Mantan pembunuh bayaran jadi pengasuh 4 anak mafia?
Selena Dakota, mantan pembunuh bayaran, mencoba mengubur masa lalunya dengan bekerja sebagai babysitter. Tapi pekerjaan barunya justru membawanya ke mansion Charlie Bellucci — mafia bengis yang disegani, sekaligus ayah angkat dari empat anak dengan luka masa lalu yang kelam.
Di balik peran barunya sebagai pengasuh, Selena harus berjuang menyembunyikan identitasnya. Namun semakin lama ia tinggal, semakin kuat tarikan gelap yang menyeretnya: intrik mafia, rahasia berdarah, hingga hubungan berbahaya dengan Charlie sendiri. Selena terjebak dalam dunia di mana cinta bisa sama mematikannya dengan peluru.
Bisakah Selena melindungi anak-anak itu tanpa mengorbankan dirinya… atau ia justru akan tenggelam dalam romansa terlarang dan permainan maut yang bisa menghancurkan mereka semua?
“Lakukan apa saja di sini, tapi jangan libatkan polisi.” Tegas Charlie Bellucci.
°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Mohon Dukungannya ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MMF — BAB 31
KEPUTUSAN BERSAMA
Perbincangan dengan Alma membuat Charlie lebih rileks meski Alma hanyalah gadis usia 5 tahun, namun Charlie menyukai cara berpikirnya. “Ini sudah malam, aku harus tidur, jika tidak... Selena akan marah!” katanya yang mulai bangkit dari duduknya sambil membawa boneka beruang Grizzly.
Gadis itu berjalan pergi, namun ia kembali menghampiri Charlie yang masih duduk di dekat perapian sambil menoleh ke arahnya.
“Ada cerita lagi yang ingin kau ceritakan kepadaku?” tanya pria itu menyeringai kecil.
Alma menggeleng memberikan boneka kesayangannya kepada Charlie. “Ini untukmu, hadiah dariku.” Katanya yang semakin membuat pria itu berkernyit heran.
“Kenapa kau berikan kepadaku?'
“Karena kau sudah mau mengadopsi kami. Aku tidak tahu apakah kita masih bisa bertemu besok!” ucapnya dengan polos namun senyumannya begitu tulus dan lugu.
Mendengar itu, Charlie berkerut alis seolah-olah Alma sudah mengetahui soal perintahnya kepada Selena. “Kau mendengar sesuatu?” tegas pria itu masih terdengar santai.
Senyuman Alma hilang dan ia mengangguk kecil.
“Semoga harimu menyenangkan Tuan Charlie!” kata Alma yang meletakkan boneka nya di paha Charlie sebelum akhirnya dia tersenyum lalu pergi usai mengucapkan selamat malam.
Oh tentu, kini Charlie merasa seperti pria monster yang buruk. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap ke perapian lalu meraih boneka Alma dan menatapnya lama.
Lagi dan lagi, Charlie mengingat mobil tabrakan yang cukup keras hingga membuatnya langsung meletakkan boneka itu dan bangkit dari duduknya.
Beberapa jam berlalu, menjelang sore usai kepulangan Clara dari sekolah. Kini keempat anak angkat Charlie tengah berunding di kamar Damian. Terlihat bagaimana Damian duduk diam memperhatikan ketiga saudaranya yang sesekali menatap ke arahnya.
“Itu yang akan terjadi Damian. Kita hanya punya satu hari ini saja. Besok tidak tahu bagaimana.” Kata Clara yang menjelaskan semuanya kepada Damian. “Aku tidak mau mati.“ lanjutnya.
Pria itu sempat mengingat ucapan Selena semalam, dan kini dia terdiam seolah memikirkan sesuatu.
“Aku ingin bersama Selena!” kata Alma dengan polos dan senyuman.
Lalu Miles beralih menatap Damian. “Aku ingin melatih diri ku sampai menjadi penembak jitu. Aku ingin mengenal banyak senjata.” Kata Miles dengan tatapan datar ke Damian yang juga menatap tegas.
