Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Pesta yang Penuh Keterkejutan
.
.
Revander sedikit menari kera belakang baju kebaya cokelat hitam dan keemasan miliknya berusaha untuk membuat dirinya sedikit lebih nyaman pada bagian hler yang mulai sedikit kemerahan efek bahan pakaian glamor ini.
Ini sudah pukul setengah sepuluh, dan mereka masih memiliki sekitar lima belas menit lagi untuk sampai di tempat tujuan.
Keluarganya yang berada duduk di depannya tampak sedang asyik sendiri dalam obrolan mereka yang dia sendiri tidak terlalu mengikutinya. Dengan tiga anak kecil yang kini tengah setengah berteriak dalam pangkuan kedua orang tuanya yang ada di bagian tengah kursi penumpang mobil mereka.
Dia menghela nafas sepelan mungkin dan kembali menggerakkan tubuhnya untuk bersandar pada jok kursi belakang itu, melihat ke jendela belakang dalam diam.
Pesta pernikahan ya....
Jika tidak salah, dia mendengar tempat pesta pernikahan sepupu perempuannya itu berlokasi di sebuah gedung aula luas tak jauh dari tempat mereka tinggal.
Mungkin kabar yang dia dengar ini tidak penting, tetapi dia tahu jelas makna dari informasi itu, bahwa Dwi menikahi seorang pria yang cukup mapan secara finansialnya.
Dari mana dia tahu?
Tentu saja dia tahu, kalau tidak bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan pesta pernikahan yang di tengah tempat seperti itu, kalau mereka tidak memiliki finansial yang lebih dari cukup?
“Tante?” panggil seorang anak laki-laki yang sedang menoleh kepadanya dari bangku depan.
Revander mengedipkan matanya dengan cepat. “Iya Zi?” balas Revander memandang bocah laki-laki yang memakai batik kecil dan memiliki warna merah berpola keemasan.
“Tante sedang apa?” tanya bocah itu polos. “Tante selalu banyak diamnya.”
Kedua alis gadis itu sedikit terangkat mendengar pernyataan keponakannya itu. tapi detik selanjutnya dia hanya tersenyum tipis, berusaha menutupi dirinya lagi.
“Tidak ada kok Zi, mungkin tante cuma mengantuk saja. Tante susah tidur semalam” balas Revander pelan, dengan tangan yang meraih ke pipi gembul bocah laki-laki itu, tidak tahan akan rasa gemas padanya.
“Tante ngatuk?” ulang bocah itu lagi sedikit memiringkan wajahnya kebingungan.
“Iya tante ngatuk.”
Dia tidak berbohong tentang itu.
Mungkin hari masih tergolong pagi, namun dia benar-benar sedikit mengantuk hari ini.
UUhh.....
“Tantemu itu memang seperti ini Iziq, sedikit-sedikit mengantuk, diam sedikit mengantuk. Padahal sudah besar tetapi sikapnya masih sama saja dan tidak berubah.” Ucap sang abang yang berada di depan kursi pengemudi sana. “Entah kapan kamu berubahnya, Revander.”
Ah....
Nada suara itu lagi.
Nada suara yang jelas-jelas mengartikan sebuah ketidak senanggan kepada dirinya.
Tapi kenapa?
Memangnya apa yang telah dia lakukan sampai membuat sang abangnya itu menjadi tidak senang kepada dirinya?
Memangnya apa?
Revander diam menatap lurus ke depan tidak berniat membalas apa pun.
Tidak berniat untuk mencari masalah kepada siapa pun.
Sang Ibunda menarik lembut bocah kecil itu dan mendudukkan dia ke atas pangkuannya, tidak ada niat sedikit pun untuk berkata, ataupun membelanya.
Hah.... memangnya siapa yang mau membela dirimu?
Sudah di katakan beruang kali, mereka tidak akan membelamu, dan tidak akan pernah membela dirimu.
.
Suara musik yang tidak terlalu jelas itu terdengar begitu kuat menandakan pesta telah di mulai aula yang lebih besar dari pada yang dia pikirkan, dekorasi berwarna-warni penuh dengan bunga-bunga segar putih tersusun rapi.
Gadis berambut hitam yang di sanggul rendah indah itu terduduk di salah satu kursi bermeja bundar, bertempat begitu dekat dengan panggung pengantin itu bernuansa putih cream.
