NovelToon NovelToon
Asmara, Dibalik Kokpit

Asmara, Dibalik Kokpit

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat
Popularitas:14.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?

selamat membaca...semoga kalian suka yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31

Asmara akhirnya tenang dalam pelukan Ryan. Isaknya sudah mereda, hanya tersisa napas pendek-pendek dan tubuh yang masih sedikit gemetar.

Ryan perlahan melepaskan pelukannya, menatap wajah Asmara yang memerah karena menangis.

Tanpa berkata apa pun, Ryan bangkit berdiri. Ia menyalakan lampu kamar Asmara yang temaram, lalu berjalan menuju lemari baju.

Asmara memandangnya bingung.

“Ryan? Kamu ngapain…?”

Ryan tidak menjawab.

Ia langsung mengambil koper besar kosong dari atas lemari, membukanya di atas ranjang, dan mulai melipat baju-baju Asmara satu per satu.

Gerakannya cepat, rapi, dan tidak bisa dibantah.

Asmara terperangah.

Ia maju mendekat.

“Ryan! Hentikan… kamu— apa yang kamu lakukan?”

Tanpa menoleh, Ryan menjawab dengan suara dalam.

“Aku mau bawa kamu pergi dari sini.”

Asmara memegang lengannya, mencoba menghentikan.

Ryan berhenti sejenak, menatapnya.

“Aku nggak bisa terus tinggal di apartemen kamu… kita cuma—”

“Aku nggak peduli kita apa.” kata Ryan memotong dengan suara tegas

“Yang aku tahu, apartemen ini nggak aman buat kamu.”

Asmara terdiam.

Ryan kembali memasukkan pakaian ke koper.

“Devanka bisa muncul kapan saja. Olivia juga mencurigakan.” Ryan menghela nafas sejenak

“Dan setelah apa yang terjadi tadi… aku nggak akan biarin kamu sendirian di tempat nggak aman kayak gini.”

Asmara menelan ludah, hatinya berdesir tidak karuan.

Antara bingung, tersentuh, dan takut.

“Ryan… kamu ini berlebihan. Aku nggak mau merepotkan kamu.”

Ryan menutup koper itu dengan klik keras, membuat Asmara tersentak.

Ia mendekat, berdiri tepat di depannya, menatap langsung ke matanya.

“Asamara tolong, kamu jangan keras kepala.” kata Ryan dengan suara rendah dan pelan. “Dan aku nggak bakal tenang kalau kamu tetap di sini.”

“Tapi itu apartemen kamu… aku cuma—”

Ryan menghela napas panjang.

Tangannya terangkat, menyentuh pipi Asmara yang masih basah.

“Dengar aku…”

“Aku nggak akan pergi sebelum kamu ikut aku kembali ke apartemenku.”

“Kalau kamu nggak mau demi aku… lakukan demi keselamatan kamu.”

Asmara terdiam lama.

Hanya suara jam dan sisa hujan di jendela yang terdengar.

Ryan tidak melepaskan tatapannya.

Ini bukan marah.

Ini bukan paksaan kosong.

Ini… takut kehilangan.

Dan itu membuat Asmara kehabisan kata.

Akhirnya ia mengangguk pelan, hampir tak terlihat.

“Yaudah, terserah kamu aja.” kata Asmara pasrah.

Seolah mendapat oksigen kembali, Ryan langsung menarik napas lega, kemudian mengambil koper Asmara.

“Bagus. Kita berangkat sekarang.”

Asmara memandangnya dalam-dalam.

Namun ada sesuatu yang terasa hangat di dadanya, perasaan yang ia sendiri belum berani mengakui.

Ryan menggenggam tangannya dan membawanya keluar, menuntun langkahnya melewati malam yang masih basah oleh hujan.

Hujan mulai mereda menjadi gerimis saat mereka keluar dari gedung apartemen kecil Asmara. Udara malam terasa dingin menusuk, membuat Asmara merapatkan jaketnya. Ryan berjalan di sampingnya, memegang koper satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam payung besar hitam.

Tanpa banyak bicara, Ryan membuka pintu mobilnya dan menuntun Asmara masuk.

Asmara duduk diam, menatap jendela yang dipenuhi sisa titik-titik air.

Mobil melaju perlahan di bawah jalanan yang basah.

Hening menyelimuti keduanya, bukan hening kosong, tapi hening yang penuh dengan hal-hal tak terucap.

Ryan sesekali melirik ke arah Asmara, memastikan gadis itu baik-baik saja.

Asmara sadar, namun ia berpura-pura tidak memperhatikan.

Setelah beberapa menit, Ryan akhirnya bicara.

“Kamu masih marah?”

Asmara tetap menatap ke luar.

