Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 5
Koridor panjang mansion itu terasa seperti medan perang.
James berdiri satu meter dari Soni, wajahnya gelap, napasnya berat, tangan terkepal.
Soni tidak bergeming, masih memegang lengan Hana dengan cengkeraman yang seolah sengaja ia buat terlihat lebih keras di depan James.
“Hana,” kata James, suaranya serak.
“Ayo ikut aku. Sekarang.”
Hana mengangkat sedikit wajahnya.
Matanya merah, basah, bibirnya gemetar.
Dan saat pandangan mereka bertemu…
Hatinya seperti runtuh.
James ingin melindunginya.
Tapi Soni…
Soni memegang seluruh hidupnya.
Rumah.
Keamanan palsu.
Rasa takut.
Rahasia.
Semuanya.
Hana menggeleng lemah. “Saya… saya tidak bisa.”
James tertegun seperti ditampar.
“Apa maksudmu?” suaranya bergetar.
Soni tersenyum puas, tapi tidak bicara.
Ia menunggu.
Hana menahan napas. Ini satu-satunya cara menghentikan mereka bertengkar… satu-satunya cara melindungi James.
“Tuan James… saya tidak bisa ikut.”
Hana bicara pelan, tapi jelas.
“Tempat saya… ada di sisi suami saya.”
James membeku.
“Dia memperlakukanmu seperti—”
“Tolong hentikan.”
Suara Hana gemetar.
“Aku… aku yang memilih tetap di sini.”
Soni memiringkan kepala, menatap Hana seperti memeriksa mainan yang tiba-tiba patuh.
Namun tidak menghentikan genggamannya.
James menggeleng tidak percaya.
“Hana. Dia memperlakukanmu buruk. Kau tahu itu. Aku lihat sendiri.”
“Tidak apa-apa,” bisik Hana.
“Saya… sudah terbiasa.”
“Aku tidak mau kau terbiasa!”
Hana memejamkan mata.
Air mata turun lagi.
“Tolong… jangan buat semuanya makin sulit.”
James melangkah maju, ingin menarik Hana dari cengkeraman Soni—
Tapi Hana mundur.
Menjauh dari James.
Menjauh dari satu-satunya orang yang pernah membuatnya merasa aman.
“Hanasta…” suara James patah.
Hana menggeleng lagi.
“Kalau saya pergi sama Anda… Tuan Soni akan marah. Dan Anda akan terluka. Saya tidak mau itu.”
James mencengkram rambutnya frustasi.
“Soni yang akan terluka kalau terus menyentuhmu!”
Hana menunduk dalam, lalu…
mengambil keputusan yang menghancurkan hatinya sendiri.
Dengan tangan gemetar, ia menarik lengan Soni—
seolah meminta perlindungan dari laki-laki yang justru menyiksanya.
“Soni… suami saya,” katanya pelan.
“Saya ikut dengannya.”
James terpaku.
Wajahnya seperti hancur tepat di depan Hana.
“Jadi begitu?” suaranya hampir tidak terdengar.
“Kau lebih memilih dia… daripada aku?”
Hana menggigit bibir, menahan isakan.
“Maafkan saya.”
Dan di saat itu—
Soni melemparkan tatapan kemenangan ke arah James.
Tanpa perlu berkata apa pun, ia telah menang.
“Kalau sudah jelas,” ucap Soni datar,
“aku bawa istriku masuk.”
Ia menarik Hana pergi.
Hana mengikuti, langkah goyah, namun tetap berjalan.
Tidak menatap James lagi.
Tidak berani.
James hanya berdiri… kaku dan hancur.
Matanya berair tapi menolak jatuh.
Saat Hana melewati tikungan koridor, James akhirnya berbisik:
“Hana… kau tidak memilih dia.”
Suara itu patah.
“Kau hanya terlalu takut.”
Tapi Hana sudah tidak bisa mendengarnya lagi.
Soni membawa Hana masuk ke ruang pribadinya.
Pintu ditutup.
Klik.
Suara kecil itu memotong hati James seperti pisau.
Dia sadar satu hal:
Selama Soni masih bernafas, Hana tidak akan pernah benar-benar bebas.
Dan malam itu…
James bersumpah akan menghancurkan laki-laki yang memenjarakan wanita yang ia cintai.
Bagaimanapun caranya.
Pintu ruang pribadi Soni tertutup dengan bunyi klik yang pelan namun mematikan.
Hana berdiri di dalam ruangan itu seperti boneka yang kehilangan tenaga.
Lampu ruangan remang, aroma cologne Soni memenuhi udara… dan suara langkahnya mendekat dari belakang.
“Duduk.”
Nada itu tegas, tidak meninggi, tapi memerintah.
Hana duduk pelan di sofa kulit. Tangannya memegang ujung bajunya, gemetar pelan.
Soni berhenti tepat di hadapannya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, menatap Hana dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Kau hampir membuat James menghancurkan seluruh rumah,” katanya perlahan. “Karena kebodohanmu.”
Hana menunduk.
“Saya minta maaf…”
“Maaf tidak cukup.”
Soni memutar kursi dan duduk di depan Hana, tatapannya tajam menusuk.
“Lihat aku.”
Hana mengangkat wajahnya perlahan. Mata merah, napas tercekat, wajah memucat.
Soni mendekat, menepuk pipi Hana dengan ujung jarinya, bukan lembut—tapi memeriksa.
