Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Langit pagi masih mendung saat Alya turun dari ojek online yang ia pesan. Motor itu berhenti tepat di depan gerbang megah sekolah elit tempatnya menuntut ilmu. SMA Harapan Bangsa.
Dari balik helm, pengemudi ojol tersenyum ramah. “Sampai, Mbak. Semoga harinya lancar, ya.”
Alya buru-buru mengangguk, lalu menyerahkan beberapa lembar uang dari tangan kirinya.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya, kemudian menunduk pelan sebelum turun.
Di sekelilingnya, suara deru mobil sport dan motor gede meraung di antara deretan siswa yang turun satu per satu dengan seragam rapi dan penampilan menawan. Para siswa perempuan tampak wangi dengan rambut terurai sempurna, sedangkan para lelaki mengenakan jam tangan mahal dan sepatu bermerek.
Alya menunduk. Seragamnya memang bersih, tapi rok abu-abunya sudah mulai pudar warnanya. Sepatunya usang, dan tas punggungnya penuh tambalan.
“Huff... Kalau tahu bakal begini ini, tadi aku bawa sepeda aja,” gumamnya dalam hati. Tapi sekarang sudah terlambat.
Karena bel sebentar lagi akan berbunyi, Alya pun melangkah cepat menuju kelas. Namun dalam langkahnya yang terburu-buru, ia tidak memperhatikan jalan, dan brukk!
Tubuhnya menabrak seseorang dengan keras.
“Aduh!” pekiknya, tubuhnya terjatuh namun ia segera bangkit sambil menepuk-nepuk debu dari rok seragamnya.
Saat ia mendongak, matanya membelalak. Sosok tinggi tegap dengan wajah tampan dan seragam yang nyaris sempurna kini menatapnya tajam. Di tangannya, segelas cappuccino tumpah sebagian ke seragam putihnya yang kini bernoda cokelat.
Kevin Andreas. Ketua OSIS, sekaligus Bintang lapangan basket. Anak konglomerat. Primadona sekolah.
Alya tercekat. “K-Kak Kevin... maaf, Kak. Aku nggak sengaja...”
Kevin menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Pandangannya menusuk seperti belati.
“Nggak sengaja?” ulangnya datar namun dingin. “Tahu nggak ini baju custom seharga dua juta lebih? Cuma buat lo tumpahin kopi kayak gini?”
Alya menggeleng panik, “Sumpah, aku nggak lihat... Aku... aku beneran minta maaf, Kak.”
Dengan terburu-buru, Alya mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan mencoba menyeka noda kopi di dada seragam Kevin. Namun begitu tangannya hampir menyentuh dada Kevin...
“Jangan sentuh gue.” Suaranya tajam, jijik.
Alya menghentikan gerakannya seketika. Sapu tangan itu jatuh ke lantai.
Beberapa siswa yang lewat mulai melambatkan langkah, berbisik-bisik, menonton adegan itu dengan mata menyipit penuh rasa ingin tahu. Namun Kevin hanya menatap Alya dingin.
“Ikut gue.”
Alya tak sempat bertanya. Tangan Kevin mencengkeram lengan bajunya dan menyeretnya ke arah belakang sekolah. Beberapa siswa yang tergabung dalam geng Kevin, Tomy, sandi, dan Rafi. mengikut di belakang dengan langkah cepat.
Di belakang gedung perpustakaan, tempat yang jarang dilewati siswa atau guru, Kevin menghentikan langkah.
Alya menoleh ke sekeliling. Tempat itu sepi, hanya suara angin yang meniup dedaunan dan suara langkah yang berhenti bersamaan.
“Lo tahu nggak,” ucap Kevin, matanya menyipit, “tipe orang kayak lo itu... gak pantas sekolah di sini.”
“Maaf... Aku nggak maksud...”
Belum sempat Alya melanjutkan, dua dari ketiga teman Kevin langsung berdiri di samping kiri dan kanannya, mengepung.
Kevin menatap tong sampah besar di dekat mereka. Wajahnya tampak seperti mendapat ide.
“Lo mau main-main sama gue, ya? Nih, biar sekalian gue kasih peringatan.”
Tomy bergerak cepat membuka tong sampah, dan Kevin menarik kantong plastik penuh sisa makanan dari dalamnya. kulit pisang, plastik bekas makanan, nasi basi. lalu tanpa ragu disiramkan tepat di atas kepala Alya.
Alya hanya bisa menutup mata. Cairan busuk dan kotoran itu mengalir dari rambutnya, menetes ke pipinya, membuat seragamnya basah dan bau. Tangannya gemetar, tubuhnya lunglai.
“Rasakan itu!” seru Kevin puas. “Biar tahu diri. Biar lo sadar, tempat lo tuh bukan di sini.”
Tawa kawan-kawan Kevin menggema di antara bangunan kosong. Namun Alya hanya diam. Matanya menatap ke tanah, air mata mulai jatuh perlahan, bercampur dengan sisa makanan yang menetes dari rambutnya.
“Udah. Ayo, cabut,” ucap Kevin, meludah ke tanah, lalu pergi bersama teman-temannya.
Tinggallah Alya sendirian, duduk bersimpuh di lantai semen yang dingin, tubuhnya basah dan kotor, hatinya hancur.
...
Langkah Alya tertatih di sepanjang lorong sekolah.
