perjuangan seorang pemuda untuk menjadi lebih kuat demi meneruskan wasiat seorang pendekar terdahulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 mencari harta karun
Arimba, yang hatinya juga merasa kesal karena belum mendapatkan apa-apa, segera berdiri berniat melanjutkan pencarian.
"Guru, aku akan ke sana," ucap perempuan berpakaian merah, berambut panjang, dan bertubuh molek itu.
"Baiklah, tapi kau harus hati-hati, Arimba. Karena tempat ini sangat luas, kita tidak tahu bahaya apa yang ada di tempat ini," pesan Matsapati.
"Aku mengerti, Guru. Jika ada apa-apa, aku akan memberikan tanda bahaya." Setelah berkata seperti itu, Arimba segera berlalu.
"Gandamana, kita juga harus segera melanjutkan pencarian karena waktu kita terbatas. Aku tidak mau kemalaman di reruntuhan ini," Matsapati mengingatkan lalu bangkit dari duduknya.
"Kita akan ke arah mana, Kang?" Gandamana meminta pendapat.
"Kita susul saja Arimba. Ayo!" Mereka segera menuju ke arah Arimba tadi pergi.
Sementara itu, Arimba sudah masuk memasuki ruangan yang sedikit gelap. Ruangan itu sudah porak-poranda dan rusak serta mengeluarkan bau tidak sedap. Di sana, ia melihat banyak kotak kayu yang berserakan; ada yang masih utuh sebagian dan ada yang sudah dimakan rayap.
"Kira-kira ruangan apa ini? Kenapa begitu banyak kotak kayu di sini?" ucapnya sambil terus mengamati.
Penglihatan Arimba kemudian tertuju pada dinding yang sudah menghitam dan berdebu. Pada dinding itu, terdapat sebuah benda yang tergantung. Benda itu terbungkus kain hitam dan panjangnya menyerupai bilah pedang.
"Ada apa, Arimba? Apakah kau menemukan sesuatu?" tanya Gandamana yang baru tiba bersama Matsapati.
"Itu, Guru," Arimba menunjuk ke arah dinding tadi.
"Aku akan melihatnya," Matsapati lalu maju dan memeriksa benda itu. Matsapati mengambil benda yang tergantung itu dan membawanya ke arah Arimba dan Gandamana.
"Kira-kira isinya apa bungkusan itu, Guru?" Arimba sangat penasaran.
"Aku akan membukanya untuk mengetahui apa yang ada di dalam," Matsapati melepaskan kain penutup benda itu, dan nampaklah sebilah pedang berwarna merah lengkap dengan warangkanya.
"Ini pedang apa, Guru?" tanya Arimba.
Matsapati mencabut pedang itu. Seketika, ia merasakan tangannya bergetar-getar oleh kekuatan pedang itu.
"Ini jelas bukan pedang biasa, Arimba," ucap Matsapati setelah merasakan hawa yang sangat kuat.
"Coba aku lihat, Kang," pinta Gandamana yang merasa familier dengan pusaka yang ditemukan Arimba.
Matsapati lalu memberikan pedang itu kepada Gandamana karena ia tahu adik seperguruannya adalah seorang ahli pedang.
"Melihat ukiran dan warna dari pedang ini, sepertinya ini adalah Pedang Bulan Merah, Kang. Coba perhatikan lambang di gagang pedang ini," Gandamana menunjukkan lambang pedang itu.
"Benar, ini memang Pedang Bulan Merah, Gandamana. Kau bisa dikatakan beruntung dapat menemukan pedang ini, Arimba," ucap Matsapati merasa senang muridnya mendapatkan pusaka yang sudah tergolong langka.
"Memangnya, apakah kehebatan pedang ini, Guru?" tanya Arimba.
"Nanti aku jelaskan. Untuk menghemat waktu, sebaiknya kita lakukan penggeledahan besar-besaran di ruangan ini. Siapa tahu kita bisa menemukan pusaka lainnya," ucap Matsapati.
Arimba dan Gandamana segera melakukan pencarian di ruangan itu. Mereka merasa yakin kalau ruangan itu adalah bekas gudang senjata.
Sementara itu, Nyi Sangguh dan Ki Pasung sudah menenteng satu benda di tangan mereka masing-masing. Melihat raut wajahnya yang terlihat sumringah, pastilah benda itu bukan barang biasa.
"Kita beruntung, Nyi, dapat menemukan dua buah senjata ampuh di ruangan ini," ucap Ki Pasung sambil membolak-balikkan sebilah keris yang baru ditemukannya. Keris yang Ki Pasung temukan adalah keris luk sembilan yang bernama Keris Kobra Hitam karena pada gagangnya terdapat ukiran kepala ular kobra.
