Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Setelah membeli hadiah dan es krim, Mehmet dan Stela kembali ke rumah mereka.
Stela mandi air hangat lagi dan memilih gaun malam yang elegan.
Mereka berdua bersiap-siap untuk menuju ke rumah orang tua Mehmet.
Mehmet berulang kali mengingatkan Stela untuk berhati-hati dengan kondisi kehamilannya.
Sesampainya di sana, suasana rumah orang tua Mehmet sudah ramai dan hangat.
Aroma masakan lezat tercium dari dapur. Mama Mehmet menyambut mereka dengan pelukan hangat.
Namun, kebahagiaan Stela langsung pupus saat ia melihat seseorang yang ia harapkan tidak akan pernah ia temui lagi.
Saat berjalan menuju ruang tengah, Stela dikejutkan dengan Tasya yang ada di sana.
Tasya tidak berada di ruang tamu. Ia berada di dapur dan memasak atau lebih tepatnya, mencoba membantu, mengenakan celemek, dan tampak familiar dengan keluarga Mehmet.
Stela membeku di tempatnya. Ia menoleh ke Mehmet, tetapi Mehmet sendiri tampak terkejut melihat Tasya.
Tasya tersenyum sinis dari balik dapur, matanya langsung tertuju pada Stela.
Stela mengambil napas dalam-dalam. Ia ingat janjinya pada diri sendiri.
Stela menghela napas panjang dan mencoba untuk tidak cemburu atau membuat keributan.
Ia tahu ia harus menjaga martabatnya dan kebahagiaan kehamilannya, terutama di hadapan Mama Mehmet yang sedang berulang tahun.
Ia ingin menghormati kedua orang tua Mehmet.
Mereka semua berkumpul di ruang makan.
Mama Mehmet duduk di kepala meja, bersemangat menerima hadiah dari Stela dan Mehmet.
Stela duduk di sebelah Mehmet, sedangkan Tasya berhasil mendapatkan kursi yang cukup dekat dengan mereka.
Selama makan, Tasya mulai melancarkan sindiran.
"Steak ini rasanya sempurna. Aku ingat, Mehmet dulu selalu suka steak yang dimasak medium-rare. Dia bilang steak buatan Mama adalah yang terbaik," ucapTasya, memandang Mehmet seolah mengingat kebersamaannya dengan Mehmet di masa lalu.
Mama Mehmet tertawa, tidak menyadari ketegangan itu.
"Ah, kamu selalu ingat, Tasya!"
Stela hanya terdiam. Ia memaksakan senyum kecil pada mertuanya, lalu menunduk.
Ia memilih menikmati makanannya. Ia memotong steak di piringnya, dan dalam waktu singkat, piringnya kosong.
Entah karena stress atau ngidam, nafsu makannya luar biasa.
Ia meminta porsi kedua, lalu ketiga. Stela menghabiskan steak 3 potong.
Ia mengabaikan tatapan khawatir Mehmet dan Tatapan sinis dari Tasya.
Saat pelayan menyajikan minuman, Stela mengambil gelas berisi soda yang ia tahu dilarang keras oleh dokter.
Ia meminumnya cepat-cepat.
Mehmet menyentuh tangan Stela di bawah meja, berbisik, "Sayang, jangan minum itu. Dokter melarang soda."
Stela menarik tangannya dan meminum lagi seteguk soda. Ia sudah mencapai batasnya.
"Aku minta maaf," ucap Stela, bangkit tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh.
"Kalian lanjut dulu. Saya masih ada urusan," ucap Stela yang lekas keluar dan memanggil taksi yang ia lihat sedang lewat di depan rumah.
Ia tidak sanggup lagi mendengarkan sindiran Tasya dan berpura-pura baik-baik saja.
"Stela!" seru Mehmet, terkejut dengan kepergiannya yang mendadak.
Mehmet hendak mengejar, tetapi Tasya langsung bergerak. Tasya memegang tangan Mehmet erat-erat.
"Jangan ganggu keluargaku!" bentak Mehmet.
"Biarkan saja dia pergi, Met. Dia jelas tidak menghargai keluargamu!"
Mehmet menarik tangannya dari cengkeraman Tasya dengan kasar.
Matanya menyala karena marah. Ia mengabaikan teriakan Tasya dan orang tuanya, bergegas keluar.
Ia melihat taksi yang ditumpangi Stela baru saja melaju menjauh.
Mehmet mengejar taksi tersebut dengan mobilnya, hatinya dipenuhi kemarahan pada
Tasya dan kekhawatiran yang luar biasa pada Stela yang baru saja menenggak soda dan keluar dalam keadaan stress berat.
Mehmet menginjak pedal gas dalam-dalam, kemarahannya pada Tasya bercampur dengan ketakutan atas kondisi Stela.
Ia menyusul taksi itu, mencoba menyalakan lampu jauhnya, tetapi taksi itu sudah berbelok cepat di persimpangan.
Ia berputar balik, mencoba mencari, namun taksi kuning itu sudah kehilangan taksi yang membawa Stela, menghilang di antara keramaian lalu lintas kota.
"Sialan!" umpat Mehmet.
Ia segera memutar mobilnya, menyadari bahwa mengejar taksi di tengah malam adalah hal yang sia-sia.
Mehmet lekas pulang ke rumah mereka, jantungnya berdebar kencang.