Kepalanya tertunduk. Rambut panjangnya masih lembap, meneteskan sisa air yang bercampur dengan bau anyir dan busuk dari tong sampah yang tadi disiramkan ke kepalanya. Seragam putihnya basah sebagian, dengan noda samar kecokelatan di sana-sini yang tak bisa sepenuhnya hilang meski ia sudah berusaha keras menyekanya.
Toilet wanita.
Tempat itu terasa seperti satu-satunya pelarian di tengah dunia yang seolah menolaknya.
Alya mendorong pintu pelan dan masuk. Ruangan itu sepi. Cermin besar di atas wastafel menampilkan bayangannya yang tak sanggup ia lihat terlalu lama.
Wajahnya kusut. Rambutnya kusam. Matanya sembab.
Ia berdiri diam di depan wastafel, tangan bertumpu pada pinggir keramik dingin. Dadanya naik turun cepat. Tapi tangisnya sudah kering. Yang tersisa hanya kehancuran... dan rasa malu.
"Menjijikkan."
Kata itu menggema di kepalanya. Berkali-kali. Seolah disuarakan oleh Kevin, teman-temannya, bahkan dirinya sendiri.
Dengan tangan gemetar, ia menyalakan keran air.
Perlahan, ia menyibakkan rambutnya ke depan dan membasuhnya. Dingin. Air itu tak cukup menghapus semua kotoran, apalagi luka di dalam hatinya. Tapi tetap ia gosok, tetap ia bilas, meski kulit kepalanya mulai perih. Ia bahkan menundukkan dada ke bawah keran, membasahi bagian depan seragamnya, berharap bau itu bisa pergi.
Setelah beberapa menit, ia berdiri tegak lagi. Menatap cermin.
“Kamu harus kuat, Alya.”
Ia berbisik pada bayangannya sendiri.
Dengan napas tertahan, ia keluar dari toilet. Rambutnya masih basah dan sebagian kemejanya kusut, tapi itu lebih baik daripada sebelumnya. Ia berjalan menuju kelas dengan langkah pelan, mencoba menahan rasa malu yang terus merayap di tengkuknya.
...
Di dalam kelas
Ruang kelas sudah setengah terisi. Beberapa siswa sedang bermain ponsel, lainnya tertawa sambil saling berbicara tentang jadwal les, sepatu baru, atau rencana akhir pekan. Alya berjalan ke bangku paling belakang, tempat yang selalu ia duduki, sendirian.
Ia duduk perlahan, memeluk tasnya erat-erat. Wajahnya ditundukkan ke meja. Tak satu pun siswa menyapanya. Bahkan bangku di samping kanan dan kirinya tetap kosong seperti biasa. Hanya saja... hari ini terasa jauh lebih sunyi. Lebih menyakitkan.
Tak lama kemudian...
Bel berbunyi.
Pintu kelas terbuka. Siswa-siswa mulai masuk satu per satu. Suara tawa dan obrolan menggema memenuhi ruangan. Tapi perlahan, suasana berubah.
Beberapa siswa mencium sesuatu yang aneh. Dahi mereka mengernyit. Beberapa bahkan mulai menoleh ke kanan-kiri, mencium udara.
“Eh, lo nyium bau gak sih?”
“Iya! Busuk banget, sumpah...”
“Kaya... got campur ikan busuk gitu.”
Suara-suara itu semakin ramai. Riuh. Kepo. Penuh ejekan.
Alya menunduk makin dalam. Hatinya berdegup tak karuan. Ia tahu itu tentang dirinya. Tapi ia diam. Ia tak punya energi untuk membela diri.
Lalu, dari barisan depan kelas, seorang gadis cantik berdiri.
Namanya Fiona. Ketua kelas. Sosok populer. Wajahnya cantik, rambutnya lurus sempurna, penampilannya selalu wangi dan rapi. Ia menyipitkan mata, menatap ke arah belakang kelas, lalu berkata lantang:
“Kalian ngerasa nggak sih, bau ini kayaknya berasal dari... satu orang?”
Tatapannya tajam, langsung mengarah pada Alya.
Semua mata pun serempak berpaling. Ke arah satu titik. Alya.
“Ih, jangan-jangan dari dia, ya?”
“Serius deh... dari tadi udah nyium bau ini. Gue kira tong sampah bocor.”
"Dia mandi nggak sih... Bau banget."
“Bajunya itu tuh... udah seminggu kali gak dicuci!”
“Males banget sih. Jijik tau gak?”
Tawa meletus di beberapa sudut ruangan. Tapi yang paling menyakitkan adalah... mereka semua tertawa tanpa ragu. Seolah-olah Alya bukan manusia. Seolah ia hanya kotoran yang mengganggu pandangan.
Alya menunduk makin dalam, matanya basah. Ia berusaha menahan tangisnya, namun dadanya terasa sesak. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam ujung roknya erat-erat, berharap bumi mau menelannya saat itu juga.
Telinganya menangkap satu kalimat yang membuat hatinya nyaris runtuh:
“Ngapain juga sekolah di sini kalo gak mampu jaga kebersihan. Malu-maluin banget, sumpah.”
Alya menggigit bibirnya keras-keras. Ia ingin sekali berteriak, ingin menjelaskan, tapi ia sadar. Bahkan jika ia berbicara sekalipun tidak ada yang mau mendengar.