“Dan aku masih ingin menikmati hidup ku, aku belum pernah jatuh cinta dan menikah.” Kata Clara menatap saudaranya yang begitu kaku dan keras kepala itu.
Damian menyeringai kecil. Sehingga Clara berkerut alis. “Bagaimana denganmu Damian? Apa keputusan mu?”
(“Mereka tidak seharusnya mendapatkan kematian itu hanya karena keegoisan mu.”) suara Selena lagi-lagi mengintainya. Damian menatap ketiga saudaranya dengan pasrah dan bangkit dari duduknya.
“Baiklah... Kita putuskan ini, aku tidak akan menurutinya. Tapi aku bisa menuruti keinginan kalian!” kata Damian tersenyum pasrah hingga Clara, Miles dan Alma ikut tersenyum.
Setidaknya mereka bisa selamat dari kematian.
Clara beranjak dari sofa dan memeluk kakaknya. “Ini pasti berat untukmu! Terima kasih!” kata Clara tersenyum hingga Miles hanya saling tos dan bersalaman dengan Damian. Sementara Damian yang melihat Alma mendekatinya, pria itu mengacak-acak kecil rambut gadis kecil itu seraya tersenyum.
“Baiklah... Kita akan membuat keinginan kita menjadi nyata. Aku harap ada perubahan setelah ini.” Kata Damian menyeringai kecil dan disetujui oleh Clara juga Miles.
Sebagai kepala pelayan, Nora yang menguping diam-diam, dia tersenyum mendengar kekompakan keempat anak angkat bosnya. “Dia akan senang mendengarnya!” kata Nora bergumam pelan dan bergegas pergi.
...***...
Ruang rapat lantai tertinggi Bellucci Corporation diselimuti cahaya senja yang menyusup dari jendela besar. Langit oranye keemasan memantul di meja kaca panjang, di mana Charlie Bellucci duduk dengan tenang—seperti penguasa yang menguasai setiap inci ruangan. Di hadapannya, seorang pria muda dengan setelan abu-abu, rambut disisir licin ke belakang, dan senyum sombong terukir di wajahnya.
Han berdiri di sisi Charlie, menjaga jarak, tapi tatapannya tajam seperti pisau. Ia sudah tahu dari ekspresi bosnya—ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Jadi, Mr. Bellucci,” ujar pria muda itu sambil bersandar santai. “Aku datang dengan penawaran besar. Ayahku percaya, akulah generasi baru yang akan membawa peruntungan bagi keluarga Washington. Dan aku ingin membeli kasino milikmu di Riviera. Kau tahu, bisnis hiburan seharusnya dipegang oleh orang muda sepertiku.”
Charlie tidak menjawab. Hanya menatap pria itu dengan mata hijaunya yang dingin dan tak terbaca.
“Aku tidak menjualnya.” Balas Charlie dengan suara tenang. Namun Rober malah menyeringai.
“Aku tahu, aku hanya jijik saja saat harus datang ke beberapa Kasino yang dikuasai oleh orang-orang paru baya seperti kalian yang hanya tahu klasik dan vintage yang kuno. Dasar konyol!” pria itu terkekeh kecil.
Rober tersenyum sombong, menyilangkan kaki. “Aku tahu, kasino itu memberi penghasilan besar. Tapi aku bisa membelinya dua kali lipat dari harga pasaran. Jadi... berapa kau mau menjualnya?”
Suasana menjadi hening. Hanya terdengar denting halus dari jam dinding.
Charlie bersandar sedikit ke kursinya, menyilangkan jari-jari tangannya di depan wajah. “Rober Washington,” katanya pelan, suaranya dalam dan datar. “Kau datang ke tempatku... menawar properti yang bahkan ayahmu tak berani sentuh. Kau tahu apa bedanya antara aku dan keluargamu?”
