"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu "Kejutan"
Hari yang istimewa buat Binar, hari ini Tama sudah tiba di rumah sebelum maghrib datang. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Tentu hal ini menjadi momen yang sangat menyenangkan dan sudah dia tunggu sejak lama. Kebetulan hari ini dia merasa kurang enak badan, sehingga dia tidak menyiapkan makan malam. Toh biasanya Tama juga tidak pernah makan malam di rumah.
Binar mengambil pakaian Tama yang kotor dan meletakkannya di tempat cuci. Selepasnya dia melayani suaminya dengan membuatkan kopi dan menyiapkan cemilan malam. Dulu, sebelum Tama sering lembur, mereka akan menghabiskan malam dengan menonton film dan menikmati cemilan.
"Hari ini Mama akan datang," ujar Tama sambil mengeringkan rambut. Sontak pemberitahuan yang mendadak ini membuat Binar menyipitkan mata, apakah dia salah dengar.
"Gimana mas?" Binar kembali bertanya, memastikan.
"Mama akan datang," ulangnya.
"Kok mendadak? mas nggak bilang sebelumnya?" Binar merasa kaget.
"Kenapa? kan hal biasa kalau Mama datang ke rumah anaknya, nggak boleh?" Tama menatap Binar.
"Bu..bukan begitu mas maksudku," Binar merasa suaminya tersinggung dengan kalimatnya. "Tapi kan kalau aku tahu dari awal mama akan datang, aku bisa menyiapkan semuanya," Binar menghela nafas. Bahkan makan malam pun dia tidak menyiapkan, bahan makanan di lemari pendingin pun tidak ada.
"Kan bisa beli, gampang itu," Tama tidak ambil pusing.
Terdengar suara bel dengan nyaring, Binar meyakini jika yang datang adalah ibu mertuanya. Mereka berdua bangkit dan berjalan ke arah pintu. Tangan kanan Binar memegang handle pintu dan membukanya. Nampak seseorang yang sudah sangat dia kenal.
"Mama..." Binar langsung menyalami wanita tersebut.
"Bawa masuk barang Mama, Tama" perintahnya pada Tama setelah laki-laki itu mencium tangannya dan mencium kedua pipinya.
Tama menurut, membawa masuk barang bawaan mamanya.
"Mari ma," Binar mempersilahkan mamanya masuk ke dalam rumahnya. Ini adalah kali pertama mamanya datang secara langsung di rumahnya. Wanita itu duduk di ruang keluarga, sementara Tama memasukkan barang ke dalam kamar tamu.
"Tamaa, jangan dimasukkan semua, karena itu ada makanan juga, kalau dimasukkan ke kamar, bisa basi dia,"
Tama yang sudah terlanjur membawa barang ke dalam kamar pun memperhatikan, sekiranya mana yang ada makanannya. Setelah mengetahuinya, Tama kembali membawanya keluar dan menyimpannya di dapur.
Beberapa lama membersihkan diri, Mamanya keluar dan menemui Tama dan Binar di ruang makan.
"Jadi kamu tidak pernah masak untuk suami kamu?" tanya Mamanya sambil melihat ke arah Binar. Binar terdiam sesaat, kesalahannya tidak menyiapkan makan malam. Tapi Binar memang tidak tahu sama sekali jika mertuanya akan datang, kalaupun dia menyiapkan makan malam juga terasa percuma. Tama tidak pernah sekalipun makan malam bersamanya, kecuali saat dia berulang tahun beberapa hari yang lalu.
"Sebagai perempuan yang tidak bekerja, dan hanya di rumah saja, harusnya kamu harus sigap memasak untuk suami, melayani dia dengan baik. Sudah tidak kerja, hanya terima gaji saja, tapi masih saja tidak melayani suami," Kalimat demi kalimat yang meluncur membuat Binar merasa nelangsa, Mama mertua yang selama ini dia kenal baik ternyata bisa juga mengeluarkan kalimat tersebut. Binar masih saja diam, dia melirik Tama beberapa detik, tidak ada reaksi dari laki-laki itu.
"Untung saja Mama bawa makanan,"
"Nggak apa-apa ma, kan masih bisa pesan makanan online," akhirnya pembelaan itu keluar dari Tama.