“Aku nggak marah. Cuma… Aku bingung.”

“Bingung kenapa?”

Asmara menarik napas panjang.

“Ryan, semuanya berubah terlalu cepat. Kamu tiba-tiba jadi pimpinan SkyAir, kamu punya keluarga besar yang… ya… beda jauh sama keadaan aku.”

Ryan meremas setir.

“Itu nggak ada hubungannya sama kamu.”

Asmara tersenyum kecil, hambar.

“Itu ada, Ryan. Kamu mungkin pikir nggak penting. Tapi buat aku… itu besar.”

Ryan hendak menjawab, namun memilih menahan diri.

Ia tak ingin memperkeruh suasana.

Sesampainya di apartemen Ryan

Mobil berhenti di basement apartemen mewah milik Ryan. Gerimis masih turun, menciptakan suara lembut di langit-langit beton. Ryan turun duluan dan membuka pintu untuk Asmara.

“Pelan-pelan.”

Nada suaranya lembut, seakan takut Asmara menghilang kalau ia bicara terlalu keras.

Asmara mengangguk dan mengikuti Ryan masuk ke lift.

Di dalam lift, suasana kembali hening.

Lampu keemasan membuat ruangan sempit itu terasa hangat, tapi ketegangan tidak hilang.

Ryan menatap pantulan Asmara di dinding stainless steel.

Gadis itu terlihat lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan, dan sikapnya jelas sedang berusaha keras menjaga jarak.

Lift berbunyi ting—pintu terbuka.

Ryan membawa koper masuk lebih dulu, lalu menunggu Asmara sebelum menutup pintunya. Apartemen luas itu gelap, hanya cahaya samar dari lampu otomatis di lorong.

Ryan meletakkan koper Asmara, lalu menoleh.

“Kamar kamu masih sama. Aku nggak ubah apa-apa.”

Suara Ryan pelan, hati-hati.

Asmara mengangguk.

“Makasih.”

Ryan melangkah mendekat dua langkah, kemudian berhenti tepat di depannya.

“Asmara… malam ini aku cuma mau pastiin kamu aman. Itu aja.”

Asmara menunduk.

“Aku tahu.”

Ryan meraih dagu Asmara perlahan, memaksanya menatap.

“Besok kita bicara baik-baik. Tentang semuanya. Tentang alasan kamu pergi… dan tentang alasan aku datang nyusul kamu.”

Asmara menelan ludah, matanya bergetar.

“…Ryan.”

Ryan tersenyum tipis, lemah, tulus.

“Istirahat ya. Aku pulang dulu ke rumah Mami, jangan kabur lagi.”

Ia mundur, berniat pergi.

Namun sebelum Ryan benar-benar berbalik, Asmara memanggilnya pelan.

“Ryan… makasih.”

Ryan menatapnya lama, sangat lama, dan hanya menjawab dengan satu kalimat yang membuat dada Asmara menghangat sekaligus sesak.

“Aku nggak akan biarkan kamu pergi lagi.”

----

Cahaya matahari pagi menerobos tirai tipis kamar Asmara. Gadis itu terbangun lebih cepat dari alarmnya. Rasa canggung semalam masih terasa, tetapi kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik.

Setelah selasai mandi, ia merapikan rambut, lalu mengenakan seragam pramugari dengan hati-hati agar tidak menyentuh memar di lengannya. Setelah selesai berdandan, Asmara menarik napas panjang dan membuka pintu kamar.

Aroma kopi memenuhi apartemen.

Ryan sudah datang sejak pagi buta, ia berdiri di dapur kecil dengan kemeja putih dan celana hitam rapi, tanpa blazer. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Ya Tuhan… bahkan pagi-pagi pun dia terlihat seperti model majalah bisnis.

Ryan menoleh saat mendengar langkah kaki.

Senyumnya muncul pelan.

“Pagi.”

Asmara mencoba membalas senyum.

“Pagi…”

Ryan menaruh cangkir kopi di meja.

“Kamu udah siap?”

Asmara mengangguk.

“Iya, aku tinggal ambil tas.”

Ryan memperhatikannya sebentar.

“Lukamu masih sakit?”

“Sedikit. Tapi aku kuat kok.”

Ryan mendekat satu langkah.

“Kalau sakit bilang, ya. Jangan dipaksa.”

Asmara hanya mengangguk lagi, tidak berani menatap terlalu lama.

Beberapa saat kemudian.

Mobil melaju tenang menuju bandara. Asmara duduk sambil menatap luar, mencoba menenangkan diri. Ryan memegang setir dengan ekspresi serius.

Setelah beberapa menit, Ryan akhirnya bicara.

“Hari ini aku yang atur jadwal kamu.”

Asmara langsung menoleh dengan kaget.

