Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Rapat Para Dewa untuk mengembalikan Cinta
Di Balairung Agung Istana Langit, nama Kamanjaya dan Kamaratih disebut dengan penuh hormat. Mereka adalah sepasang Dewa Cinta dalam mitos lama, kekuatan suci yang menjaga keseimbangan cinta di alam semesta. Namun, sudah lama keduanya menghilang—jiwa mereka hilang dari dunia dewa setelah peristiwa besar yang disebut sebagai Perang Cinta.
Benang merah cinta mereka pun pudar, hingga tak ada lagi yang bisa menemukan pasangan sejati seperti mereka. Kini, setelah berabad-abad berlalu, muncul dua jiwa manusia: Romeo dan Tina—remaja yang tak sengaja masuk ke dunia dewa lewat benang merah takdir.
Para dewa mulai melihat kemiripan pada mereka, bukan hanya dari cara mereka saling melindungi, tetapi juga dari energi yang terpancar di sekitar mereka. Dewi Waktu membuka gulungan takdir dan berkata, "Benang merah yang terikat pada mereka... adalah benang yang sama dengan milik Kamanjaya dan Kamaratih. Mereka bukan hanya pengunjung. Mereka adalah perwujudan baru dari cinta yang telah lama hilang."
Dewa Utama menatap dalam pada altar suci, matanya tajam seperti membaca sesuatu yang hanya dia yang tahu.
"Kalau begitu, mereka bukan sekadar remaja biasa. Mereka adalah titisan, atau mungkin reinkarnasi dari Kamanjaya dan Kamaratih... yang terlahir kembali untuk mengembalikan keseimbangan cinta di dunia ini."
Para dewa mulai gelisah, membisikkan spekulasi mereka.
Sementara itu, di kamar mereka, Romeo dan Tina masih bingung dengan semua yang terjadi. Tina duduk di tepi ranjang, memandang tangannya yang bergetar.
"Romeo... kita ini siapa sebenarnya? Kenapa semua bilang kita dewa-dewi? Kenapa benang merah itu milik kita?"
Romeo duduk di sampingnya, menatap langit-langit, seolah berusaha mengingat sesuatu yang samar. "Apa mungkin... kita itu Kamanjaya dan Kamaratih yang lahir lagi, Tina?" tanyanya dengan suara lirih.
Tina menoleh padanya dengan mata membesar. "Kalau itu benar... berarti kita nggak cuma manusia biasa, Rom. Kita bawa takdir besar... dan... kita harus ngejagain cinta di dunia ini?"
Di luar kamar mereka, cahaya benang merah yang menggantung di langit tampak semakin terang, seolah mendengar dan menguatkan ikatan di antara mereka.
Di Aula Suci Para Dewa, Kamanjaya dan Kamaratih berdiri di tengah ruangan megah penuh cahaya. Pilar-pilar kristal memantulkan sinar keemasan, dan para dewa lain duduk di singgasana mereka masing-masing. Wajah-wajah khawatir mendominasi suasana.
Dewa Brahmana, pemimpin rapat itu, membuka suara, "Perang antara cinta dan kebencian akan kembali meletus. Segel iblis asmara mulai melemah. Hati manusia di dunia fana kini dikuasai oleh dendam, iri, dan luka. Tanpa keseimbangan, dunia akan tenggelam dalam kegelapan emosional."
Kamanjaya—Romeo, meski sempat bingung, kini mulai berbicara dengan tenang, suara dan auranya mulai menunjukkan jati dirinya sebagai dewa, "Apa yang harus kami lakukan untuk menyeimbangkan kembali cinta di semesta?"
Seorang dewi tua—Dewi Titis, penjaga perasaan manusia—menatap mereka lembut, "Hanya kalian berdua yang bisa menstabilkan energi asmara. Tapi cinta sejati tak bisa disebarkan lewat kekuatan sihir. Kalian harus masuk ke dalam tujuh fragmen dunia hati manusia dan menyatukan kembali cinta yang terpecah:
Cinta yang dikhianati,
Cinta yang terlarang,
Cinta yang hilang arah,
Cinta tanpa balasan,
Cinta yang penuh dendam,
Cinta yang takut disakiti,
Dan... cinta yang lupa bagaimana mencintai."
