Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Luka yang Tak Bisa Dibagi
Nayla duduk di ruang tamu rumah kontrakan barunya, menatap kosong secangkir teh yang sudah dingin di hadapannya. Di luar jendela, hujan mengguyur dengan deras, seperti mencoba menggantikan air mata yang sudah terlalu sering ia tahan.
Sudah tiga minggu sejak perceraian mereka disahkan. Tidak ada pesta perpisahan. Tidak ada pelukan perpisahan. Hanya tanda tangan, keheningan, dan selembar surat cerai yang membuktikan bahwa mereka tak lagi saling memiliki.
Tapi anehnya, yang paling menyakitkan justru bukan saat mereka berpisah. Melainkan saat Nayla menyadari: bahkan setelah mereka tak lagi terikat, Arvan tetap tak pernah memilihnya.
Ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari nomor yang tak ia simpan lagi.
Arvan:
Aku masih simpan foto-foto kita. Kamu masih suka bunga mawar putih?
Nayla terdiam. Sejenak jantungnya berdegup tak karuan, tapi segera ia hempaskan perasaan itu. Apa gunanya bunga, jika kebun hatinya sudah ia tinggalkan?
Dengan tenang, ia balas:
Nayla:
Aku sudah tidak menanam bunga di hatiku. Terlalu sering layu.
Tak ada balasan.
Ia meletakkan ponsel lalu bangkit, menuju dapur kecilnya. Hujan masih mengguyur, suara rintiknya menyatu dengan rasa sepi yang sudah mulai ia kenal sebagai teman. Tapi Nayla tak lagi merasa rapuh. Luka itu masih ada, namun kini ia tidak lagi mencarinya untuk disembuhkan oleh orang yang sama yang pernah membuatnya berdarah.
Di sisi lain kota, Arvan menatap layar ponselnya. Balasan dari Nayla seperti tamparan halus yang menusuk pelan.
Ia menyesap kopinya yang pahit, tatapannya kosong.
Laras sudah pergi. Mereka berpisah tiga minggu lalu, tak lama setelah surat cerai Arvan dan Nayla disahkan. Ternyata rasa bersalah Laras lebih besar dari cinta yang ia kira dimilikinya.
"Dia perempuan baik," kata Laras waktu itu. "Kamu salah memilih, dan aku tak mau jadi tempatmu berlindung dari kesalahan."
Kini Arvan benar-benar sendiri.
Ia mencoba menghubungi Nayla beberapa kali, tapi semua balasan Nayla seperti tembok yang tak bisa ia lewati. Bukan karena marah, justru karena Nayla sudah tidak lagi peduli. Dan itu jauh lebih menyakitkan.
Malam itu, Nayla mengeluarkan buku catatan yang dulu sering ia isi dengan doa-doa saat masih menjadi istri Arvan. Di halaman terakhir, ia menulis:
"Aku mencintaimu dengan segala kemungkinan yang tak mungkin. Tapi hari ini, aku memilih untuk mencintai diriku sendiri dengan cara yang dulu tak pernah aku tahu."
Luka itu tak bisa dibagi. Tapi Nayla tahu, luka itu bisa diajak berdamai.
Dan malam itu, ia tidur dengan tenang. Tanpa pelukan siapa pun. Tanpa harapan akan kembali. Tapi dengan hati yang, untuk pertama kalinya, merasa tidak lagi kehilangan.
Nayla menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Mata sembab yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan, bibir pucat, dan pundak yang terlihat lebih membungkuk dari biasanya. Tapi ia tetap berdiri. Ia masih di sini, meski tak lagi menjadi siapa-siapa bagi orang yang dulu ia cintai sepenuh jiwa.
Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ia melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan malam. Siapa yang datang malam-malam begini?
Dengan langkah pelan, ia membuka pintu. Di depan sana, berdiri sosok yang tak asing. Arvan.
Hujan membasahi bahunya, dan tatapan matanya terlihat seperti seseorang yang sedang mencari tempat pulang meskipun rumahnya telah dijual, dan perempuannya telah pergi.
“Aku nggak bisa tidur,” ucap Arvan pelan. “Kamu masih suka teh panas?”
Nayla menatapnya lama, seperti memikirkan apakah ini nyata atau hanya bayang-bayang masa lalu yang sedang menggodanya. Lalu ia mundur, membiarkan pintu terbuka lebar, tapi bukan sebagai tanda sambutan. Lebih sebagai bentuk... toleransi.
Arvan masuk dengan pelan. Ia menatap sekeliling, melihat dinding rumah kontrakan yang jauh dari mewah, jauh dari rumah mereka yang dulu. Tapi tempat ini terasa lebih hidup, lebih jujur. Tidak ada kepalsuan.
Nayla menuangkan teh panas, memberikannya tanpa kata. Mereka duduk berseberangan di meja kecil yang hanya cukup untuk dua cangkir dan sepiring biskuit murahan.
“Kamu masih suka dingin-dingin kayak gini?” tanya Arvan.
Nayla mengangguk. “Dingin itu jujur. Dia nggak pernah pura-pura hangat.”
Jawaban itu membuat dada Arvan terasa sesak. Ia tahu, Nayla tak lagi ingin membahas mereka. Tapi ia tetap memaksa datang malam ini, berharap sedikit saja diberi ruang untuk menyesal.
“Aku kehilangan kamu,” ucap Arvan akhirnya, perlahan. “Setelah kamu pergi, baru aku sadar... rumah itu kosong bukan karena kamu nggak ada, tapi karena hatiku kosong.”
Nayla menahan napasnya. Kalimat itu dulu akan membuatnya menangis bahagia. Tapi malam ini, kalimat itu hanya menjadi tanda bahwa Arvan memang selalu terlambat menyadari apa yang penting.
“Sayangnya, kehilangan bukan berarti masih bisa memiliki lagi, Arvan,” ucap Nayla pelan. “Kamu kehilangan aku, tapi aku juga kehilangan diriku sendiri terlalu lama saat bersamamu. Sekarang, aku sedang belajar nemuin diriku lagi.”
Hening. Hanya suara hujan di luar sana yang terus berbisik.
Arvan menunduk. “Aku nggak minta kita kembali. Aku tahu itu mungkin mustahil. Tapi bisakah aku... menebus semuanya? Meski nggak jadi suami kamu lagi.”
Nayla tersenyum pahit. “Kamu bahkan dulu nggak pernah jadi suami yang sepenuhnya hadir, Van. Kenapa sekarang baru mau jadi seseorang, saat status itu udah kamu lepaskan?”
Air mata Arvan jatuh. Tapi Nayla tak bergeming.
Ia berdiri, merapikan cangkirnya. “Malam ini hujan. Tapi besok pasti reda. Kamu pulanglah. Belajar menerima seperti aku belajar berdiri tanpa kamu.”
Arvan bangkit pelan. Tak ada pelukan, tak ada kata maaf. Karena luka itu sudah terlalu dalam untuk hanya diobati dengan penyesalan.
Saat pintu kembali tertutup, Nayla memejamkan mata. Ada bagian dari hatinya yang masih bergetar, tapi tak lagi berharap. Karena cinta tak bisa diperbaiki dengan serpihan yang telah hancur begitu lama.