“Kau menangis,” katanya lirih.
“Aku tanya sekali saja… kau menangis karena aku? Atau karena James?”
Hana terdiam.
Soni menunduk lebih dekat.
“Jawab.”
Hana mengepalkan tangan.
“Karena saya… takut membuat Anda marah.”
Soni tersenyum tipis.
Senyum yang tidak menyenangkan.
“Bagus.”
Ia berdiri perlahan.
“Kau ingat tempatmu.”
Hana menarik napas, lega tapi sekaligus hancur.
Lega karena Soni tidak memaksa lebih.
Hancur karena ia baru saja membohongi dirinya sendiri.
Soni mendekat… dan memberikan peringatan
“Hari ini kau hampir keluar dari pintu belakang.”
Ia berjalan mengelilingi Hana seperti singa mengitari mangsanya.
“Itu kesalahan besar.”
Hana menunduk dalam.
“Saya… saya hanya ingin udara segar.”
“Kau ingin kabur, Hanasta.”
Soni berhenti tepat di belakangnya.
Hana menegang.
“Kau berniat meninggalkan suamimu,”
bisik Soni di telinganya.
“Dan itu berarti kau mengkhianatiku.”
Hana menutup mata. Air mata jatuh diam-diam.
“Saya tidak akan mengulanginya lagi,” bisiknya.
Soni menaruh tangannya di bahu Hana—erat, namun bukan lembut.
Lebih seperti memastikan Hana tidak bisa lari.
“Kau tidak akan ulangi lagi,” katanya.
“Atau aku sendiri yang pastikan kau tidak pernah melangkah lebih dari tiga meter dariku.”
Hana mengangguk cepat.
“Saya mengerti.”
“Bagus.”
Soni melepas bahunya.
“Mulai besok, kau tidak boleh berada di lantai dua sendirian. Dan dua pelayan akan mengawasi gerakmu.”
Hana membeku.
Dijaga.
Diawasi.
Seperti tahanan.
“Tapi…”
Hana berbisik lirih, “Kalau James melihat itu… dia akan curiga.”
Soni tersenyum lebih lebar.
“Itu bagian menariknya.”
Hana meremas bajunya kuat-kuat.
Ia tahu apa artinya:
Soni sengaja memprovokasi James.
Sengaja membuat James marah.
Sengaja membuat Hana terlihat “bersalah”.
Dan Hana yang akan menanggung harga semuanya.
Di luar ruangan – James berdiri di koridor
James berdiri diam, punggung menempel ke dinding.
Ia mendengar suara samar dari dalam.
Tidak jelas, hanya nada rendah—Soni yang memaksa, Hana yang tunduk.
James mengepalkan tangan sampai gemetar.
“Aku harus masuk,” gumamnya.
Namun langkah kaki berhenti di depannya.
Nadira muncul di ujung lorong.
“James?”
Suara Nadira datar namun tajam.
“Kau hampir memukul pintu itu.”
James menghela napas tajam.
“Aku tidak tahan melihat Hana diperlakukan seperti ini. Dia takut. Dia mencoba kabur. Dan—”
Nadira mengangkat tangan, menghentikan kata-katanya.
“Berhenti.”
James memandangnya, frustrasi.
Nadira menatap pintu ruang Soni, lalu kembali menatap James.
“Apa kau sadar?” katanya pelan.
“Semakin kau melindungi Hana… semakin Soni akan menyiksanya.”
James membeku.
Kalimat itu seperti pukulan.
Nadira mendekat satu langkah.
Wajahnya serius.
“Dan tadi… Hana memilih pergi bersama Soni,” katanya tanpa belas kasih.
“Kau lihat sendiri.”
James menutup mata, rahangnya mengeras.
“Itu bukan pilihannya.”
Nadira mendesah pelan.
“Memang bukan… tapi itu tetap yang terjadi.”
Dia menatap James langsung.
“Kau mau menyelamatkannya?”
Suara Nadira menurun, sangat serius.
“Maka jangan serang Soni secara langsung. Kau hanya akan membuat Hana jadi tameng.”
James membuka mata, menatap Nadira dengan kebingungan dan rasa marah yang bercampur.
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
Nadira menatap pintu Soni sebelum menjawab:
“Kita retakkan kekuasaan Soni.
Bukan emosinya.”
James mengerutkan kening.
“Apa maksudmu?”
Nadira mendekat, berbisik:
“Kita mulai dengan mengambil semua orang kepercayaannya. Perlahan. Diam-diam. Tanpa dia sadar.”
Ia menatap James lurus.
“Jika kau mau menyelamatkan Hana…
Kau harus berperang dengan otak.
Bukan dengan amarah.”
James menatap kembali pintu Soni.
Matanya dingin.
Tekadnya berubah dari emosi menjadi strategi.
“Aku akan lakukan apa pun,” katanya pelan,
“asal Hana bisa bebas.”
Sementara itu, di dalam ruangan…
Hana duduk diam, menggigit bibir untuk menahan tangis, sambil mendengar suara Soni:
“Mulai besok… kau tidur di ruang pribadiku.
Di mana aku bisa mengawasi setiap gerakmu.”
Hana menutup mata kuat-kuat.
Dan ia sadar:
Dengan keputusannya tadi… dia baru saja masuk ke tempat yang jauh lebih berbahaya.
Sekian
11-11-2025