Orang-orang berpakaian kebaya dan batik yang indah dan cantik mulai berdatang berbondong-bondong dengan sanak saudara dari jauh ataupun dekat. Banyak anak-anak yang berlari-lari bermain bersama walaupun mereka tidak saling mengenal satu sama lain.
Ya....
Semua orang tampak saling bertemu sapa satu sama lain.
Namun tetap saja....
Tidak ada seorang pun yang menyapa dirinya.
Uhhh....
Litly kemana?
Kapan Litly datang?
Apakah Litly akan datang?
Dia menatap pasangan yang menjadi pemeran utama di dalam pesta hari ini. Sang pengantin perempuan terus saja tersenyum, sedikit merasa bangga akan dirinya sendiri akan pasangan yang perempuan itu nikahi hari ini.
Harus dia akui, jika pasangan Dwi cukup tampan untuk ukuran orang lokal, tinggi tapi memiliki badan sedikit berisi, dan badan tidak setinggi...... Flauza.
Eh...?
K-kenapa dia tiba-tiba saja dia terpikir oleh pria itu?
Hah...!
Jika kamu berpikir seperti itu...
Tentu saja pria itu tidak setinggi, setampan dan memiliki tubuh yang bagus seperti Flauza Evangrandene.
UUhhh.....
Dia....
Dia tidak bermaksud memikirkan pria itu!!!
“Dek?” tiba-tiba saja ibundanya memanggil dirinya.
“Ya bu?”
“Tidak makan dek? Ambillah makan makanannya sana, kamu belum sarapan juga tadi?” kini dia mengalihkan perhatiannya pada orang-orang yang sedang berdiri mengantari di bagian makanan sana.
Hmmm...
Mungkin tidak salah juga.
Dia memang merasa dikit merasa lapar.
Gadis itu mengangguk pelan dan bangkit dari duduk dan berjalan ke tempat katering itu, mengambil piring kaca besar itu dalam diam berjalan pelan-pelan di tengah-tengah orang-orang lainya.
“Er...!” merasa dirinya di panggil dengan suara yang cukup familiar di tengah-tengah keramaian, Revander sedikit menoleh mendapati Litly, berlari kecil dengan kebaya merah merah jambu dia kenakan.
“Eh datang juga kamu Li?” Revander kembali berjalan mengambil beberapa makanan lainya agar tidak membuat orang-orang di belakangnya menunggu terlalu lama.
Lilty mengatur nafasnya perlahan, melihat Revander yang sudah selesai mengambil hidangan pesta itu pada kedua tangannya. “ambil makan sana gih, aku tungguin” ucap Revander sembari berdiri agak jauh dari antrean itu.
Perempuan itupun hanya mengangguk melakukan saran sahabatnya itu tanpa banyak protes.
Setelah keduanya selesai mengambil hidangan, merekapun kini berjalan bersama ke tempat di mana Revander mengatakan keluarganya berada. “Kukira kamu gak bakal datang.” Revander duduk pada kursinya tadi, melihat orang tuanya kini sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing dalam pesta itu.
“Sebenarnya sih malas, tapi mengingat dirimu dan ide cemerlangmu, aku jadi pergi saja.” Litly duduk di samping kanan Revander.
“Kamu.... benar-benar melakukannya, Li?” Revander menatap terkejut sahabatnya ini.
“Iyalah, masa enggak. Tapi tambah dua ribu lah buat uang amplop.”
“Ihh... jahat Li!” sahabatnya itu tertawa sembari memulai menikmati makanannya.
“Biar saja, masih gedek aku sama itu bocah.”
Revander juga mulai menikmati makanannya, tetapi percakapan mereka tampak tidak akan berhenti.
Dan berharap tidak akan berhenti.
Setidaknya....
Setidaknya ini tidak akan membosankan seperti yang kamu pikirkan....
Ya...
Syukurlah....
“Tahu tak Er, itu laki si Dwi kerja di Evangrandene juga ternyata.”
Hah?
“Iya kah?”
“Iya Er..... aku juga baru tahu kemarin siang, si kawan buat-buat undangan sekantor buat datang ke sini.” Alis sang gadis sedikit mengernyit bingung. Dia tidak tahu akan hal itu, mungkin karena selama tiga hari belakangan ini juga dia tidak datang ke gedung itu.
