NovelToon NovelToon
Agent Khusus Yang Diceraikan Istrinya

Agent Khusus Yang Diceraikan Istrinya

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Anak Genius / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Anak Lelaki/Pria Miskin / Penyelamat
Popularitas:730
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ironi Reuni: Drama di Depan Rumah Sarah dan Herman

Yansya tetap mengamati dari kejauhan, lalu tanpa sadar seringainya semakin melebar. "Mau pura-pura enggak lihat saja ah," gumamnya pada diri sendiri. "Biar mereka merasakan sedikit ‘drama’ yang pernah kurasakan dulu."

Sebuah ide jahil melintas di benaknya, membuat dia tertawa kecil. "Mungkin aku harus menyalakan musik paling kencang di mobil. Biar lebih dramatis, kan?"

Yansya menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Ia menyalakan mesin mobilnya kembali, lalu melaju perlahan melewati rumah megah itu. Ia berharap Sarah dan Herman menyadari kehadirannya.

Ia menurunkan kaca mobilnya sedikit, lalu berteriak seolah tidak sengaja. "Wah, rumah siapa ini? Kelihatannya baru, ya? Tapi kok ada drama penagihan utang begitu?"

Yansya tertawa kecil, melirik sekilas ke arah Sarah dan Herman yang langsung terdiam, menatapnya dengan mata melotot.

"Yansya?" suara Sarah terdengar tercekat. Herman juga terkejut melihat Yansya di sana. "Sedang apa kamu di sini?" Sarah berteriak, wajahnya memerah karena malu. "Ini bukan urusanmu!"

Yansya hanya menyeringai, lalu membalas dengan santai. "Oh, benarkah? Aku kira kalian butuh bantuan. Tapi kalau tidak, ya sudah." Yansya mengedikkan bahu, lalu memelankan laju mobilnya, siap untuk pergi.

Saat mobil Yansya bergerak maju, salah satu rentenir berbadan besar, dengan tato naga di lengannya, melirik ke arah Yansya. "Heh, Pak Bos! Mau lewat begitu saja? Enggak mau ikutan numpang nonton drama gratis?" serunya, nadanya sarkas.

Yansya hanya mengacungkan jempol, seolah memberikan rating bintang lima untuk pertunjukan mereka, lalu berteriak balik, "Wah, seru sekali! Aku jadi penasaran ending-nya!" Sarah dan Herman semakin salah tingkah, berharap tanah bisa menelan mereka berdua saat itu juga.

Sarah, yang tadinya angkuh, kini memelas. "Yansya, tunggu! Jangan pergi!" teriaknya panik, suaranya sedikit pecah. Herman di sampingnya mengangguk-angguk cepat, wajahnya seperti adonan kue yang gagal. "Iya, Yan! Kita... kita butuh bantuanmu!"

Yansya hanya melirik spion, bibirnya melengkung tipis. "Oh, jadi butuh bantuan? Bukannya tadi bilang ini bukan urusanku?" batinnya, menikmati momen pembalasan dendam manis itu.

Yansya akhirnya menghentikan mobilnya, lalu memundurkannya sedikit, tepat di depan mereka. Ia menurunkan kaca sepenuhnya, lalu menatap Sarah dan Herman dengan senyum sok prihatin.

"Jadi, ada apa ini? Sepertinya kalian sedang ada reuni keluarga, ya? Kok ramai sekali?" ucapnya, menahan tawa yang siap meledak. "Atau ini acara reality show baru? Boleh juga aku jadi produsernya, siapa tahu cuan."

Herman, dengan keringat dingin mengucur di dahinya, langsung menyambar, "Ini bukan reuni, Yan! Ini... ini cuma salah paham kecil soal pinjaman. Kamu tahu, urusan bisnis biasa!" Herman mencoba tertawa hambar, tetapi suaranya bergetar.

Yansya menyipitkan mata, menunjuk rentenir dengan dagunya. "Oh, jadi ini supplier pinjaman baru kalian? Kelihatannya galak-galak, ya? Apa diskonnya besar kalau cicilannya macet?"

Salah satu rentenir, yang wajahnya mirip preman pasar, mendekat ke mobil Yansya. "Mau ikut campur, ya, Mas?" gertaknya, melipat tangan di dada.

Yansya tersenyum lebar, menatap sang rentenir dengan santai. "Loh, siapa bilang ikut campur? Aku cuma mau memastikan, kalau mereka butuh penjamin, apakah ada fee khusus untukku? Atau mungkin kalau aku bantu negosiasi bunga, ada komisi bagi hasil?"

Sarah dan Herman langsung menepuk jidat, tidak percaya dengan tingkah Yansya yang masih saja memikirkan uang di tengah situasi genting seperti itu.

Rentenir itu menatap Yansya dengan ekspresi bingung, seolah baru saja mendengar bahasa alien. "Apa-apaan sih dia ini?" gumamnya pada teman-temannya. "Aku disuruh nagih utang, bukan disuruh jadi konsultan keuangan!"

Yansya pura-pura menggaruk kepala, lalu melirik jam tangan mewahnya. "Ah, sayang sekali, aku ada janji penting untuk membahas proyek 'menggandakan uang dalam semalam'," ucapnya dramatis.