Nyi Sangguh mengangguk-angguk. "Kau benar, Ki. Aku pun merasa senang setelah menemukan cambuk api ini. Aku tidak menyangka kalau reruntuhan bekas perguruan Elang Hitam ini ternyata begitu banyak menyimpan pusaka-pusaka langka," ucap Nyi Sangguh.
"Sebaiknya kita segera keluar dari tempat ini, Nyi. Lihatlah, hari sudah menjelang sore," Ki Pasung mengingatkan istrinya.
"Tapi, Ki, bukankah kita belum mendapatkan Baju Badak Hitam itu?" Nyi Sangguh merasa belum puas.
"Ingat, Nyi, sebentar lagi malam. Sebaiknya lupakan tentang baju badak. Karena akan percuma jika kita melakukan pencarian dalam keadaan gelap. Selain itu, aku juga tidak yakin kalau benda itu masih ada di sini," ucap Ki Pasung.
"Kenapa kau berkata seperti itu, Ki?" tanya Nyi Sangguh.
"Buktinya, dari tadi kita muter-muter tidak juga menemukannya. Sudahlah, lupakan saja baju itu," Ki Pasung mencoba membujuk istrinya.
Nyi Sangguh menghela napas pelan, namun wajahnya tampak sedikit kecewa karena tidak menemukan benda yang diharapkan.
"Baiklah kalau begitu," Nyi Sangguh pun setuju lalu mencari jalan keluar.
Di tempat lain, Cakra Bayu dan Rawasana pun cukup beruntung karena menemukan benda pusaka yang cukup ampuh dan langka. Pusaka yang mereka temukan berupa sepasang tombak yang berwarna emas. Mereka berdua pun berniat keluar dari tempat itu, mengingat matahari sudah mulai condong ke barat.
Sementara di ruangan yang lain, Barata dan Andini masih menyusuri lorong-lorong kecil yang agak gelap. Di sepanjang lorong itu terdapat banyak sarang laba-laba kecil yang melintang, membuat keduanya berjalan sambil menyingkirkan sarang laba-laba yang menghalanginya.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya mereka pun sampai di ujung lorong. Di sana, mereka melihat sebuah pintu berwarna hitam yang masih tertutup rapat.
"Ada pintu, Tuan," gumam Andini.
"Ya, pasti ada ruangan di balik pintu itu. Ayo, kita lihat!" Barata dan Andini mempercepat langkahnya. Mereka pun berhenti tepat di depan pintu.
"Kelihatannya pintu ini masih kokoh dan kuat," Barata mengetuk pintu itu dengan jari telunjuknya.
"Benar-benar masih sangat kuat. Aneh, kenapa pintu ini tidak rusak atau lapuk seperti pintu lain?" batin Barata seraya memperhatikan pintu itu.
"Tuan, kenapa bengong? Buka saja pintu itu. Siapa tahu di dalam sana ada sesuatu yang berharga," ucap Andini.
"Baiklah, aku akan membukanya." Barata mendorong pintu itu ke dalam, tapi tidak ada reaksi apa-apa. Pintu itu ternyata sangat kuat dan terasa berat. Barata pun mencobanya lagi dan lagi, tapi tetap saja sama hasilnya.
"Sepertinya pintu ini bukan pintu biasa, Tuan," kata Andini yang melihat Jaka kesusahan membukanya.
"Kau benar, Andini. Aku merasakan ada kekuatan yang melapisi pintu ini. Sebaiknya kau mundurlah. Akan kubuka paksa pintu ini," ucap Barata.
Andini pun segera menjauh tiga tombak ke belakang.
Setelah Andini menjauh, Barata kemudian mengerahkan ajian Guntur Esnya. Tangan Barata seketika bergetar, mengebul, mengeluarkan asap putih yang disertai munculnya hawa dingin.
Hiiiaat! Deees! Duuuar! Pintu itu seketika meledak dan hancur menjadi berkeping-keping.
Nyi Sangguh dan Ki Pasung yang hendak keluar mendadak berhenti begitu mendengar bunyi ledakan.
"Ki, kau dengar suara tadi itu?" tanya Nyi Sangguh untuk memastikan dirinya tidak salah dengar.
"Dengar, Nyi. Suara ledakan tadi berasal dari arah sana," jawab Ki Pasung sambil menunjuk ke arah belakang.
"Bagaimana kalau kita periksa sebentar, Ki?" ucap Nyi Sangguh merasa penasaran.
"Baiklah, tapi sebentar saja. Jika tidak ada apa-apa, kita langsung keluar," ucap Ki Pasung setuju.