NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN DENDAM

PERNIKAHAN DENDAM

Status: tamat
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Dendam Kesumat / Balas Dendam / Tamat
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31

Sinar matahari menembus tirai putih, lembut tapi dingin.

Helena membuka matanya perlahan, tubuhnya masih lemah.

Namun begitu pandangannya jelas, napasnya langsung tertahan.

Karan berdiri di depan tempat tidurnya dan masih mengenakan kemeja hitam dari malam sebelumnya, wajahnya pucat dan mata merah karena tidak tidur semalaman.

Di tangannya, pistol berwarna perak menatap lurus ke arah Helena.

“Mas…,” suara Helena bergetar, penuh ketakutan dan sedih.

“A-apa yang kamu lakukan?”

Karan tidak menjawab. Matanya tajam, penuh luka.

Ponsel hitam yang semalam ia temukan kini tergeletak di meja samping ranjang, layarnya masih menyala, menampilkan foto-foto dirinya.

“Siapa sebenarnya kamu, Hel?” suaranya dalam, nyaris bergetar.

“Aku ingin dengar langsung darimu.”

Helena menelan ludah, matanya bergerak gelisah.

“A-aku…”

Ia berusaha duduk, tapi rasa sakit di lengannya m

Karan masih menatap Helena dengan sorot bingung dan putus asa.

“Helena, cepat jawab!” bentak Karan, pistolnya sedikit bergetar di tangan.

Ia sendiri tampak menahan emosi, tapi hatinya sudah hancur.

Helena menunduk, menarik napas panjang, lalu perlahan menatap Karan.

Air mata menetes di pipinya, tapi suaranya tegas meski bergetar.

“Aku, bukan teman kecilmu.” ucap Helena.

Karan terkejut ketika mendengar perkataan dari Helena.

Helena melanjutkan dengan lirih tapi jelas, setiap kata seperti mengiris udara.

“Namaku Helena, tapi bukan Helena-mu.

Helena yang kamu cintai, dia sudah meninggal dunia, Mas. Saat perampokan di toko emas yang dilakukan oleh Firdaus.”

Karan menggeleng pelan, matanya memerah.

“Jangan bohong padaku…” suaranya parau.

“Aku melihatmu sendiri dan aku hidup bersamamu!”

Helena menatapnya, tangannya perlahan terulur, meski pistol masih mengarah padanya.

“Yang kamu lihat, yang kamu peluk itu aku, tapi aku bukan dia.”

“Aku agen khusus yang ditugaskan untuk melindungimu. Saat penculikan terjadi, aku menyelamatkan Helena mu saat ia melompat dari mobil. Tapi dia terluka parah. Dia tidak bertahan.”

Air mata menetes jatuh ke selimut putih.

“Pemerintah menutupi semua itu, karena kasus Firdaus melibatkan orang besar. Mereka memintaku menggantikan Helena, mengambil identitasnya, agar kamu tetap aman.”

Helena menatapnya lirih, tapi dengan kejujuran di matanya.

“Mas, aku tidak bermaksud menipumu. Aku hanya ingin kamu tetap hidup.”

Karan memejamkan matanya, kepalanya menggeleng keras.

“Jadi selama ini…” suaranya pecah. “…aku bersama Helena lain?”

Helena menatapnya tanpa sanggup bicara.

Lalu, di antara tangisnya, ia berkata pelan:

“Tapi aku mencintaimu, Mas.”

Karan menatapnya tajam antara marah, patah, dan bingung.

Tangannya yang memegang pistol gemetar keras.

“Aku mencintaimu bukan karena perintah, bukan karena tugas. Tapi karena kamu.”

Helena berusaha bangkit sedikit, air mata terus mengalir.

“Aku tahu aku salah. Tapi setiap hari bersamamu dan aku merasa hidup. Aku ingin melindungimu bukan karena aku harus, tapi karena aku mau.”

Karan menatapnya lama, nafasnya berat, matanya bergetar.

Ia menurunkan pistol perlahan, bahunya gemetar.

Keheningan panjang mengisi ruangan.

Hanya suara detak monitor jantung yang terdengar lembut di latar.

Karan akhirnya duduk di kursi di sebelah ranjang, menunduk dalam-dalam.

Helena menatapnya lemah, menunggu reaksi yang mungkin bisa menghancurkan semuanya.

