Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak tahu diri!
Aku terkejut mendengarnya, yang ku tahu Elang sangat menyukai Alana. Dia bilang sendiri bahwa ia sangat menyukai wanita itu karena masuk kedalam kriterianya. Sangat jelas bagaimana Elang memperlakukan mantannya itu dulu, sampai ia lupa bahwa kami janjian untuk bertemu dibawah pohon mangga ditaman yang dekat sekolah SMA kami dulu.
Aku menunggunya sampai malam hari, tapi tak ada tanda bahwa ia muncul. sepulang dari taman aku tak sengaja melihatnya bersama Alana disebuah cafe, dari situ aku paham posisiku sudah tergantikan oleh kehadiran Alana.
Sejak saat itu pula, aku tak menemuinya lagi. Ketika dia menghubungi, aku tak lagi meresponnya dengan senang. Alasan ia menolakku pun jadi pengingat bahwa aku hanya teman biasa dimatanya, bukan spesial.
Tapi kini ... Disaat aku sudah bisa melepaskannya dia muncul sebagai seorang teman yang merindukanku.
"Oh, jadi begitu. Kupikir mereka pacaran, ternyata enggak," ujar Ibuku tak mengira.
"Ya, begitulah. Aku sempat tak suka dengan perjodohan itu, aku malah lebih suka kalau Elang pacaran sama Zea biar kita tak cuma berteman tapi juga berbesanan," tutur tante Dibjo tersenyum senang.
"Aku mikirnya juga gitu, tapi ya, mau gimana lagi. Kalau mereka bukan jodoh, kita gak bisa apa-apa," ujar ibuku melirik padaku sejenak kemudian kembali menatap temannya.
Aku diam saja tak lagi bertanya atau pun menyela obrolan dua ibu, faktanya kami hanya teman biasa. Level kami pun berbeda, Elang itu anak orang kaya sedangkan aku hanya wanita biasa.
Aku ingat perkataan ayah, aku harus tahu diri. Harus ada batasan antara aku dan Elang, karena hal itu akan menjadi kesalah pahaman antara kami. Aku sangat paham sekarang, aku tak layak bersanding dengan cinta pertamaku.
......................
Keesokan harinya ...
Aku yang tengah menunggu diteras rumah sudah stay untuk berangkat, namun orang suruhan Elang belum juga muncul. Beberapa kali aku melirik jam tanganku dan sudah berapa kali aku melihat ponselku yang sudah kuganti dengan pemberian ibunya Elang.
Namun, malah tak kunjung datang.
Ibu datang membawa camilan dan duduk dikursi yang ada diteras, ia mengunyah makanan yang dibawakan tante Dibjo semalam.
"Kamu beneran mau kerja, gak istirahat saja, Zea," tanya ibuku.
"Gak, aku kan harus punya uang," jawabku.
"Kakimu itu, belum bisa jalan. Yakin gak bakalan jadi bahan candaan orang?" ujar Ibuku.
"Kalau ibu, mana mau. Kerja kantoran itu kudu gesit, gak bisa asal punya orang dalem," aku merasa tertohok mendengarnya.
"Bu, soal hubungan aku dan Elang. Aku—" ucapanku segera ibu sergah.
"Ibu tahu, Elang gak mungkin jatuh cinta sama kamu. Ibu sadar diri, kita ini siapa. Ibu kenal mereka karena ayahmu berteman dengan bu Dibjo, bahkan sejak mereka lahir. Bisa dibilang teman kecil lah, sama kaya kamu dan Elang," tutur ibuku.
Aku terdiam, tapi ada rasa lega dihatiku mendengar perkataan ibu. Sekarang aku tak perlu menjelaskan apa yang seharusnya tentang hubunganku dengan Elang, kami akan menjadi teman sampai kapanpun.
Bip
Bip
Suara klakson mobil terdengar, mengejutkanku, lebih mengejutkan lagi yang datang ternyata Elang bukan suruhannya.
Ia turun dari mobilnya, dengan gaya dan sikap ramahnya. Aku menundukkan kepalaku, agar tak lagi terpesona oleh apapun tentang Elang. Aku harus menahan diri bahwa aku hanya temannya.
"Tante, aku pamit dulu dengan Zea," ucap Elang dengan sopan.
Ia mendekati ibuku dan mencium tangannya, setelah itu membantuku untuk naik ke mobilnya. Perhatiannya memang gak kaleng-kaleng, tapi ia juga bukan pria yang tak bisa membuat hati wanita luluh.
"Kenapa kamu yang dateng, bukan sopir atau suruhan kamu?" tanyaku, ketika mobil sudah melaju jauh dari halaman rumahku.
