Amara Olivia Santoso, seorang mahasiswa Teknik Industri yang sedang berusaha mencari pijakan di tengah tekanan keluarga dan standar hidup di masyarakat. Kehidupannya yang stabil mulai bergejolak ketika ia terjebak dalam permainan seniornya Baskara Octoga.
Situasi semakin rumit ketika berbagai konflik terjadi disekitar mereka. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta remaja, persahabatan dan kehidupan kampus.
Straight forward
Baskara menggendong tasnya dengan terburu. Ia berlari kecil menyusuri jalan parkiran untuk mengejar segerombolan teman yang kini sudah berada cukup jauh di depannya.
Obrolan mereka terdengar riuh menggema, membicarakan hal-hal sepele yang di ubah menjadi jokes bapak-bapak. Terlihat mereka saling melempar senyum dan tawa seolah hidup tanpa beban yang berarti.
Sementara jauh di belakang sana, Amara menatap kosong kedepan. Kakinya berjalan dengan langkah kecil. Tatapan penuh harap saat bertemu sang kekasih kini berubah menjadi kecewa. Ia terabaikan bahkan sebelum akan memulai.
Beberapa orang memang tidak pintar merayu dan bermanja. Begitupun Amara, ia telah terbiasa tumbuh tanpa banyak di peluk, sering terabaikan sampai akhirnya ia sulit mengungkapkan apa yang ia rasakan, menjadi kaku dan berharap itu sudah cukup.
“Amaraaaa” Teriak Gwen yang kini berlari ke arahnya.
Reflek Amara menoleh bergerak gugup mencari dimana keberadaan Gwen.
“Kamu lagi kenapa sih Ra, dari tadi di panggil ngga nyaut?” Tanya Gwen.
“Maaf Gwen, aku lagi ngga fokus” Kata Amara sembari memainkan ujung rambutnya yang tergerai.
“Kamu ngapain jalan ke arah Lab? Kita kan tadi janjian mau ke kantin dulu” Kata Gwen yang langsung meraih lengan Amara dan memaksa untuk ikut ke arah sebaliknya.
Amara hanya berjalan pasrah, mengikuti kemana arah Gwen akan membawanya pergi.
Beberapa menit terlewati, Gwen dan Amara kini berjalan mengitari kantin mencari keberadaan dimana Angkasa duduk.
“Gwen” Angkasa melambaikan tangannya.
Gwen tersenyum sumpringah, lagi lagi ia menarik Amara untuk mengikutinya. Sementara Angkasa kini membereskan barang-barangnya yang di gunakan untuk menandai kursi agar tidak di isi oleh orang lain.
“Udah lama Sa?” Tanya Gwen.
“Aman, ini kalian udah aku pesenin Kwetiaw goreng sekalian biar ngga repot” Jawab Angkasa sembari menunjuk ketiga piring dan es teh yang sudah berjajar di atas meja.
“Ahh makasih sayang” Seru Gwen.
“Makasih Sa, nanti aku ganti” Kata Amara tak bersemangat. Matanya terlihat sendu seperti seorang anak yang menahan untuk tidak menangis ketika jatuh dari sepeda.
“Kamu kenapa sih Ra, dari tadi gelisah aja. Kek orang linglung, heyy sadar ini masih senin cobaan kita belum di mulai” Ucap Gwen dengan segala ke asbunnannya.
Amara menghembuskan nafasnya pelan, pipinya merona di usapnya tengkuknya pelan. Kali ini ia benar benar menghindari bertatapan mata dengan Gwen dan Angkasa.
Sementara Gwen dan Angkasa saling pandang penuh pertanyaan.
“Eh iya Ra, kamu mau ngga nonton bareng sama kita? Kemaren temenku ada yang mau kenalan sama kamu, ganteng kok, pinter lagi. Sekalian kita double date gituu” Ajak Angkasa mencairkan suasana.
“Ahh temen SMAmu itu yaa” Tanya Gwen setelah selesai menyeruput es teh dari sedotan.
“Iyaa si Evan, dia anak Dekan FEB loh Ra” Jawab Angkasa tak kalah antusias.
Amara masih memalingkan wajahnya, kali ini fokusnya berganti. Ia sengaja memainkan garpu mencoba untuk menelan kwetiaw yang ada di depannya, “Sorry gaes, aku ngga bisa”.
“Ehh beneran tau Ra, aku ngga bohong. Evan cakep, pinter mana baik lagi” Angkasa berusaha untuk meyakinkan lagi.
“Bukan karena itu Sa,” Amara kembali meletakkan garpunya ke atas piring. Kali ini wajahnya benar-benar memerah. “Aku udah punya pacar” lanjutnya sedikit ragu.
“Huaakkkhhh” Gwen hampir tersedak saat menelan makanannya.
Angkasa menepuk pundak Gwen, mencoba menenangkan pacarnya yang shock tak percaya.
“Siapa Ra? Sejak kapan woyyy? Kok ngga ada cerita?” Tanya Gwen bertubi-tubi.
“Kak Kevin Ra?” Angkasa tak kalah penasaran.
Amara tersenyum tipis, ia menundukkan kepalannya lagi. Menggeleng dengan gusar.
“Jawab dong ra” Kata Gwen dengan sedikit penekanan.
“Hmm tapi aku ngga yakin” Jawab Amara.
“Ngga yakin gimana maksudnya?” Tanya Angkasa.