“Pantes saja si gatal itu langsung cepat-cepat menerima lamarannya, takut di comot orang lakinya.” Revander tertawa kecil mendengar Litly.
“Ya kan kamu tahu nikah gak bisa modal cinta saja, perlu dana buat beli lipstik dan beras” Gadis itu membalas ucapan Litly dengan jenaka pula.
“Bah.... liat saja muka sepupumu itu, kek orang habis menang lotre besar Er...!” Litly menyuap sesendok besar makanannya. “Seperti minta di cabein itu bocah...”
“Well, sekarang dia sudah jadi ibu-ibu...~”
“Gak yakin aku dengan sikap begitu, bisa jadi ibu baik.” Lanjut Litly, membuat sang sahabat memukul pelan perempuan berpakaian merah jambu itu.
“Huusshhhh... Li sering ngatain orang nanti karmanya balik.”
“Bahh....” Litly mendengus kesal. “Paling dia jadi salah satu ibu-ibu yang pergi ke pasar naik motor dengan sen kiri belok kanan, yakin aku mah.”
“Wah.... aku mah gak ikut-ikut yang begitu, nanti jadi aku pula orang yang begituan di kedepannya.” Keduanya tertawa lagi. “Memangnya, laki si Dwi kerja di Evangrandene bagian apa? Kamu kenal?”
“Kenal sih enggak, tapi aku dengar-dengar lakinya senior di divisa finansial.”
Senior kah?
“gaji dua digit donk?”
“Makanya aku bilang, pantas si gatal itu cepat-cepat merima lamaran lakinya.” Tanpa sadar mereka berdua telah menyelesaikan makanan mereka, dengan tenggelam pada percakapan aneh ini. “Takut di comot orang, atau..... mungkin dia yang sudah comot punya orang?!”
“Dih .... Li kurang-kurangi pemikiran negatif mu itu, dosa....”
“Biar ajalah Er.... Toh, aku Cuma ngomong seperti ini samamu saja.”
Ya....
Tidak ada yang salah dengan Litly selalu berbicara sembarangan, jika itu bersama dia.
“Eh..... Litly...” dia bisa merasakan kedatangan keluarganya pada meja mereka. Sang Ayah, Ibu serta Abang dan Kakak Iparnya kini mengambil posisi duduk mereka di masing-masing kursi di meja bundar ini.
“Om, Tante....” Litly langsung bangkit dari duduknya dan memberikan salam kepada kedua orang tuanya sebelum kembali duduk, sedangkan dirinya hanya melihat dalam diam, merasakan suasana yang tadinya hangat di antara mereka berdua, berubah menjadi sedikit tegang.
“Tante kira, kamu tidak datang Li, soalnya waktu itu Dwi bilang kamu benar-benar tidak bisa di hubungi sama sekali. Jadi dia menitip undangannya ke tante, dan tante kasih ke Reva.” Wanita paru baya itu memulai sebuah obralan kecil untuk Litly. “Untung Reva masih berhubungan denganmu.”
“Iya tante, Litly sudah pindah ke kosan baru agar lebih dekat ke tempat kerja.” Sahabatnya itu sekedarnya.
Tapi entah kenapa melihat arah pembicaraan ini, firasat dirinya menjadi tidak enak.
“Memang sekarang kerja apa kamu Li?”
Yup....
Ini akan berakhir dengan tidak menyenangkan.
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan segera terucapkan.
Dia bisa merasakan Litly menatap ke arahnya sekilas, dan Revander masih tetap diam dengan meminum air putih pada gelas plastik yang dia bawa tadi.
“ya.... begitulah tante, puji Tuhan sudah dapat kerja yang lumayan sekarang, di salah satu perusahaan swasta. Evangrandene Company, tante.” Balas Litly perlahan.
“Evangrandene? Perusahaan Bumi dan Teknologi itu?” kali ini sang Ayah yang berada di seberang sana berbicara.
“Iya Om.”
“Sama seperti suaminya Dwi ya, katanya juga kerja di sana menjadi senior di salah satu divisanya.” Lanjut sang Ibundanya, sedikit terpotong akibat suara seseorang bergema cukup besar dari sepiker yang ada.