“Mas…” Helena berbisik, suaranya hampir tak terdengar.

“Aku siap menerima apa pun. Tapi tolong, percayalah, aku tidak ingin kehilanganmu.”

Karan berdiri diam beberapa saat, menatap Helena dengan pandangan penuh luka.

Lalu tanpa berkata apa-apa, ia berjalan ke arah pintu dan menguncinya rapat.

Suara klik dari kunci terdengar jelas, menggema di antara keheningan.

Ia berbalik perlahan, langkahnya berat.

“Sekarang, jelaskan semuanya. Kenapa kamu melindungiku? Dan apa sebenarnya yang mereka sembunyikan dariku?”

Helena menarik napas panjang. Wajahnya pucat, tapi matanya tajam.

Ia tahu, tidak ada lagi gunanya berbohong.

“Mas, sebelum aku bicara, tolong mendekat sedikit.”

Karan ragu, menatapnya dengan waspada.

“Untuk apa?”

“Karena ini,” jawab Helena pelan, tangannya bergetar saat menunjuk ke arah leher bagian belakang Karan.

Karan menatap heran, tapi perlahan mendekat.

Helena menggeser tubuhnya sedikit, lalu dengan hati-hati menyentuh tengkuk Karan.

Jari-jarinya menelusuri kulit di bawah rambut, tepat di belakang telinga.

Karan terkejut saat merasakan sesuatu benda keras sekecil biji beras, tertanam di bawah kulitnya.

“Apa ini?” suaranya parau. Ia meraba lehernya sendiri dengan panik.

“Helena, apa ini?!”

Helena menatapnya dalam-dalam, suaranya lirih tapi tegas.

“Itu sebuah chip pengendali dan pelacak.”

Karan kembali terkejut dan Helena melanjutkan perkataannya.

“Itu ditanamkan sejak kamu diculik tiga tahun lalu. Mereka menanamnya tanpa kamu sadari, saat kamu tak sadarkan diri di rumah sakit. Chip itu memancarkan data posisi, detak jantung, bahkan pola komunikasi otakmu.”

Karan membeku, wajahnya tegang.

“Siapa ‘mereka’ yang kamu maksud?”

“Orang-orang yang ada di balik Firdaus,” jawab Helena lirih.

“Kelompok yang bergerak di bawah jaringan bisnis gelap internasional. Mereka memanfaatkan teknologi ini untuk mengendalikan semua orang yang dianggap ancaman termasuk kamu.”

Karan memijat lehernya dengan gemetar, matanya membulat.

“Jadi selama ini mereka memantau aku? Bahkan mungkin mereka sudah tahu semua percakapanku?”

Helena mengangguk pelan dan kembali mengatakan alasan Helena.

“Ya. Dan alasanku dikirim untuk melindungimu… bukan hanya karena kamu target mereka, Mas.”

Ia menatap mata Karan lekat-lekat.

“Melainkan karena mereka berencana memanfaatkan chip itu untuk membuatmu jadi senjata.”

Karan mengerutkan alis, napasnya terhenti saat mendengar perkataan dari Helena.

“Senjata? Maksudmu apa?”

Helena menunduk, lalu membuka sedikit file di ponselnya tampilan layar menunjukkan diagram medis dan kode bertanda PROJECT OMEGA.

“Chip itu bisa diaktifkan jarak jauh. Mereka bisa menanamkan perintah di otak bawah sadarmu. Jadi bisa membuatmu membunuh siapa saja tanpa sadar.”

“Jadi selama ini aku cuma alat mereka?”

“Tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Mas. Itu sebabnya aku menerima misi ini bukan hanya untuk melindungi tubuhmu, tapi untuk menjaga dirimu tetap manusia.”

Karan menatapnya lama, matanya mulai memerah, campuran marah, takut, dan bingung.

Ia menyentuh tengkuknya lagi, seolah ingin mencabut chip itu dengan tangan sendiri.

Helena memegang tangannya cepat, menahannya.

“Jangan! Kalau kamu mencoba mencabutnya tanpa alat khusus, sinyalnya bisa aktif dan meledak di dalam jaringan sarafmu.”

“Jadi selama ini ada bom di kepalaku?”

Helena menatapnya dengan mata penuh rasa bersalah.

