NovelToon NovelToon
Kacang Ijo

Kacang Ijo

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Trauma masa lalu
Popularitas:279.7k
Nilai: 4.8
Nama Author: Chika cha

Cover by me

Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.

Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.

Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.

Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.


Lanjut baca langsung ya disini ya👇

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sean vs Om Pangeran

Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Abri sudah tampak rapi dengan rambut cepaknya dan setelan kasual berwarna gelap. Padahal, ini hari libur—waktu yang biasanya ia manfaatkan untuk istirahat atau jogging keliling kompleks, entah di rumah orang tuanya atau di kesatuan.

Namun pagi ini berbeda. Sejak subuh, ponselnya tak henti berdering. Dan tentu saja, pelakunya adalah Nada. Wanita tiga anak itu sudah sibuk sejak langit belum terang, mengingatkan Abri untuk fitting baju pernikahan. Merepotkan sekali. Tapi, apa daya? Kalau dia tidak nurut, bisa-bisa mamanya ngamuk dan membalik kesatuan ini.

Tau kan kalau wanita sudah marah, jangankan manusia, dunia dan seisinya juga akan gemetaran karena mereka.

Apa lagi Moza akan ikut, Abri sebenarnya menyarankan untuk diam di rumah saja dan orang butik yang datang ke kediaman gadis itu, tapi Hamzah memberitahu bahwa Moza keukeuh ingin ikut dengan alasan di butik nanti lebih banyak pilihan juga lebih puas. Ketimbang harus di rumah.

Dan mau tak mau Abri menurut juga kalau tidak bisa di dor dia sama bapaknya Moza.

"Masih pagi udah ganteng kali kau bang, mau kemana?" Tanya Ibam pria itu baru saja selesai mandi terbukti dengan perlengkapan mandi yang ia bawa dan wajahnya yang nampak jauh lebih segar. Ibam membuka lemari miliknya meletakkan peralatan mandi itu ke dalam sana juga menjemur handuk di atas lemari.

"Fitting baju," jawab Abri, ia memakai jam tangan di pergelangan tangan kirinya untuk menyempurnakan penampilannya.

Beberapa anggota yang masih bersantai di ranjang langsung menegakkan tubuh. Denis bahkan buru-buru membuang rokoknya yang masih setengah ke luar jendela.

"Abang serius mau menikah sama anak jenderal Hamzah?" Tiba tiba saja Gilang ikut bertanya, ia bahkan sampai berhenti memainkan gamenya dan meletakkan ponselnya di atas ranjang.

"Hm" jawab Abri seadanya saja. Dia malas juga harus bolak balik menjawab pertanyaan anggotanya yang itu itu saja. Mau mereka bilang tak merestui pun kalau jenderal Hamzah tetap keukeuh tidak akan ada yang berubah kan?

"Kita bukan gak suka atau gak restui Abang sama anak jenderal Hamzah, cuma kan kita takut dia Abang jadikan pelampiasan mengingat sampai sekarang Abang juga belum lupa sama mantan Abang itu." Kata Gilang lagi menjelaskan penyebab mereka menentang hubungan Abri kali ini.

Abri terdiam sejenak. Ia tak jadi mengenakan sepatunya. Napasnya ditarik dalam, lalu matanya menatap satu per satu wajah mereka.

"Apa tampang saya sejahat itu sampai tega menjadikan seseorang pelampiasan?" ucapnya tenang, namun dingin. "Saya nggak sebodoh itu. Kalian tahu sendiri siapa bapaknya dia. Mana mungkin saya cari mati?"

Walaupun ia juga tak yakin dengan apa yang ia katakan barusan, tapi ia akan berusaha untuk belajar melupakan masa lalunya.

Semuanya diam. Abri lantas bangkit menenteng sepatunya untuk di pakai di luar saja.

"Kalau kalian gak nyaman sama saya karena masalah ini. Tenang, saya akan segera pergi, tiga hari lagi saya pindah ke rumah dinas," Beritahu Abri sebelum benar-benar kaluar.

Bukan karena ia menyerah atau marah. Ia hanya lelah. Sikap dingin rekan-rekannya akhir-akhir ini seperti menoreh luka yang tak kasat mata. Abri bukan tak bisa bersikap tegas—kalau ini soal pekerjaan, sudah lama dia tindak. Tapi ia mencoba bersikap adil, tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan profesionalitas.

Sejak dulu, ia memang sering ditawari rumah dinas. Tapi ia menolaknya, karena sudah punya rumah sendiri dan berharap bisa tinggal di sana bersama istrinya kelak. Namun, kini harapan itu pupus. Hamzah menginginkan agar Abri dan Moza tinggal di rumah dinas yang keamanannya lebih terjamin. Demi Moza, dan hanya demi Moza, Abri mengalah. Hamzah bahkan turun tangan langsung agar hak rumah dinas yang dulu sempat ditolak Abri kini bisa ia terima kembali.

Abri mengendarai mobil Rubicon hitamnya keluar dari asrama. Tujuannya, rumah Moza. Ia akan menjemput gadis itu, sementara mamanya dan Yura—adik iparnya—menyusul nanti.

Meski hari Minggu, para prajurit tetap bangun pagi. Ada yang berolahraga di lapangan, ada yang nongkrong sambil ngopi dan merokok di depan asrama, ada juga yang mencuci motor, menjemur pakaian, atau sekadar bersih-bersih. Suasana khas akhir pekan di kesatuan—sibuk, tapi santai.

Abri sesekali membunyikan klakson mobilnya ketika melewati beberapa senior maupun junior yang berpapasan dengannya.

Dico hari ini juga kebagian jadwal berjaga di pos depan.