Kamaratih —Tina— menatap para dewa dengan mata membulat, "Kita harus ke... dunia hati manusia? Gimana caranya?"
Dewi Titis tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah manik kristal merah muda. "Ini Manik Asmara. Ia akan membimbing kalian ke fragmen hati yang rusak. Tapi hati-hati, iblis asmara telah menyusup ke dalamnya. Jika kalian gagal… cinta bisa punah dari alam semesta."
Kamanjaya menggenggam tangan Kamaratih. "Kalau cinta harus diperjuangkan, kita akan lakukannya—bersama."
Kamaratih masih setengah bingung, tapi ia mengangguk. "Baik, walau gue gak ngerti banget... tapi kalau itu buat nyelametin cinta orang-orang, ayo kita mulai."
Seketika itu, Manik Asmara bersinar, dan membentuk gerbang pertama: dunia cinta yang dikhianati.
Dewa Brahmana menjelaskan dengan tenang, suaranya berat namun penuh kehangatan,
"Manik Asmara hanya akan bersinar di pagi hari, saat sinar pertama menyentuh permata itu. Sekarang malam telah turun, maka persiapan akan dimulai besok pagi."
Para dewa satu per satu kembali ke alam asalnya. Sementara itu, Romeo dan Tina memberi hormat dengan penuh hormat sebelum meninggalkan balairung agung. Mereka berjalan mengikuti pelayan setia Kamanjaya, menuju sebuah istana megah berwarna emas dengan aksen merah muda—Asmaraloka. Pelayan itu berkata dengan suara lembut, "Ini adalah rumah kalian. Rumah Kamanjaya dan Kamaratih."
Tina melangkah cepat, gaun sutra yang dikenakannya berdesir ringan saat ia menoleh ke belakang. "Romeo! Harus banget ya kayak gini?"
Romeo mengangkat alisnya, agak geli tapi sangat bingung, "Iyalah. Kalau mau balik, ya harus jalanin semuanya."
Tina menghela napas keras, wajahnya menunjukkan protes yang tak terucap.
"Tapi... kenapa harus sama lo?" katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Romeo menatap Tina, seolah ingin memastikan bahwa dia mendengar dengan benar.
"Kenapa harus sama gue? Ya... mungkin karena kita udah dari awal bareng-bareng?"
Pelayan setia itu berhenti di depan pintu besar berukir dengan motif bunga dan benang merah yang menyala samar. Ia menunduk sopan, lalu meninggalkan mereka berdua di depan pintu kamar megah itu. Setelah pelayan pergi, Tina menyandarkan punggungnya di pintu, matanya menerawang jauh.
"Lo sadar gak sih, Rom? Dari museum... tiba-tiba kita di sini. Gue, lo, pasangan dewa asmara. Ini tuh kayak... drama yang absurd banget."
Romeo menyandarkan tubuhnya di pilar dekat pintu, menatap langit malam yang bertabur bintang, dengan cahaya aurora tipis menggantung di atas istana Asmaraloka.
"Gue juga gak nyangka, Na. Tapi mungkin ini bukan sekadar kebetulan kita terjebak di sini. Mungkin karena... ada yang lebih besar, yang belum kita ngerti."
Tina mendengus pelan, memainkan ujung gaunnya dengan jari. "Perasaan gue? Gue sendiri gak ngerti. Gue cuma... gak suka aja harus jadi pasangan lo."
Romeo menoleh, bibirnya terkatup rapat, ekspresinya campuran antara bingung dan canggung. "Lo serius, Na? Bukannya kita emang selalu bareng dari dulu? Di bus, di hotel... sekarang di sini juga."