Seorang pembawa acara tampak berdiri di bawah panggung utama, memulai mengerakahkan acara ke kegiatan selanjutnya, musik-musik daerah ataupun random mulai berputar, beberapa orang tampak asih mengikuti irama yang berputar keras memenuhi ruangan itu.
“Er.... gak ada niat bernyanyi ke sanakah?” kini Litly kembali menggoda sahabatnya yang masih tampak diam, menatap lurus ke kerumunan di sana.
“Malas ah!!! malu juga!”
“Kenapa....~ kamukan bisa nyanyi sama punya suara yang bagus.”
“Li....~” Revander mengerah pelan mendengar godaan sahabatnya itu.
“Dih, sapa tahu kamu dapat saweran dari bapak-bapak itu.”
“Seperti biduan sajalah kamu anggap aku ini!” pekik kecil sang gadis berambut hitam dan di balas tawaan kecil sahabatnya.
Lama waktu mereka habiskan dengan kebanyakan gadis itu yang diam dan hanya mendengar, pada akhirnya Litly menawarkan diri untuk mengambilkan camilan kecil yang sudah tersedia di pesta itu.
Tentu saja Revander hanya mengangguk pelan, dan kembali menatap orang-orang di sana masih asyik dengan kegiatannya bernyanyi dan menari bersama.
.
Pukul sudah hampir menunjukkan dua belas kurang lima belas.
Pesta ini pun terlihat semakin ramai, dengan wajah-wajah yang sekilas dia kenal ataupun tidak kenal sama sekali.
Litly juga sudah bergerak mencari-cari kenalannya yang mungkin juga telah datang ke tempat ini, hanya ingin sekedar menyapa dan mengobrol singkat kepada mereka, jadi dia tidak akan menahan perempuan itu lebih lama lagi.
Sedangkan orang tua dan keluarganya?
Tentu saja Ayah dan Ibunya kini berada di tempat saudara-saudara lain mereka berada, sang Abang yang tengah asyik di depan sana bersama seorang yang tidak dia kenal, bahkan kakak iparnya juga sudah pergi entah kemana, dengan meminta dirinya untuk tetap memerhatikan ketiga keponakannya itu, karena hanya dirinya yang tampak tidak memiliki apapun yang akan dia lakukan.
Bukan tidak memiliki apapun yang ingin dia lakukan, tetapi tidak ada siappun lagi yang terlihat ingin melakukan apapun bersama dirinya di sini.
Jadi....
Seperti biasa gadis itu hanya diam, tidak mengiyakan ataupun menolak.
Lagi pula....
Duduk sendiri, menikmati makanan manis dan segelas es buah dan melihat-lihat sosial media dari ponselnya seperti ini, tidak terlalu buruk untuk ukuran dirinya.
Tidak tersenyum terus yang membuat otot pipinya menjadi pegal.
Tidak perlu terus berbasa-basi agar percakapan tetap berjalan.
Dan juga....
Dia dapat merasakan hari ini juga memiliki cuaca yang sangat panas menyengat.
Apakah sudah masuk musim panas untuk wilayah ini?
Saat dirinya tenggelam dalam pemikiran, dan dunianya sendiri di tengah keramaian pesta ini, perlahan suasana di sana berubah.
Dengan bisikan-bisikan halus menjadi kuat terdengar di antara para tamu undangan pada pesta itu. Disusul dengan kegaduhan kecil yang dapat dia rasakan dari panggung pengantin di depan sana.
Tetapi Revander tidak tertarik untuk mengalihkan pandangannya dari ponsel lusuh miliknya yang sedang menampilkan beberapa video pendek kucil lucu dan bertingkah bodoh mereka.
Untuk apa dia terlalu peduli dengan apa yang sedang terjadi pada pesta itu?
Dia hanya menunggu keluarganya selesai dengan apa yang mereka lakukan sekarang ini, dan kembali pulang.
“I want to thank you for your time, Mr. Evangrandene....”
Hah?!
Evangrandene?
Flauza Evangrandene?
Flauza ada di sini.....?!
Gadis berambut hitam itu dengan cepat menoleh ke kiri dan ke kanan mencoba mencari sesosok yang di maksud dari suara itu.
“For having had the opportunity to come to my wedding day, in the midst of what may have been a very busy and precious your time.”
Ah....
Dia melihatnya....
