganku dari Semarang, tiba-tiba kesibukan yang memuncak seperti ada pola tersembunyi yang ingin terungkap, tapi aku enggan melompat pada kesimpulan. Mataku terarah ke Airin. Apakah dia menyimpan sesuatu yang tak aku tahu? Jantungku berdebar tak nyaman, tapi aku sengaja menenangkan diri, menutup rapat rasa cemas yang mulai muncul.
“Nay, kalau kamu merasa kesepian atau takut di rumah sendiri, kamu bisa ke rumahku,” suara Airin terdengar lembut, tapi ada sedikit kekhawatiran dalam ucapannya.
“Atau, kamu mungkin perlu asisten rumah tangga. Rumah kamu kan besar, gak enak juga kalau kamu harus sendirian terus. Apa kamu nggak takut?”
Aku tahu dia ingin bilang sesuatu lebih, mungkin tentang Umar. Tapi kata-katanya terhenti, seolah menahan beban yang tak ingin ia lepas begitu saja. Aku bisa merasakan keraguan dalam tatapannya, takut rumah tangga kami malah semakin hancur jika rahasia itu terbuka. Tapi sampai kapan aku harus terus menutup mata dari kebohongan Umar?
"Kak Airin, sebenarnya aku nggak mau berprasangka buruk sama Mas Umar. Tapi akhir-akhir ini, sikap dia bikin aku gelisah. Kadang aku nangkep ada sesuatu yang disembunyikan dariku, meski aku sendiri nggak tahu apa."
Aku duduk termenung, jari-jari ini tanpa sadar meremas kain di pangkuan.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku terlalu paranoid? Atau... naluriku ini nggak salah?” gumamku dalam hati, suara pelan yang nyaris tak terdengar.
Berani-beraniku curhat ke Kak Airin. Dia cuma melemparkan senyum tipis, mata teduh yang seolah tahu betul apa yang aku rasakan.
“Percayalah sama Umar, Nay,” suaranya lembut tapi tegas.
“Nanti, kalau waktunya udah pas, dia pasti akan cerita. Sabar ya.”
Seharusnya kalimat itu bikin aku tenang, tapi anehnya justru makin bikin benakku berputar, penuh tanda tanya yang belum terjawab..
Nada suaranya mengalir begitu yakin, seperti seseorang yang tengah menyimpan rahasia besar. Aku menatap matanya, berusaha menelisik sesuatu di balik tatapan yang tak tergoyahkan itu. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan, seolah kata-kata yang ia tahan terlalu dalam untuk diungkapkan.
"Apakah Kak Airin memang tahu apa yang Mas Umar sembunyikan? Kenapa dia tak langsung bilang ke aku? Aku kan berhak tahu," pikirku sambil menggigit bibir bawah, dada terasa sesak tak menentu.
Gelisah merayap, menggerogoti sabar antara ingin mengungkap semuanya dan takut akan jawaban yang mungkin menghancurkan harapan.
Aku mulai ragu, lebih pedih mana: ketidakpastian yang membakar atau rasa sunyi karena merasa sendirian dalam misteri ini.