Tina diam, ragu-ragu. Kemudian perlahan mendekat, suaranya melemah, seolah mengaku pada dirinya sendiri.
"Gue takut aja... kalau ternyata semua ini bukan cuma tentang misi cinta orang lain. Tapi malah bikin gue sadar soal perasaan gue sendiri... yang gue gak siap buat hadapin."
Romeo terdiam. Detak jantungnya terasa lebih cepat. Dia tahu Tina, dan dia tahu saat Tina mulai bicara dengan nada seperti itu, pasti ada sesuatu yang serius.
Dia akhirnya bertanya, lirih, "Apa lo takut... sama cinta itu sendiri, Na?"
Tina tak menjawab. Hanya tatapannya yang bertemu dengan mata Romeo, dalam, penuh keraguan dan keresahan. Malam terasa begitu hening, hanya suara angin malam yang berbisik di sela-sela mereka.
Dengan suara pelan, hampir seperti gumaman, Tina berkata, "Gue takut... kalau ternyata cinta itu... beneran gue rasain. Tapi bukan di dunia yang seharusnya."
Romeo menghela napas pendek, lalu tersenyum tipis. Senyum yang tidak penuh canda, melainkan penuh pengertian.
"Ya udah, Na... kita jalanin dulu dunia ini. Siapa tahu... kita bisa nemuin jawabannya bareng-bareng."
Dari kejauhan, Manik Asmara yang tersimpan dalam kotak kristal di ruang tengah mulai berpendar lembut, cahayanya samar seperti napas yang perlahan bangkit. Pagi sudah menunggu mereka di ujung malam, dan misi mereka sebagai Dewa dan Dewi Asmara... baru akan dimulai.
"Yaudah deh kita istirahat aja," ajak Romeo yang menuju ranjangnya itu besar dan mewah.
"Trus kamar gue dimana?"
"Disini aja kenapa sih?" kata Romeo enteng.
"Enak aja Lo! Gak mau!" tolak Tina yang masih berdiri di depan ranjang itu sedangkan Romeo sudah berbaring dengan satu tangan bertumpu pada kepalanya.
"Jauh kamar gue."
"Yaudah disini aja." jawab Romeo lagi.
Tina menghela napas panjang sambil melipat tangannya di dada, menatap Romeo dengan tatapan tajam.
"Lo tuh... gak ada rasa malu ya?"
Romeo cuma nyengir, matanya mulai terpejam, suara malasnya terdengar,
"Ini dunia dewa, Na. Dewa asmara. Satu ranjang tuh... biasa."
Tina memutar bola matanya. "Gue manusia biasa, Rom. Gue masih normal. Gue nggak bisa tidur sebelahan sama lo gitu aja. Lo kan cowok!"
Romeo membuka satu matanya, melirik Tina yang masih berdiri kaku di sana. "Gue juga manusia biasa, nggak akan nyentuh lo, tenang aja. Inget ya besok kita jalanin misi, Lo kan orangnya ngantukan."
"Romeo!" Tina memekik pelan, malu sendiri. Romeo diam saja dan memejamkan matanya ia benar-benar menahan diri untuk tidak tertawa.
"Oke, gue tidur di sofa." ujarnya akhirnya sambil berjalan ke arah kursi panjang di sudut kamar.
Romeo menatap punggung Tina, lalu menyelimutkan diri. "Lagi? Yaudah, tapi kalau besok lo masuk angin terus gak bisa bangun, jangan nyalahin gue."
Tina tak menjawab. Ia hanya meringkuk di sofa, masih kesal. Tapi dalam hati, ia tahu Romeo benar—kamar itu terlalu dingin, dan dia terlalu keras kepala.
Sebelum tidur, ia sempat melirik ke arah ranjang mewah itu dan berbisik pada dirinya sendiri, "Kenapa harus sama dia sih... dari sekian banyak orang..."
Sementara itu, di atas langit Asmaraloka, bintang berbentuk hati perlahan-lahan muncul pertanda bahwa cinta yang sejati sedang diuji.