“Ya, Mas. Itulah kenapa aku tidak pernah bisa jauh darimu. Karena jika chip itu aktif, satu-satunya cara untuk menonaktifkannya adalah melalui koneksiku.”

Karan menarik napas keras, menatapnya lekat.

“Dan kamu benar-benar mencintaiku?”

“Aku mencintaimu karena kamu bukan sekadar target. Kamu adalah orang pertama yang membuatku ingin hidup normal.”

Karan menatapnya lama, lalu perlahan menurunkan pistolnya.

Namun wajahnya masih tegang, penuh luka.

“Aku tidak tahu harus mempercayaimu atau tidak, Hel, tapi kalau semua ini benar, berarti kita sedang duduk di tengah perang yang lebih besar dari yang kukira.”

Helena menatapnya serius, lalu mengangguk.

“Benar, Mas. Dan mereka tidak akan berhenti sampai kamu atau aku yang mati.”

Keheningan tebal menggantung di antara mereka.

Di luar kamar, suara langkah kaki dokter terdengar samar, sementara di dalam, dua jiwa itu berdiri di antara cinta dan kebenaran yang terlalu pahit untuk diterima.

Karan masih menatap Helena dengan sorot bingung dan putus asa.

Tangannya perlahan menyentuh tengkuknya lagi, tepat di tempat di mana chip itu tertanam.

“Jadi, tidak ada cara lain?” suaranya serak, nyaris berbisik.

“Tidak ada cara untuk melepaskannya?”

Helena diam beberapa detik, menatap lantai — lalu menggeleng pelan.

“Tidak, Mas…” ucapnya lirih.

“Kalau chip itu dilepas paksa, sistem di dalamnya akan aktif dan melepaskan sinyal listrik langsung ke otak.”

Ia menatap Karan dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar.

“Begitu itu terjadi, jantung Mas akan berhenti dalam beberapa detik…”

Karan terpaku. Matanya perlahan menunduk, tangan yang tadi gemetar kini mengepal di sisi ranjang.

“Jadi aku hidup dengan kematian yang menempel di tubuhku,” gumamnya pahit.

Helena menunduk lebih dalam, matanya memerah.

“Mas…”

Karan menatapnya, suaranya dingin tapi penuh luka.

“Dan kamu tahu ini sejak awal?”

“Ya. Aku tahu. Tapi aku juga tahu kalau chip itu bisa dikontrol dari jarak jauh, dan satu-satunya cara agar sinyalnya tidak aktif adalah kalau aku tetap di dekatmu.”

Karan menarik napas panjang, lalu menatapnya tajam.

“Kenapa? Kenapa kamu mau melakukan semua ini, Hel? Kamu bisa mati juga karenaku.”

Helena menatapnya, lalu perlahan berdiri dari kursinya.

Ia berjalan mendekat, hingga jarak mereka hanya beberapa langkah.

Air matanya menetes tanpa suara.

“Karena aku tidak mau kehilanganmu.”

Suaranya bergetar tapi tegas.

“Karena aku sudah kehilangan terlalu banyak orang dalam hidupku. Dan kali ini aku tidak akan membiarkan orang yang kucintai pergi lagi.”

Karan menatapnya, masih dengan napas berat.

Helena mengangkat wajahnya, matanya kini penuh tekad.

“Kalau chip ini tidak bisa dilepaskan tanpa membunuhmu, maka aku akan melindungimu sampai darah penghabisanku.”

Helena menggenggam tangan Karan dengan kuat, menundukkan kepala di atasnya.

“Aku tidak peduli berapa banyak orang yang mengejar kita, atau seberapa dalam konspirasi ini. Aku akan tetap di sisimu, Mas.”

Karan hanya bisa menatapnya dalam diam, antara marah, takut, dan terharu.

Di matanya, ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Cinta yang lahir dari pengorbanan, bukan dari kebohongan.

Ia mengangkat tangannya perlahan, menyentuh wajah Helena, menghapus air mata yang menetes di pipinya.

“Kalau begitu, Hel. Kita akan hidup dengan ini. Tapi bukan dalam ketakutan.”

Helena mengangguk pelan, matanya masih basah.

“Kita akan melawan mereka, Mas. Bersama.”

Karan menarik napas panjang, lalu menatap jendela yang gelap di luar.

“Ya. Bersama.”

1
Freya
semangat berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!