Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERTEMU OMA NINGGRUM
Pagi menyusup pelan ke rumah keluarga Beni, menyelinap melalui celah jendela dapur yang mengembuskan aroma tumis bawang dan roti panggang. Febi, seperti biasa, sudah berdiri di depan kompor, sibuk mengaduk telur orak-arik sambil sesekali mencicipi sambal buatan ibu. Di sampingnya, Vania berdiri dengan lengan bersedekap, bukan untuk membantu, tentu saja tidak tapi untuk menginterogasi.
Begitu Bu Anita melangkah keluar ke halaman samping, Vania langsung mendekat dan menundukkan suara seperti agen rahasia.
“Kak Febi…” bisiknya sambil melirik ke arah pintu, “gimana perkembangan sama Bos Arkan? Kalian udah jadian, ya? Kemarin tuh... duh, kalian keliatan mesra banget, kayak pasangan FTV.”
Febi hampir saja menjatuhkan garpu ke dalam teflon. “Hussshh! Dek, jangan asal ngomong! Nanti kedengeran Ibu!” tegurnya setengah panik.
Vania menaikkan alis. “Aku cuma nanya. Tapi jujur deh, Kak, Bos Arkan tuh jelas-jelas naksir Kakak. Tatapan matanya tuh kayak sinar matahari pagi... hangat dan penuh harapan.”
“Duh, lebay banget, Rik,” kata Febi, berusaha mengalihkan. “Telurnya diangkat, gosong tuh.”
“Hmm… muka Kakak merah loh. Fix! Kalian pasti udah jadian!” Vania berseru, senyum penuh kemenangan.
“Siapa yang jadian?” suara Bu Anita mendadak muncul dari balik pintu, membuat Febi dan Vania refleks berdiri kaku.
Febi melotot ke arah adiknya dengan tatapan ‘kalau bisa gue bungkam lo sekarang juga, gue bungkam’. Vania cepat tanggap.
“Itu, Bu… temen aku di sekolah. Si Dody sama Mira lagi deket.”
Bu Anitamengangguk santai. “Kirain kamu sama Marko.”
“Hah? Aku sama Marko?” Vania terkejut. “Ya nggak mungkin lah, Bu. Kita cuma bestie.”
“Tapi tiap hari bareng. Di rumah, sekolah, jalan… kalian nempel terus kayak stiker.”
Febi menyambar kesempatan itu, “Setuju sih Bu. Kalau Vania jadian, mending sama Marko aja. Anak baik, sopan, bisa bantu goreng tempe juga.”
Bu Anitatersenyum geli. “Boleh juga.”
Dan seolah semesta ikut bercanda, tiba-tiba suara familiar terdengar dari depan.
“Assalamu’alaikum!”
Febi berseru senang, “Tuh! Calon mantu Ibu datang!”
Markomuncul di ambang pintu, bingung. “Maksudnya?”
“Ngapain juga lo pagi-pagi udah nongol?” Vania nyolot.
“Lah, lo yang suruh gue sarapan di sini. Inget nggak, semalam lo bilang orang tua lo belum pulang?”
Vania memasang wajah tak bersalah. “Mana ada.”
“Ya ada lah! Nih gue tunjukin….”
“Nggak usah, duduk aja Marko. Sarapan bareng,” potong Bu Anita bijak.
Marko langsung duduk dengan wajah sumringah. Tapi belum lima detik, ia mendadak meringis.
“AUH! Kenapa nginjek kaki gue, Rik?!”
“Ups, sorry. Nggak sengaja,” jawab Vania datar.
Febi tertawa pelan. “Udahlah Marko, cuekin aja. Dia lagi sensi.”
“Kak Febiii…” Vania merengut.
“Sudah, jangan ribut depan makanan,” tegur Pak Beni sambil duduk.
“Pagi, Om!” sapa Marko cepat.
“Pagi, Marko. Ayo, makan dulu.”
Aroma sarapan memenuhi udara. Di tengah gurauan, sindiran, dan sedikit drama, pagi itu terasa begitu hangat seperti pelukan kecil sebelum menghadapi dunia.
**
Hari itu kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Atau mungkin hanya Febi yang merasa begitu. Duduk di balik meja kerjanya, matanya menari-nari di antara tumpukan laporan dari tiga divisi berbeda. Tangannya lincah membolak-balik halaman, memberi coretan, mengecek angka, memastikan semua sempurna sebelum diserahkan ke tangan paling ditakuti sekaligus paling dicintainya Arkan, sang bos merangkap pacar rahasia.
Saking tenggelamnya dalam dokumen, Febi tidak sadar waktu sudah merangkak ke tengah hari. Perutnya mulai memberontak, tapi pikirannya keras kepala. Masih banyak yang harus selesai. Dia tidak ingin ada celah kesalahan, terutama di hadapan Arkan.
Sementara itu, dari arah ruangannya, Arkan baru saja keluar setelah rapat daring yang lumayan menguras tenaga. Saat matanya menyapu seisi kantor, ia menemukan sosok yang paling dirindukannya dalam sehari penuh spreadsheet: Febi, dengan ekspresi serius dan rambut dikucir asal.
“Sayaaaanggg…” sapa Arkan, penuh semangat seperti anak kecil yang menemukan mainan favoritnya.
Febi kaget, nyaris menjatuhkan stabilo. “Masss… jangan panggil ‘sayang’ di kantor! Nanti ada yang dengar, bisa brabe!” bisiknya penuh tekanan sambil menengok kanan kiri.
“Ngga ada orang, Sayang. Mereka semua ke kantin kok,” ucap Arkan sambil mendekat, senyum nakal terselip di ujung bibirnya.
“Masih aja. Kita harus tetap profesional, tahu.”