Ia memacu mobilnya, berdoa agar istrinya ada di sana, sedang menangis di sofa atau mungkin sudah tertidur.
Ia membuka pintu, berlari ke kamar, lalu ke dapur dan ruang tamu.
Rumah itu sunyi. Stela tidak ada. Ponselnya ia tinggal di meja rias.
Kepanikan total melanda Mehmet. Ia menelepon ponsel Stela, tetapi hanya suara operator yang menjawab.
Sementara itu, Stela tidak pulang. Air mata yang ia tahan sejak di rumah orang tua Mehmet kini berubah menjadi air mata amarah.
Ia merasa lelah dan terhina. Satu-satunya tempat yang ia pikir bisa memberikan pelepasan adalah tempat yang paling berisiko.
Taksi membawanya ke sebuah klub malam di pusat kota.
Stela masuk ke klub malam itu dengan gaun malamnya yang indah, langsung menuju bar.
Dentuman musik yang keras dan lampu temaram meredam semua pikiran dan rasa sakit.
"Aku butuh yang paling keras. Tanpa es," pinta Stela pada Bartender.
Meskipun Bartender ragu melihat penampilan Stela yang elegan dan sedikit kacau, ia memenuhi permintaan itu.
Stela meminumnya dalam satu tegukan, mengabaikan rasa panas yang membakar tenggorokannya.
Ia meminta beberapa minuman lagi, mencoba menghapus bayangan Tasya dan kekhawatiran Mehmet dari kepalanya.
Setelah beberapa gelas, efeknya mulai terasa. Ia meninggalkan bar dan menuju lantai dansa. Dan menari kesana kemari tanpa peduli dengan pandangan orang lain.
Tubuhnya yang lelah bergerak liar, melepaskan semua energi negatif. Ia menari seperti orang yang putus asa.
Pemilik klub, seorang pria bernama Doni, kebetulan sedang berada di dekat VIP lounge.
Doni adalah teman Mehmet sejak kuliah dan sangat mengenal Stela.
Doni terkejut melihat Stela di klubnya, apalagi ia tampak minum dan menari tanpa kendali. Doni tahu Stela sedang hamil.
Melihat Stela tersandung dan nyaris jatuh di lantai dansa, Doni segera mengambil tindakan.
Ia menarik diri ke kantornya dan segera menghubungi Mehmet.
Telepon Mehmet berdering lagi. Kali ini dari Doni.
"Met, kamu harus ke sini. Sekarang," suara Doni terdengar mendesak.
"Ada apa, Don? Aku sedang mencari Stela, dia pergi dari rumah."
"Stela ada di klubku. Met, dia sedikit mabuk dan sudah minum beberapa gelas," ujar Doni, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Aku tidak bisa membiarkannya. Kamu tahu dia sedang hamil!"
Mendengar kata-kata itu, darah Mehmet serasa berhenti mengalir. Amarah, ketakutan, dan rasa bersalah meledak di dadanya. Stela dalam bahaya.
"Aku ke sana sekarang!" teriak Mehmet, langsung menyambar kunci mobilnya lagi.
Mehmet mengemudi seperti orang gila. Setiap detak jantungnya dipenuhi ketakutan akan kondisi Stela dan bayi mereka.
Kecemburuan dan amarahnya pada Tasya menguap, digantikan oleh rasa bersalah karena membiarkan Stela menghadapi situasi itu sendirian.
Mehmet mempercepat laju mobilnya menuju ke klub malam Doni, melanggar beberapa batas kecepatan.
Begitu sampai di sana, ia langsung menerobos masuk. Doni sudah menunggunya di pintu masuk dan mengisyaratkan ke arah area lounge VIP.
Saat kakinya melangkah ke area yang lebih tenang itu, pemandangan itu menghantamnya.
Sesampainya di sana ia melihat istrinya yang tergeletak di sofa beludru merah.
Rambutnya sedikit acak-acakan, gaun elegannya sedikit tersingkap, dan wajahnya pucat.
Di sampingnya, gelas-gelas kosong berserakan di meja.
"Stela!" bisik Mehmet, bergegas mendekat.
"Aku sudah coba menghentikannya, Met, tapi dia minum terlalu cepat. Dia stress berat," jelas Doni, wajahnya khawatir.
Mehmet menyentuh pipi Stela. Tubuhnya terasa lemas dan napasnya berbau alkohol yang kuat.
Kemarahan Mehmet kini hanya tertuju pada dirinya sendiri.
Ia gagal melindungi Stela.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mehmet mengangkat tubuh Stela yang ringan itu ke pelukannya.
Mehmet membopong tubuh istrinya keluar dari klub yang bising itu. Ia menatap Doni.
"Terima kasih, Don," ucap Mehmet singkat, tatapannya tajam.
"Hati-hati, Met. Segera bawa dia ke dokter," balas Doni.
Mehmet membawa Stela ke mobil. Ia meletakkan Stela di kursi penumpang dengan hati-hati, memastikan sabuk pengaman terpasang.
Ia mengemudi pulang perlahan dan penuh perhatian.
Selama perjalanan, Mehmet terus-menerus memanggil nama Stela, tetapi istrinya tetap tak bergerak.
Ia hanya bisa berdoa agar soda dan alkohol itu tidak memberikan dampak buruk pada bayi mereka. dan membawanya ke rumah.