"Padahal seru juga kalau ikut menemanimu nagih utang, siapa tahu dapat ide bisnis baru!" Dengan senyum lebar, Yansya perlahan menaikkan kaca mobilnya, membuat Sarah dan Herman hanya bisa melongo.

Renternir berotot itu menatap Yansya dengan tatapan 'awas kau ya'. "Baiklah, Pak Bos! Kalau begitu, kami lanjutkan urusan kami!" serunya, lalu berbalik ke arah Sarah dan Herman dengan seringai menyeramkan.

Sarah dan Herman langsung merapatkan diri, seperti dua ikan teri yang terpojok di sudut jaring.

Yansya hanya terkekeh, lalu menekan tombol gas mobilnya. "Sampai jumpa di season berikutnya!" teriaknya sambil melambaikan tangan dengan riang.

Ia melaju pergi, meninggalkan suara teriakan minta ampun Herman dan Sarah yang samar-samar terdengar di belakangnya, bersamaan dengan suara gedebukan yang entah berasal dari mana. Yansya tersenyum puas, merasa show ini sudah cukup menghibur untuk malam ini.

Setelah 'pertunjukan' yang cukup menghibur itu, Yansya memutuskan untuk mencari ketenangan. Ia memutar stir, mengarahkan mobilnya menuju sebuah kedai kopi favoritnya.

Tempat itu berada di sudut kota, sepi dan tenang, jauh dari drama penagihan utang. Aroma kopi yang baru diseduh selalu bisa menenangkan pikirannya yang bergejolak.

Ia butuh itu setelah seharian penuh dengan emosi, dari pertengkaran di taman hiburan sampai tontonan gratis barusan.

Ia memesan secangkir kopi hitam pekat, tanpa gula, persis seperti suasana hatinya yang kini sedikit pahit namun tetap kuat. Yansya duduk di pojokan kedai, memandang ke luar jendela. Ia melihat lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu.

Ia mencoba melupakan sejenak wajah Herman yang pucat dan Sarah yang ketakutan, tetapi senyum licik rentenir itu masih terbayang-bayang di benaknya.

"Hidup memang penuh drama," batin Yansya, menyesap kopinya perlahan. Ia merenung, betapa ironisnya nasib Sarah. Dulu wanita itu mengejar kemewahan, tetapi kini justru terjebak dalam lingkaran utang yang tak ada habisnya. Yansya hanya bisa menggelengkan kepala, bersyukur ia sudah tidak lagi terikat dengan drama seperti itu.

Saat Yansya sedang asyik dengan pikirannya, sebuah suara renyah mengagetkannya. "Permisi, apa kursi di seberangmu kosong?" Seorang wanita dengan rambut ikal sebahu dan mata cerah berdiri di samping mejanya.

Senyumnya tipis, tetapi tatapannya terasa begitu tajam, seolah sedang menganalisis setiap sudut ruangan, termasuk Yansya.

Yansya mengangkat kepala, matanya langsung menyipit saat melihat wanita itu. Ada sesuatu di tatapannya yang terasa familiar, namun ia tidak bisa mengingatnya. "Silakan," jawabnya singkat, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya.

Wanita itu mengangguk. "Terima kasih," ucapnya, nadanya tenang namun penuh perhitungan. "Panggil saja aku Mia. Aku hanya mencari tempat tenang untuk... menyelesaikan beberapa urusan."

Yansya membalas senyum wanita itu dengan seringai tipis yang sulit diartikan. "Yan," katanya, memberikan nama samaran yang ia gunakan untuk urusan di luar pekerjaannya.

"Aku juga butuh ketenangan setelah seharian penuh 'hiburan'." Keduanya terdiam, menikmati kopi masing-masing, namun di balik keheningan itu, masing-masing sibuk mengamati, mencoba membaca maksud tersembunyi dari lawan bicara yang belum mereka kenali.

Baik Yansya maupun Maria, yang menyamar sebagai Mia, tidak menyadari betapa ironisnya situasi ini. Mereka duduk berhadapan, dua sosok terdepan dari kubu yang saling bertentangan.

Masing-masing dengan misi rahasia dan identitas yang dijaga rapat. Yansya, sang pemburu tangguh, kini bercengkrama santai dengan Maria, buronan utama yang selama ini ia kejar, tanpa sedikit pun firasat.

Mia (Maria) menyesap kopinya, tatapannya masih menelisik Yansya. "Sepertinya 'hiburan'mu tadi cukup intens ya, Tuan Yan?" godanya, bibirnya melengkung geli.

"Wajahmu terlihat seperti baru saja melihat hantu penagih utang." Yansya mendengus geli, terhibur dengan pengamatan Maria yang begitu tepat sasaran, padahal ia baru saja berusaha melupakan kejadian itu.

"Lebih dari hantu, Nona Mia," balas Yansya, matanya berkilat jahil. "Aku baru saja menyaksikan sebuah drama komedi yang sayangnya tidak berbayar. Rugi, kan?"

Keduanya tertawa kecil, tanpa tahu bahwa di balik tawa renyah itu, tersimpan rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.

1
Khusus Game
oke, bantu share k
Glastor Roy
yg bayak tor up ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!