Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Di sebuah rumah persembunyian yang sangat rahasia, jauh dari jangkauan Salvatore, Bima terbaring di ranjang darurat.
Wajahnya yang babak belur kini dibersihkan dan diperban seadanya.
Kaki Bima yang terluka juga telah ditangani. Dia masih belum sadar, tetapi napasnya mulai stabil.
Duduk di samping ranjang itu adalah seorang pria paruh baya berwajah keras namun memiliki sorot mata yang hangat dan penuh kekhawatiran: Papa Erwin.
Papa Erwin, mertua Bima yang selama ini berada di balik layar dan bergerak di bayangan, mengusap pelipis Bima.
"Anak bodoh. Kenapa kau selalu mempertaruhkan nyawamu begini," gumamnya pelan.
Adegan berputar. Itu adalah malam yang sama, beberapa jam setelah Bima dimasukkan ke dalam peti.
Papa Erwin dan tiga anak buah kepercayaannya bergerak cepat di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Gudang itu gelap, dingin, dan bau amis darah bercampur debu.
"Cepat, dia hanya punya waktu beberapa menit lagi," perintah Papa Erwin dengan suara rendah dan mendesak.
Mereka menemukan peti kayu itu, yang ditinggalkan begitu saja di sudut tersembunyi. Dengan menggunakan linggis, anak buah Papa Erwin membongkar paksa kunci peti itu.
Peti terbuka. Di dalamnya, tubuh Bima meringkuk, tak bergerak.
Wajahnya pucat pasi, dan setelah diperiksa cepat, pria yang selama ini menjadi menantunya itu sudah tidak bernapas.
"Cepat! Resusitasi!" teriak Papa Erwin, berlutut di lantai kotor itu.
Salah satu anak buah yang terlatih segera memulai napas buatan dan kompresi dada.
Papa Erwin memperhatikan dengan tegang. Satu menit, dua menit... waktu terasa seperti berhenti.
Tiba-tiba, Bima terbatuk lemah. Sedikit udara kotor dari gudang itu berhasil masuk ke paru-parunya.
"Dia bernapas! Bawa dia keluar! Sekarang!" perintah Papa Erwin lega, memanggul Bima bersama anak buahnya, membawa Bima menjauh dari gudang kematian itu.
Papa Erwin tahu, Bima selamat karena jaringannya yang luas berhasil mencegat pesan Marco yang ingin 'melaporkan keberhasilan' kepada Salvatore, sehingga mereka tahu di mana Bima dibuang.
Papa Erwin kembali menatap Bima. Ia telah berhasil menyelamatkan Bima dari kematian yang direncanakan Salvatore, tetapi Sania putrinya sendiri kini berada di tangan monster itu.
Papa Erwin menggenggam tangan Bima yang terkulai lemah.
"Kamu harus bangun, Nak. Sania membutuhkanmu. Sekarang dia di bawah kendali Salvatore, dan aku butuh bantuanmu untuk membawanya kembali," bisik Papa Erwin, bersumpah dalam hati untuk menghancurkan Salvatore yang telah menghancurkan keluarganya.
Sementara Bima berjuang untuk hidup di tempat persembunyian rahasia, Sania berada dalam neraka pribadinya.
Setelah kembali dari dapur, Sania dipaksa untuk duduk di sofa di ruang kerja utama, di samping Salvatore yang kini tampak tenggelam dalam dokumen dan panggilan telepon.
Sania hanya duduk diam, mematung, kelelahan fisik dan mentalnya mencapai batas maksimal.
Ia berpegangan pada satu-satunya rahasia yang ia miliki: lokasi flashdisk.
Tiba-tiba, Salvatore meletakkan pulpennya. Ia menoleh ke arah Sania, tatapannya dingin dan menuntut.
"Dimana Flashdisk Adam?" tanya Salvatore tanpa basa-basi.
Sania tahu, ini adalah alasan utama ia masih hidup selama Salvatore belum mendapatkan flashdisk itu, ia akan tetap dipertahankan.
Sania menatapnya, lalu menggelengkan kepalanya lemah.
"Aku tidak tahu," bisik Sania, meskipun Salvatore tahu ia berbohong.
Salvatore bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Sania. Ia menatap Sania dengan senyum sinis.
"Jangan bodoh, Sania. Kau sudah kehilangan Bima. Kau sudah menandatangani surat cerai. Jangan membuat hidupmu lebih sulit lagi," desisnya.
"Aku sudah membiarkanmu beristirahat beberapa jam. Tapi sepertinya kau butuh penyegaran."
Salvatore menjambak rambut Sania pelan, memaksanya mendongak.
"Baik, aku akan menghukummu lagi."
Sania menutup matanya, ketakutan memenuhi jiwanya.
Ia tidak punya energi lagi untuk melawan, tetapi ia juga tidak akan menyerahkan bukti yang dapat menyelamatkan Bima jika Bima benar-benar selamat.
Salvatore melepaskan Sania, berjalan ke pintu. Ia menekan tombol kunci otomatis dan menutup pintu ruang kerjanya.
