Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Sentuhan Yang Tak Disengaja
Langkah-langkah ringan terdengar di lantai atas mansion itu. Rumi berjalan pelan, membawa daftar pekerjaan yang tadi diberikan oleh Julian. Meski rumah megah ini dipenuhi perabot mewah dan koridor panjang dengan pencahayaan temaram, hatinya terasa lebih tenang setelah memastikan anak susunya sudah kenyang.
“Dede main sama Mbak Nia ya, Sayang? Ibu ke kamar papa dulu, oke?” bisik Rumi, mengecup pelipis bocah itu lembut.
Baby Kenzo hanya bisa mengulet, mata mungilnya mengerjap berulang kali seakan mengerti. Nia pun mengangguk penuh pengertian. “Tenang aja, Rumi. Aku jagain di sini.”
“Terima kasih, Mbak Nia.”
Barulah Rumi melangkah meninggalkan ruangan itu, menuju kamar utama Julian. Di tangannya ada catatan kecil berisi tugas-tugas harian: menyiapkan baju ganti, memeriksa agenda di meja kerja, dan memastikan segelas air putih tersedia di nakas.
Begitu membuka pintu kamar utama, aroma khas kayu manis samar bercampur wangi aftershave menyambutnya.
Rumi menaruh catatan itu di atas meja rias, lalu melangkah menuju ruang walk in closet, lemari pakaian tinggi yang penuh dengan setelan rapi. Jemarinya meraba kain halus kemeja, lalu turun ke bagian bawah mengambil kaos abu-abu—warna yang menurutnya cocok dengan karakter Julian yang dingin. Ia padukan dengan celana bahan hitam.
Saat melipat kaos di atas ranjang, sebuah bingkai foto besar di atas nakas menarik perhatiannya. Rumi mendekat tanpa sadar.
Itu foto pernikahan Julian dan Tisya. Sang pria terlihat gagah dengan jas hitam elegan, sementara pengantinnya cantik dengan gaun putih yang begitu mewah. Senyum mereka seolah abadi, merekam momen bahagia di masa lalu.
Jantung Rumi berdegup lebih cepat. Mendadak bayangan masa lalunya sendiri menyeruak. Pernikahannya dengan Bisma—almarhum suami yang dulu begitu perhatian, selalu memastikan ia tak pernah merasa sendiri. Namun pada akhirnya, lelaki itu ternyata tega menduakan hatinya tanpa sepengetahuannya. Luka itu masih membekas, seperti belati yang ditusukkan berulang.
Tanpa terasa, air mata menetes. Rumi buru-buru menyeka pipinya, tapi rasa perih di hatinya tak mudah hilang. “Kenapa aku harus ingat sekarang …,” gumamnya lirih.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku cuma pekerja di sini. Jangan baper, Rum. Jangan kebawa perasaan.” Tapi hatinya tetap saja rapuh saat bayangan almarhum Bisma muncul.
“Kenapa berdiri di situ?”
Suara berat itu membuat Rumi terlonjak. Ia buru-buru menoleh, dan benar saja—Julian sudah berdiri di ambang pintu, kemeja kerjanya sudah ia buka beberapa kancing, dasi dilepas. Tubuh tegap pria itu tampak lelah, namun matanya tajam menyorot ke arahnya.
“A-anu … saya cuma .…” Rumi terbata, buru-buru menggapai pakaian yang sudah ia letakkan di ranjang. “Ini, baju ganti Bapak ….”
Langkahnya terburu-buru, tapi ketika hendak menyerahkan pakaian itu, tangannya gemetar. Ia tidak sadar posisi tubuhnya terlalu maju. Saat Julian meraih bajunya, Rumi kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh ke tepi ranjang—dan bersamaan itu, Julian ikut tertarik.
Bruk!
Tubuh keduanya terhempas di atas ranjang empuk. Rumi terperangkap di bawah, wajahnya begitu dekat dengan Julian. Dan dalam sepersekian detik yang mengejutkan, bibir mereka bertemu.
Rumi membelalak. Hangat dan lembut, sentuhan itu tak disengaja namun terlalu nyata. Degup jantungnya kian tak terkendali.