“Oke, oke, profesional. Tapi, profesional juga harus makan siang, Mbak Febi,” godanya, kali ini mengubah gaya bicara menjadi ala bos galak.
“Aku belum sempat, Pak. Ini harus segera selesai dan ditandatangani Bapak hari ini juga,” jawab Febi dengan nada datar tapi mata tetap sibuk.
“Itu cuma alasan. Kamu tuh ngeyel banget ya? Makan dulu, habis itu lanjut. Aku nggak mau kamu tumbang cuma karena kerja.”
“Nanti aja, Pak. Aku masih kuat kok,” jawab Febi, tetap keras kepala seperti biasanya.
Arkan menghela napas. “Keras kepala banget, sih. Ya sudah, aku pesankan makanan.”
“Eh, ngga usah, Pak….” protes Febi, tapi sudah terlambat. Seorang office girl lewat tepat waktu, seperti dipanggil semesta.
“Mbak, tolong beliin makan di restoran depan ya, yang ada ayam sambalnya itu. Ini uangnya,” ujar Arkan sambil menyodorkan tiga lembar merah. Office girl itu mengangguk girang, lalu melenggang pergi.
Febi hanya bisa menatap pasrah. “Aku bisa beli sendiri loh, Mas…”
“Terima saja. Nanti kamu langsung makan ya. Aku mau keluar sebentar.”
Febi mengerutkan alis. “Keluar? Kan hari ini nggak ada jadwal ketemu klien.”
“Aku mau ketemu Oma Ninggrum sebentar.”
“Oh…” Febi mengangguk pelan. Ia sebenarnya penasaran, tapi menahan diri untuk bertanya lebih jauh. Wajar, kan, kalau cucu ingin mengunjungi oma?
Setelah Arkan pamit dengan senyuman dan ucapan, “Hati-hati kerja ya, Sayang… eh, Mbak Febi maksudnya,” ia pun pergi.
Febi tersenyum kecil. Hatinya sempat hangat beberapa detik sebelum kembali ke laporan. Ia kembali duduk tegak, memegang pena, kembali ke dunia angka dan grafik, sambil menunggu makan siang yang entah kenapa hari ini terasa istimewa.
**
Siang itu, Arkan melangkah memasuki halaman rumah Oma Ninggrum yang terasa sejuk oleh rindangnya pepohonan dan suara gemericik air dari kolam kecil di pojok taman. Ia sudah hafal suasana rumah itu luar kepala tempat ia sering lari saat bosan dengan segala drama di rumah besar keluarga.
Oma Ninggrum menyambutnya di teras dengan senyum khasnya hangat, tenang, dan sedikit menyelidik.
“Wah, akhirnya cucu kesayangan Oma datang juga. Nggak sibuk banget, kan?”
“Untuk Oma, selalu sempat,” jawab Arkan sambil mencium tangan wanita itu.
Mereka lalu duduk di ruang tamu dengan teh melati dan kue favorit Arkan, nastar buatan rumah yang selalu ada kalau ia datang. Tapi bukan itu yang jadi inti pertemuan hari ini, tentu saja. Arkan bisa menebaknya dari nada suara Oma yang agak ‘terlalu’ lembut.
“Jadi begini, Nak…” Oma Ninggrum mulai bicara setelah beberapa tegukan teh. “Tadi pagi Oma ditelepon Tante Wulan.”
Arkan meneguk tehnya pelan. Sudah bisa menebak ke mana arah obrolan ini akan berlayar.
“Kamu tahu Tante Wulan itu ya, selalu sibuk nyariin jodoh buat semua orang, termasuk kamu. Dia bilang ada anak kenalan lamanya di Belanda, namanya Meta. Pintar, latar belakang keluarga bagus, dan katanya… cantik sekali.”
“Wah, Tante Wulan tetap rajin ya ngurusin urusan yang bukan urusannya,” celetuk Arkan dengan nada setengah bercanda, setengah nyinyir.
Oma Ninggrum menahan tawa. “Arkan…”
“Iya, iya, maaf. Terus?”
“Dia ingin kamu ketemu. Nggak harus langsung cocok, tapi sekadar ngobrol, makan siang, biar tahu. Siapa tahu… cocok.”
Arkan mendesah, memutar gelas tehnya. Pikirannya langsung terbang ke Febi, gadis yang selama ini menemaninya, di balik tumpukan laporan dan senyum penuh pengertian. Tapi… ya, belum ada yang tahu. Termasuk Oma.
“Maaf ya Oma… sebenarnya aku lagi dekat sama seseorang. Tapi belum aku bawa ke keluarga. Belum siap aja.”
Oma Ninggrum terkejut. ”Benarkah? Kamu lagi tidak bohongi oma kan biar kamu nggak dijodohkan?”
“Enggak Oma. Memang aku lagi dekat sama seseorang.”
“Kalau kamu serius sama yang kamu dekatkan sekarang, pelan-pelan mulai ajak dia masuk ke lingkaranmu. Supaya orang lain nggak asal masuk dan mengisi tempat kosong.”
Arkan terdiam. Ia tahu Oma bukan sedang memaksa. Tapi memberikan dorongan halus agar ia berani melangkah.
“Tapi kamu ketemu si Meta, yah. Tantemu sudah mengatur jadwalnya.”
Arkan merasa tidak terima karena tantenya terlalu ikut campur urusan pribadinya.
“Nggak, Oma. Aku menolak. Aku nggak mau sampai ketahuan dengan kekasihku jika bertemu dengan wanita lain. Aku menjaga perasaannya.”
“Ya kalau begitu bawa kekasihmu itu ke rumah ini. Kenalin sama Oma. Jangan sampai kamu cuma bo’ong.”
“Oke, Oma. Aku bakal bawa Febi ke sini besok malam.”