Pintu besar itu tertutup dengan bunyi klik yang mematikan, menyegel Sania di dalam bersama monster itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Salvatore kembali ke Sania dan melakukannya lagi, memaksa Sania masuk lebih dalam ke dalam lubang penderitaan yang ia ciptakan, sebagai hukuman atas kesetiaan Sania pada rahasia dan cinta sejatinya.
Setelah siksaan yang berkepanjangan, tubuh Sania akhirnya mencapai batasnya.
Rasa sakit dan kelelahan yang ekstrem, ditambah trauma yang berulang, membuat kesadarannya memudar. Sania tersentak, mata terpejam, dan ia kembali pingsan, tubuhnya terkulai lemas di atas sofa.
Salvatore menatap tubuh Sania yang tak bergerak dengan rasa frustrasi dan jijik.
Ia tidak peduli dengan kondisi fisik Sania, yang ia butuhkan hanya informasi.
"Bangun!" desis Salvatore, mengguncang bahu Sania, namun tidak ada respons.
Menggerutu kesal, Salvatore meraih gelas air minum yang ada di meja samping.
Dengan cepat, ia mengambil air dan menyiramnya keras-keras ke wajah Sania.
Air dingin yang menghantam wajahnya membuat Sania tersentak kaget.
Matanya terbuka, dan ia terengah-engah, bingung antara rasa dingin air dan panas amarah yang memuncak.
Salvatore mencondongkan tubuhnya, mencengkeram rahang Sania.
"Dimana flashdisk itu, Sania?! Katakan sekarang!"
Namun, kali ini, Sania tidak menangis, tidak memohon, dan tidak gentar.
Sebaliknya, ia tiba-tiba mengeluarkan suara yang ganjil. Sebuah suara serak, lalu berkembang menjadi tawa yang histeris dan keras.
Tawa itu tidak mengandung kegembiraan, melainkan keputusasaan yang gila, tanda bahwa jiwanya telah mencapai titik patah.
Sania tertawa terbahak-bahak, tawa yang mengerikan dan menggema di ruang kerja mewah itu.
Air mata mengalir, bercampur dengan air yang membasahi wajahnya.
"Kamu mencarinya?!" Sania berteriak, suaranya parau dan serak karena tawa dan tangisnya.
Ia menatap Salvatore, matanya penuh kegilaan yang dingin.
"Kau menghukumku, membunuh Bima, mengikatku di sini untuk sepotong data kecil?!"
Tawa itu kembali meledak.
"Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah menemukan flashdisk itu!" Sania menantang, wajahnya kini menunjukkan ekspresi kemenangan yang menyakitkan.
"Bahkan jika kamu memotong tubuhku menjadi seribu bagian, kau tidak akan mendapatkannya!"
Sania kini menatap Salvatore dengan tatapan menantang, seolah-olah ia telah kehilangan semua yang berharga sehingga tidak ada lagi yang bisa diambil.
"Bunuh aku, Sal!! Bunuh aku sekarang! Aku tidak takut padamu lagi!" tantangnya, berharap
Salvatore mengakhiri penderitaannya, sekaligus memastikan rahasianya terkubur selamanya.
Salvatore tertegun. Ia tidak pernah mendapati Sania seberani ini sebahaya ini. Tawa kegilaan Sania lebih mengancam daripada perlawanan fisik mana pun.
Salvatore menarik napas tajam, ekspresi wajahnya berubah dari terkejut menjadi sangat kesal.
Histeria Sania mengancam ketenangan dan rencananya. Dia tidak bisa membiarkan Sania mati atau menjadi gila sebelum flashdisk itu ditemukan.
"Marco!" teriak Salvatore, suaranya memanggil anak buahnya dari luar pintu. "Bawakan sesuatu. Segera!"
Tak lama kemudian, Marco masuk dengan membawa sebuah suntikan kecil di tangannya.
Salvatore menahan Sania yang masih tertawa dan berteriak-teriak histeris dalam campur aduk antara tawa dan air mata.
Marco mendekat, dan dengan cepat, ia memberikan obat penenang itu melalui lengan Sania.
Sania meronta sesaat, merasakan tusukan jarum, tetapi obat itu bekerja dengan cepat.
Dalam hitungan detik, matanya mulai sayu, dan tawa gilanya mereda menjadi isakan pelan.
Salvatore mencondongkan tubuhnya ke wajah Sania yang mulai lemah.
"Kau memaksaku, Sayang," bisik Salvatore dengan nada tenang yang menyeramkan.
"Jangan salahkan aku, Sania. Kau tidak mau diam. Kau tidak mau memberikannya padaku. Kau yang memilih jalan ini."
Sania menatap mata gelap Salvatore untuk terakhir kalinya.
Matanya menunjukkan campuran keputusasaan, kelelahan, dan rasa jijik yang tak terbatas.
Dia ingin melawan, ingin berteriak lagi, tetapi tenggorokannya tercekat, dan kesadarannya semakin ditarik ke dalam kegelapan.
Dengan pasrah, Sania memejamkan matanya, membiarkan kegelapan obat penenang itu menelan dirinya, berharap ia tidak perlu bangun lagi.