"Biar bisa barengan-lah, kan, kamu itu calon istriku," ucap Elang yang masih ngeyel soal hubungan kami.
"Aku males dengernya," ucapku mengalihkan pandanganku kearah luar jendela.
Elang hanya tersenyum saja sembari menyetir mobil pajero-nya, sesekali ia melirikku dan aku diam-diam menangkap sikapnya yang aneh, mirip sekali dengan pria cabul.
"Jangan lihat aku, tapi lihat-lah kedepan," ucapku kala menangkap matanya yang melirikku.
"Lirik calon istri saja tak boleh," gerutunya, mencibir.
Perjalanan pun terasa damai dan tenang, matahari pagi terlihat cerah sekali sampai rasanya ingin berjemur seperti di rumah sakit. Sayangnya aku harus bekerja biar bisa lunas-in utangku ke Elang.
Ya, setelah lunas baru aku kumpulkan uang untuk modal dan membangun bisnis kecil-kecilan di rumah. Aku tahu resiko bekerja dikantor, jadi aku harus siap dengan semuanya.
....
Sampai juga kami didepan sebuah perusahaan pangan terbesar yang sudah lama dikelola oleh Elang. Perusahaan yang dulunya juga dikelola oleh bu Dibjo kala ia masih muda dan ayahku sebagai asistennya.
Ini baru perusahaan milik ibunya sementara ayah Elang lain lagi. Orang tuanya memang sama-sama orang kaya jadi itu tak perlu diragukan lagi.
Aku didorong oleh Elang, semua mata melihat kearah kami dimana aku yang duduk dikursi roda ini menjadi pusat perhatian karyawan lain. Aku sedikit menundukkan kepala, ternyata memang memalukan dilihat oleh mereka.
Dari jauh kulihat ada maya, gadis muda itu tampak cuek saat kami berpapasan tak seperti waktu dulu. Ia sangat baik dan juga menyenangkan, tapi kali ini ... Semuanya berubah.
"Maya kenapa, ya?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku melihat kakiku, apa mungkin karena itu alasannya makanya dia berubah, begitulah pikirku. Rasanya menyedihkan dikucilkan oleh rekan kerja.
Elang membawaku menggunakan lift khusus untuk petinggi, yang mana sebelah kanan adalah khusus untuk karyawan biasa. Didalam ruang gerak yang naik itu perasaanku pun campur aduk, kami hanya berdua disini dan rasanya sangat canggung.
"Tenanglah, jangan lihat orang lain. Fokuslah pada dirimu sendiri." katanya yang kulihat bibirnya tersenyum dibalik pantulan dinding lift yang berkilau itu.
"Aku akan kerja dengan serius," memang itulah niat awalku.
Ku usahakan diriku untuk tersenyum, walau rasanya emang perih. Tapi, aku bisa apa. Kerja dikantor Elang adalah kesempatan terakhirku untuk bisa mendapatkan penghasilan.
Lift sudah sampai diujung lantai tertinggi, kami pun keluar. Baru sampai depan meja kerjaku, sudah disambut hangat oleh ayah Elang yang ternyata sedang menatap meja kerjaku bersamaan dengan sekretarisnya.
Mereka masuk ke ruangan Elang, sedangkan aku mendorong kursiku ke meja kerjaku dan mulai bekerja dengan membuka komputerku.
Tak lama ayah Elang berada diruangan itu, sekitar 10 menitan beliau bersama sekertarisnya sudah keluar dari ruangan Ceo. Aku menundukkan kepalaku sebagai rasa hormat, dengan senyum ramah dan juga sopan.
Kupikir dia akan melewatiku saja, namun ternyata tidak, ayah Elang berhenti tepat didepan meja kerjaku.
"Dasar tak tahu diri!" umpat papa Elang dengan wajah tajam menatapku.
Umpatan itu terdengar pelan tapi menusuk hatiku, ini kali pertamaku melihat dan mendengar ucapan kasar papa dari Elang. Tanganku gemetar mendengarnya, bukan takut tapi terkejut.
Ayah Elang membungkuk, lalu mendekati telingaku seolah ingin membisikkan sesuatu.
"Jauhi putraku, sampai kapanpun kau tak akan pernah layak jadi menantuku," ujar pria paruh baya yang selalu ku panggil om Dibjo.
Jantungku berdebar tak karuan, ada rasa takut yang tiba-tiba menyerang batinku mendengar perkataanya.
dia diancam apa sehingga seorng Reza akhirnya menalak Zea disaat sedang koma??