Julian juga terdiam. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya—sekelebat memori samar, seperti deja vu. Bibir Rumi terasa asing, tapi sekaligus … akrab. Ada rasa manis yang membuat dadanya bergolak hebat.
Namun sebelum ia sempat memahami perasaan itu, reaksi Rumi datang lebih cepat.
“Pak Julian!” serunya, panik. Lututnya refleks terangkat, menghantam keras bagian intim Julian.
“Arghhh!” Julian meringis, tubuhnya melengkung seketika, wajahnya memucat menahan sakit.
Rumi ikut terdorong bangun, matanya membelalak antara syok dan marah. Pipinya panas, bukan hanya karena insiden barusan, tapi juga karena rasa malu yang tak tertahankan.
Tanpa berpikir panjang, ia menampar pipi Julian dengan keras. Plak!
Suara tamparan itu menggema di kamar luas.
Julian terdiam, tangannya masih menahan bagian tubuhnya yang sakit, sementara matanya terpaku pada Rumi. Ia jelas terkejut, tapi juga tak bisa membela diri—karena memang semuanya terjadi begitu saja.
Rumi terengah, suaranya bergetar penuh emosi. “Saya ke sini untuk bekerja, Pak. Bukan untuk—untuk hal yang memalukan seperti ini!”
“Rumi—” Julian berusaha bicara, tapi suaranya tercekat karena rasa sakit di perut bawahnya.
“Jangan panggil nama saya dengan nada seperti itu!” potong Rumi tajam. Air matanya kembali menetes, kali ini bukan karena ingatan Bisma, melainkan perasaan campur aduk akibat situasi yang baru saja terjadi.
Dengan langkah cepat, ia meraih buku kecil yang tadi ia letakkan di meja. Tanpa memberi kesempatan Julian menjelaskan, ia menuju pintu.
Brak!
Pintu kamar terbanting keras di belakangnya. Suara itu menggema di sepanjang lorong mansion, menimbulkan suasana tegang.
Julian masih duduk di tepi ranjang, wajahnya menegang. Pipinya terasa perih bekas tamparan, sementara bagian tubuhnya yang terkena lutut Rumi masih berdenyut nyeri. Namun semua itu tak seberapa dibanding rasa kalut yang menyeruak di dadanya.
Ia mengusap wajah dengan kasar. Bayangan bibir Rumi tak bisa hilang dari pikirannya. “Kenapa aku merasa seperti pernah merasakan ini?” gumamnya dalam hati. Ada sesuatu yang samar, sebuah memori yang seakan hendak muncul tapi tertahan di batas kesadaran.
Sementara itu, di luar kamar, langkah Rumi terdengar terburu-buru menuruni tangga. Para maid yang kebetulan lewat saling berpandangan heran ketika melihatnya dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca.
“Mbak Rumi …?” Salah satu maid memanggil, tapi Rumi hanya menggeleng cepat. “Saya mau cari angin sebentar .…”
Ia keluar ke teras belakang, mencari angin malam untuk menenangkan diri. Tangannya masih gemetar, dadanya sesak. Ia merasa bersalah sekaligus marah. Bersalah karena reaksi berlebihan, tapi marah karena dirinya sendiri seolah lengah hingga membiarkan momen itu terjadi.
Di dalam kamar utama, Julian bangkit perlahan, menutup mata sejenak sambil menahan rasa nyeri. Suasana kamar yang biasanya tenang kini terasa penuh dengan sisa ketegangan. Bingkai foto pernikahannya dengan Tisya masih berdiri tegak di nakas, seolah mengingatkan bahwa ada batas jelas antara masa lalu dan saat ini.
Namun yang menggema di kepala Julian bukanlah senyum Tisya, melainkan tatapan Rumi—panik, terluka, dan penuh emosi.
Suasana mansion malam itu berubah drastis. Dari tawa hangat di dapur, kini berganti menjadi ketegangan yang menebal di setiap sudut ruangan. Para penghuni hanya bisa saling berbisik pelan, merasakan hawa tak biasa yang menyelimuti rumah megah itu.
Dan Julian, meski berusaha tegar, tidak bisa memungkiri—hatinya terguncang hebat oleh sebuah insiden yang seharusnya tak pernah terjadi.
Bersambung ... ✍️
Ooh derry dimana k engkau...