“Apa? Kamu atur jadwal aku?”

“Iya.”

Ryan tetap fokus ke jalan.

“Kamu cuma terbang sekali ke Jogja. Pulang—langsung balik Jakarta. Nggak ada flight lanjutan.”

Asmara memprotes pelan,

“Ryan, aku bisa kerja normal. Nggak usah dilebih—”

“Asmara.”

Nada Ryan merendah namun tegas.

“Kamu baru kecelakaan dua hari lalu. Kamu masih luka. Sekali flight aja udah cukup.”

Asmara terdiam.

Ia tahu Ryan benar, tapi tetap merasa tidak enak.

“Tapi… nanti jadwal tim aku berubah. Mereka–”

“Semua sudah aku atur.”

Ryan menoleh sekilas.

“Jangan khawatir.”

Asmara menggigit bibirnya.

“…Kenapa kamu yang ngatur semuanya?”

Ryan tidak langsung menjawab.

Beberapa detik, hanya suara mesin yang terdengar.

Lalu akhirnya Ryan bergumam pelan,

“Karena kamu milikku.”

Kata-kata itu membuat Asmara terpaku.

SETIBANYA DI BANDARA

Ryan memarkirkan mobil di area khusus eksekutif. Ia turun, dan tanpa menunggu, membukakan pintu untuk Asmara.

Beberapa staf bandara melintas dan melirik, heran melihat CEO SkyAir mengantar seorang pramugari. Tapi Ryan sama sekali tak peduli.

Ia mengambil tas Asmara, lalu berkata:

“Aku jemput kamu lagi di sini setelah flight kamu selesai.”

Asmara panik.

“Nggak usah! Ryan… kamu CEO. Kamu sibuk. Aku bisa pulang sendiri.”

Ryan mendekat, menatapnya tajam tapi lembut.

“Asmara, jangan membantah dan menolakku.”

“Aku jemput”

Asmara menunduk, wajahnya memerah pelan.

Ryan tersenyum tipis.

“Hati-hati di dalam ya.”

Asmara mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke area kru, sambil mencoba keras menyembunyikan senyum gugupnya.

...💝...

...💝...

...💝...

^^^Bersambung....^^^

 

1
Siti Naimah
namanya orang kalau bahagia itu pasti banyak sandungannya.makanya asmara mesti kuat mental dan teguh pendirian 💪💪
Yenova Kudus
ahh .so sweet bgeetttt
Siti Naimah
Clarissa betul2 perempuan stress 🤣
Ika Yeni
kak ceritaa nya bagusss, + bonus visual jugaa , semangat up nyaa kak😍
Yenova Kudus
karyamu bagus kak ..lanjut ya.....
Priyatin
👍
mamah fitri
jalan ceritanya mudah dimengerti dan feel good aja membaca karya ini
mamah fitri
maafkan baca ini pake nabung bab.. tp krn baru tau judulnya dan ternyata isinya sebagus itu .. semangat terus author 😍😍😍
Marini Suhendar
Ekhem.....
Siti Naimah
semoga lancar hubungan Ryan dan asmara
Siti Naimah
mantab banget visual nya.sesuai dengan isi cerita nya 😄
Siti Naimah
asmara..kamu jangan terlalu keras kepala deh.ingat keselamatanmu itu Ter ancam banyak yg ngincar dan gak suka denganmu.walopun sebenarnya kamu gak salah apa2...ingat juga orang tuamu juga gak peduli sama kamu gitu lho ..
Siti Naimah
oh ternyata asmara dulunya teman masa kecil Ryan ta?wah kenangannya masih ada Ryan simpan.jika kayak gini keadaan nya masihkah asmara tidak mau menerima Ryan?🤣
Siti Naimah
devanka betul2 telah kehilangan akal sehat.dia lupa namanya area bandara jelas lengkap alat keamanan nya.misal cctv...
Siti Naimah
walah...kok jadi pada gak suka ya sama hubungan Ryan dan asmara?
kan sama2 masih singgel?moga2 aja yg pada ngiri akan dapat balesan
Siti Naimah
mula2 hanya pura2...semoga berkembang jadi betulan 😄
Siti Naimah
gak kebayang..betapa tersiksanya hati Ryan menghadapi situasi seperti itu..
Siti Naimah
kenapa sih Ryan kok mau menjadikan asmara pacar pura2...mbok betulan gitu lho🤭
Siti Naimah
pikirkan baik2 Asmara.. kesempatan gak datang duakali
Siti Naimah
jadi ruwet gitu ya...perkara yang dihadapi asmara? padahal dia gak salah apa2...ini semua ulah devanka
mantan kekasihnya yg masih Ter obsesi sama Asmara
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!