"Nggak bisa gitu dong Tam, jadi istri jangan manja, kamu capek kerja, dia di rumah nggak ngapa-ngapain,"
Kalimat demi kalimat semakin membuatnya tak enak hati, masakan mamanya yang tadinya nikmat mendadak terasa susah ditelan. Kedua tangannya turun dari meja, lalu mengepal. Binar masih sanggup menahan.
"Kamu kan nggak sedang hamil, jadi jangan manja," imbuhnya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Mama mertuanya, Binar bergegas mengambil piringnya dan membawanya ke dapur.
"Aku masuk dulu mas, ma.." pamitnya seraya meninggalkan mereka di ruang makan, Binar masuk ke dalam kamar. Sayup-sayup terdengar percakapan antara ibu dan anak.
"Jadi istrimu belum hamil? kenapa? dia nggak mau hamil?"
"Terus lagi, harusnya dia tidak menjadi beban kamu, harusnya kalau memang tidak hamil, dia bisa kerja bantu kamu,"
***
Binar mengelus dada, perlahan dia menjauhi pintu kamarnya dan tidak mau mendengar apa-apa lagi tentang pembicaraan ibu dan anak itu. Binar membuka laci meja riasnya, dibukanya perlahan lembar hasil pemeriksaan program kehamilannya. Lalu dia tersenyum kelu, tidak ada yang bisa dia ceritakan sedikitpun sengan siapapun, cukup dia yang tahu.
Jangankan hamil, Tama pun kelihatan ogah untuk diajak program kehamilan, sekarang pun semakin terasa jauh, karena Tama jarang menyentuhnya. Tama terlalu capek kerja.
Binar kembali melipat kertas-kertas tersebut dan mengembalikannya ke tempat semula. Dia memandangi wajahnya di depan cermin. Masih sama seperti dulu, dia masih cantik, dia masih Binar yang mandiri.
Kenapa mertuanya sekarang berubah, banyak tuntutan. Andai Tama tidak melarangnya bekerja, mungkin posisi dia bisa lebih tinggi dari Tama, jenjang karirnya akan lebih cemerlang dari Tama. Karena dia menurut, maka dia melepaskan semua inginnya itu. Meskipun pada akhirnya mama mertua menganggap dia hanya memanfaatkan Tama. Binar menghela nafas panjang.
Terdengar suara pintu terbuka, dari balik pintu, Tama masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Binar masih duduk sambil membersihkan wajahnya.
"Maafkan mama," ujar Tama seusai menutup pintu.
"Mama sudah tidur?"
"Barusan masuk kamar,"
"Bagus lah, mama mungkin capek," Binar selesai membersihkan wajahnya dan bersiap berbaring. Tama melihat ke arah Binar, tidak ada tanda-tanda perempuan itu menangis. Yang dia tahu, Binar memang setegar itu. Tidak ada jawaban dari Binar atas permintaan maafnya atas perlakuan mamanya.
Tama duduk di tepi ranjang, sedangkan Binar sudah membungkus tubuhnya dengan selimut. Dia tak lagi menuntut apapun pada laki-laki itu, sudah terasa dingin.
"Jangan semua yang kamu dengar dimasukkan hati, anggap saja mama sedang lelah," Tama berbicara lagi, Binar yang sudah menutup matanya walau belum tertidur tidak memberikan respon apapun.
Tama ikut merebahkan dirinya, melihat tubuh Binar yang memunggunginya, Binar yang dulu pernah protes dengan kesibukannya kini tak lagi berisik dan lebih menerima dengan segala rutinitas barunya itu. Tama beralih pandang ke arah langit-langit kamar yang kini sudah meredup lampunya karena diganti lampu tidur. Sebelum dia dikagetkan dengan suara ponselnya berdering, Tama mencari benda pipih tersebut.
Melihat nama yang tertera di layar ponsel, Tama lantas menolak panggilan tersebut dan langsung mengirimkan pesan.
Sementara di balik punggung itu, Binar membuka matanya dengan segala macam perasaan berkecamuk. Perasaan itu dibawa hingga ke alam tidurnya.