Sesosok pria tinggi menggunakan batik hitam emas yang membalut tubuh kekar pria itu, rambut cokelat yang di sisir rapi ke belakang tengah duduk di salah satu meja bundar lainya yang cukup jauh dari posisinya di depan sana.
Dengan salah satu kaki menyilang membuatnya benar-benar seperti seorang yang berkuasa bahkan bukan dia lah orang yang menjadi bintang utama pada acara ini.
Apa......
Apakah Flauza juga di undang ke pesta ini?
Mungkin saja.
Dan sejak kapan pula pria itu telah datang, dan duduk di sana?
“Once again I thank Mr. Evangrnadene for your time and come at this my special day.” Tepuk tangan terdengar bergemuruh memenuhi ruangan ini.
Revander kembali mengalihkan pandangannya dari sosok pria itu, dan menyandarkan posisi duduknya, melihat Ayah, Ibu dan keluarganya yang lain kembali berkumpul di meja mereka saat ini.
“Dek, ambilkan Es buah dua sama camilan itu dulu.” Tiba-tiba saja sang abang menyuruh dirinya yang masih diam di sana.
“Ambilkan buat Ibu dan Ayah juga, Reva. Sudah lumayan haus juga ini.” Revander hanya bisa mengangguk pelan lalu melakukan perintah mereka dalam diam.
Ketika dia sampai pada beberapa etalase kecil yang berjajar rapi di sisi pinggir pesta ini, dia mulai mengambil satu demi satu pesanan mereka, meletakkan empat gelas plastik berisi es buah, dua piring kecil buah-buahan, dan dua piring kecil berbagai macam kue basah yang terlihat enak di atas mapan yang besar itu.
Dalam ke asyikkan dirinya yang masih berjalan melihat-lihat camilan yang berjejer di sana, sebuah tepukan pundak yang begitu lembut, berhasil membuat dirinya tersadar.
“Nona Revander Syaharil.”
Ahh.....
Iris hitam itu membulat saat melihat seorang yang menepuk bahunya itu adalah Tobito, dengan pakaian hitam formalnya yang khas membungkuk hormat kepada dirinya sebagai sambutan kecil untuknya.
“T-Tuan Tobito...!”
“Selama siang Nona Revander, maafkan saya telah membuat diri Anda sedikit terkejut.” Balas pria pirang itu dengan senyuman dan bahasa Indonesia dirinya yang formal itu.
“I-Iya.... tidak apa-apa...” gadis itu memperbaiki dirinya dengan mengatur nafasnya yang sedikit memburu. “Ada apa Tuan Tobito?”
Tobito kembali tersenyum, sekilas melihat mapan yang dia pegang lalu kembali menatap lurus kepada dirinya. “Tuan Evangrandene, sedang mencarimu dan memintamu untuk segera menemuinya.”
Ehh.....?
Tapi....
Inikan sedang dalam pesta pernikahan seseorang?
“K....kenapa?”
“Tuan mengatakan dia hanya ingin bertemu dengan Anda, dan berharap segera bertemu dengan Anda.”
Uhhh....
Bagaimana ini?
“Itu..... aku.... aku sedang di beri tugas untuk mengambil minuman dan camilan dari keluargaku, apakah...—“ dengan perlahan Tobito mengambil mapan yang ada di tangan sang gadis itu dengan cekatan dan wajah yang tetap tersenyum ramah kepadanya.
Uhh....
Sepertinya tidak ada pilihan lain ya....?
“Biarkan saya saja yang membawa benda berat ini Nona, Anda tidak perlu mengeluarkan tenaga yang berlebih untuk hal-hal seperti ini.”
Yup.....
Sepertinya dia tidak ada pilihan yang lain untuk dirinya, selain mengikuti apapun yang orang-orang lain pinta dari dirinya.
.
.
.
Haaa......
Memangnya siapa dirinya bisa menolak pinta dari orang-orang ini?
Memangnya siapa pula yang akan susah payah mendengar dirinya dari orang-orang ini?
Sudah di katakan beruang kali, mereka tidak akan mau kamu menolak mereka, dan tidak akan pernah mau di tolak oleh mereka.
Maka yang kamu bisa lakukan diam dan menatap lurus dan berharap semua cepat berlalu saja untuk hari ini, hari esok, haru lusa, dan seterusnya.
.
.
.
absen dulu aku