“Kak Baskara” Kata Amara cukup pelan namun berhasil membuat pasangan itu saling tatap penuh tanda tanya.
“Seriusan? Sejak kapan wehh?” Gwen tak henti hentinya bertanya.
“Kemarin sore, tapi aku bingung. Habis pulang dia ngga ada ngabarin lagi” Kata Amara sembari meraih gelas di depannya mencoba menguatkan diri.
“Kamu udah chat dia lagi belum sih?” Tanya Gwen mulai kepo.
“Iyaa aku tanya dia, udah sampai belum? Cuma ngga di bales” Kata Amara.
“Wahh ngga bisa di biarin sih, nanti kita temenin buat ketemu Kak Bas” Kata Gwen.
“Seriusan Kak Bas nembak kamu Ra? Setahuku di aitu belum move on deh dari mantannya” Angkasa mengernyitkan dahi tak percaya.
“Kemarin dia juga sempet cerita tentang mantannya sih, hmm apa dia Cuma mau main-main yaa sama aku?” Kata Amara yang mulai meragu.
Gwen yang sebal pun menjewer kuping Angkasa, “Udah ngga usah kompor. Siapa sih yang ngga suka sama Amara. Lagian Kak Bas juga udah lama jomblo kali”.
“Auu, sakit Gwen. Kan itu menurut sudut pandangku sebagai sesama cowo. Sebagai teman aku cuma bisa mengingatkan probabilitas terburuk yang mungkin terjadi wehh” Kata Angkasa yang kini memegangi kupingnya yang mulai memerah.
“Ahh aku gataulahh” Kata Amara frustasi.
“Makan dulu yaa, habis ini kita labrak si Baskara ituu” Kata Gwen geram.
Sekitar setengah jam kemudian, ketiga sahabat itu bergegas menuju lobby lantai satu. Langkah mereka terlihat kompak meskipun arah pandangan yang berbeda. Namun nihil, tidak ada Baskara di antara kerumunan itu.
“Yahh kok ngga ada sih?” Kata Gwen sembari melihat ke arah Amara yang kini mulai tertunduk lesu.
“Udah ntar aja, sepuluh menit lagi kita ada kelas. Cabut yukk” Ajak Angkasa.
Amara tenggelam dalam lamunannya, hiruk pikuk suara mahasiswa yang sedang bercada tawa di lobby lantai satu tak mampu membuatnya tersadar. Pikirannya melayang ke segala probabilitas yang mungkin terjadi padanya. Kali ini ia benar-benar kalah.
“Yuk Ra” Kata Gwen sembari menggandeng tangan Amara menyusul Angkasa di belakang. Ia tak tega, untuk pertama kalinya ia melihat sisi rapuh Amara.
Ibarat sebuah hubungan, Amara sudah seperti anak bagi Angkasa dan Gwen. Kemanapun mereka pergi dia selalu ada. Tak jarang orang kadang menjulukinya sebagai obat nyamuk abadi.
“Amara,” Teriak Baskara tepat sebelum mereka naik tangga.
Tak hanya Amara yang menoleh, Gwen, Angkasa dan semua teman Baskara yang duduk santai di lobby menoleh ke arah mereka. dengan sekejap suasana menjadi sedikit hening.
“Heyy kok lemes sih, ini buat kamu” Kata Baskara yang kini menempelkan minuman kaleng dingin ke pipi kiri Amara.
“Kak Bas” Kata Amara lirih.
“Maaf yaa, ponselku tiba-tiba rusak kemarin jadi ngga bisa hubungin kamu. Syukurlah aku dari tadi nyariin kamu tau” Bisik Baskara tepat di sebelah telinga Amara.
“Ehh bas, pritt pritt. Lu ngapain deket deket Amara gue?” Kata El tak percaya.
“Dih, kenapa? Pacar pacarku sendiri” Jawab Baskara dengan tengil.
Semua orang membelalak kaget.
“Kalian pacaran?” Sahut Satria tak percaya.
Wajah Amara kini berubah merah padam, dengan segera di meraih minuman kaleng dari tangan Baskara.
“Makasih kak, nanti habis kelas kita bicara” Ucap Amara yang kini setengah berlari menaiki tangga.
Angkasa dan Gwen hanya saling pandang, mereka kemudian menyusul Amara yang kini tengah berlari ke kelas.
“Woaaa, hebat yee lu Bas. Pake pellet apa lu?” El tersenyum pedih penuh kekalahan.
“Apaan sih, udah ah” Kata Baskara malu malu.
“Minimal apaaa? Minimal pajak jadian dulu lahhh” David mulai bersuara.
“Stop, gue masih ngga terima anjay, masa gue kalah gitu aja” El masih ingin berdebat.
“Udah El, stop. Mending kamu sama Celline aja itu loh, mukanya udah merah kek kepiting rebus” Kata Satria.
“Apaan sih, ngga lucu tau ngga” Kata Celline datar. Terlihat amarah dari sorot matanya, kedua tanggannya yang kini mengepal dan hentakkan kakinya yang kuat sebelum ia berlari menjauh membuat semuanya bergidik ngeri.
Satria berjalan mendekati Baskara, di tepuknya pundak Baskara dua kali, “Bro jaga baik-baik Amara. Banyak yang ngga suka sama hubungan kalian”.
Baskara tersenyum kecut, dia tau apa yang harus ia lakukan.