Rober tersenyum, tidak sadar bahwa tubuhnya sudah duduk di depan kematian. “Aku muda dan lebih berani?”
Han menundukkan kepala sedikit—gerakan kecil, tapi cukup untuk menandakan: Pria ini baru saja menggali kuburnya sendiri.
Charlie menghela napas pelan. “A fool!”
Dalam sekejap, suara tembakan menggema. Darr!!
“Arrkkhhh!!!” Rober menjerit keras, darah memercik di lengan kirinya. Ia jatuh dari kursi, menatap Charlie dengan wajah pucat dan mata ketakutan.
Pengawalnya langsung menghunus pistol, tapi sebelum sempat menembak, Charlie sudah mengarahkan senjatanya lagi—dua peluru, dua kepala roboh. Tubuh mereka terhempas ke lantai marmer dengan suara berat.
Han hanya menatap datar, tanpa bereaksi. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini.
Charlie berdiri perlahan, mengunci pistolnya, lalu berjalan mendekat ke arah Rober yang masih mengerang kesakitan. Darah mengalir di antara jari-jari pria muda itu yang menahan lukanya.
Charlie duduk di atas meja kaca, berhadapan langsung dengannya. Tatapannya dingin, tenang, dan tajam seraya mengambil gelas kristal.
“Orang tuamu mengirim mu kemari untuk bisnis,” ujarnya dengan nada pelan tapi berisi ancaman yang menusuk. “Tapi aku akan mengembalikan mu dalam keadaan cacat. Berhati-hatilah saat bicara dengan lawan bicaramu jika kau masih belum tahu Who am I. (siapa aku).””
Gelas kristal di meja tadi, memecahkannya dengan tangan kosong. Potongan tajam berjatuhan di lantai. Charlie mengambil salah satunya, lalu tanpa ekspresi, menancapkannya ke bibir Rober, kemudian memasukkan serpihan itu ke dalam mulut pria itu.
“Hidangan spesial dariku.”
Rober bergetar, tapi tatapan Charlie tak memberi ruang untuk menolak. Ia menelan serpihan kaca itu sambil tersedak, darah mengalir dari sudut mulutnya. Han tidak bergerak sedikit pun—ini adalah sisi gelap bosnya yang tak pernah ingin dilihat siapa pun.
Beberapa detik kemudian, tubuh Rober lunglai. Ia kehilangan kesadaran, darah mengotori sofa hitam mahal di belakangnya.
Charlie berdiri, menyeka sedikit darah dari jarinya dengan saputangan hitam. “Bersihkan ini,” katanya singkat tanpa menoleh.
Han langsung mengangguk dan memberi isyarat pada dua anak buah di luar ruangan.
Charlie melangkah keluar dengan langkah panjang dan tenang, seolah baru saja selesai menandatangani kontrak bisnis biasa.
Tepat saat pintu lift terbuka, Isabelle muncul dengan map di tangan. Begitu matanya menangkap ruangan di belakang Charlie—dinding berlumuran darah, dua tubuh tergeletak, dan seorang pria muda pingsan di sofa—dia mengangkat alisnya dan berkata datar,
“Oh... wow.”
Charlie berhenti sejenak, menatap Isabelle dengan dingin tanpa ekspresi. “Kirim pesan kepada keluarga Washington, jika tidak terima maka datangi mansion Bellucci, Charlie sudah siap memberi hidangan lain untuk mereka.” Pinta Charlie kepada Isabelle yang hanya menyeringai kecil nan pasrah.
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan aroma logam darah dan keheningan mencekam yang menggantung di udara.
Han menatap Isabelle, lalu menghela napas. “Kau baru saja melihat kenapa tidak ada yang berani menawar kasino milik Bellucci.”
Isabelle menatapnya sebentar, lalu tersenyum miring. “Dan itulah kenapa aku masih di sini.”
si dewi penolong SEDA🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
best thooooorrrr👏👏👏👏👏👏