"Oho, ganteng kali ale bang." Kata Dico dengan semangat saat mobil Abri memelan menunggu di bukakan palang pintu.

Berbeda dari yang lain, Dico sudah legowo soal rencana pernikahan Abri dan Moza. Toh, sekalipun Abri tak menikahi Moza, Jenderal Hamzah juga tak akan pernah melirik dia jadi calon mantu. Sudah paling benar gadis itu dijodohkan dengan Abri. Komandan yang baik, hanya kurang beruntung saja dalam urusan cinta. Tapi Dico berharap kali ini komandannya itu dapat kan kebahagiannya.

"Setiap hari saya ganteng, Co," jawab Abri percaya diri, tersenyum, menampilkan dua lesung pipi khasnya.

"aih! Iya lah yang ganteng itu. Mau pulang?" Tanya Dico karena yang ia tau setiap libur akhir pekan dan tidak ada kegiatan di kesatuan begini pasti kaptennya itu akan pulang.

Abri menggeleng "Mau kerumah jenderal Hamzah."

"Uhuuu... Mau ketemu calon istri kah?" Goda Dico dengan tawanya.

Abri tersenyum, tak ingin menjawab "Saya duluan co." Pamit Abri membunyikan klaksonnya sekali lalu pergi dari sana.

"Siap" Dico memberi hormat sebelum Abri pergi menjalankan mobilnya kembali.

_______________

Pagi yang cerah di awali Moza dengan mengurus tanamannya di taman belakang rumah kediaman kedua orangtuanya setelah tadi sempat sarapan lebih dulu. Di temani sang kakak ipar, ia mulai memotong daun yang sudah layu, mebersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman juga memberikan pupuk untuk bunga bunganya agar mendapatkan nutrisi yang cukup dan berbunga dengan lebat. Senyuman manis di wajah cantik gadis itu sejak tadi tak pernah luntur, kadang ia melemparkan berbagi pertanyaan pada Vira, kadang ia juga turut bersenandung riang seakan akan tak terjadi apapun pada dirinya dalam beberapa bulan lalu.

Di balik dinding berlapis kaca transparan Hamzah menatap putri bungsuya yang sedang berkegiatan disana. Sudah beberapa hari ini Hamzah perhatikan bibir putrinya terus melengkung indah seperti itu setelah sebelumnya sempat menghilang akibat kejadian penyandraan dua bulan lalu.

Bahkan sampai sekarang Moza tidak pernah keluar rumah, jangankan keluar rumah, pergi ke studio pun tidak. Gadis itu masih Taruma berada di lingkungan luar, tempat umum juga keramaian.

Hari pengajuan pernikahan tempo hari adalah kali pertamanya keluar rumah setelah sekian lama mengurung diri. Dan hari ini, untuk kedua kalinya, Moza akan kembali keluar—untuk fitting baju pernikahan bersama Abri dan calon mertuanya.

"Mukanya udah gak murung lagi Pi, udah gak pernah nampak sedih dan ketakutan kalau di dekati orang" Hamzah menoleh mendapati istrinya yang berdiri di sampingnya lalu menyadarkan kepalanya di lengan sang suami menatap putri kecil mereka yang sebentar lagi akan menikah. Tanpa sadar air mata Clara mengalir ia mentap haru perubahan sang putri cantiknya itu.

Hamzah merangkul pundak istrinya menyandarkan kepalanya juga pada kepala sang istri. "Oza harus kembali seperti dulu mi, papi kangen dia yang ceria seperti dulu. Dan ini awal yang baik."

Clara mengangguk setuju, masih tetap menyandarkan kepalanya pada pundak sang suami "perjodohan ini membawa perubahan untuk Oza" sebagai seorang ibu, Clara sadar betul apa yang membuat anaknya perlahan lahan bangkit dari zona trauma. Entah itu karena perjodohan, atau karena orang yang di jodohkan. Yang jelas sejak pertemuan keluarga di lakukan Clara perhatikan Moza sudah mulai berubah kembali, perlahan wajah murungnya itu kembali bersinar.

"Astagfilullah! Cobaan macam apa ini ya Allah!"

Baik Hamzah maupun Clara langsung berbalik, menundukkan kepala mereka karena ternyata yang berteriak itu adalah Sean, si bocah sok dewasa. Ia mendongak menatap Kakek dan juga neneknya yang tengah berpelukan.

"Omi, Opi ya ampun..." Lagi bibir kecilnya itu berceloteh, ia bahkan menepuk jidatnya. "Jangan mesla meslaan di lumah, Ndak baik di liat sama anak kecil menggemaskan ini!" Katanya memegang dada seolah olah apa yang ia lihat itu menyakiti perasaannya.

Hamzah dan Clara yang sudah mengerti akan tingkah cucu mereka pun hanya tertawa. Clara menarik kepalanya dari lengan sang suami lalu berjongkok menyamakan tingginya dengan sang cucu.

"Oh, no!" Belum sempat Clara membelai wajah Sean, bocah itu sudah berteriak lagi saat penglihatannya mendapati sosok cantik di luar sana tengah berjongkok mencabuti rumput yang ada di sekitar tanaman bunga, bukan Vira tapi Moza. Kedua tangan bocah lelaki itu di letakkan di kedua pipinya, mulutnya membentuk huruf o dengan mata melotot ingin keluar. "Apa yang di laukin my bebeb Sean disana Opi? Ndak, Ndak itu Ndak boleh di bialin. Olang cantik Ndak boleh main kotol! Bunda....!!" Kini ia sudah berjalan cepat keluar, tepatnya menuju pada Moza yang saat ini asyik dengan tanaman tanamannya, ia bahkan berulang kali berteriak memanggil Moza dengan sebutan, bunda dengan bibir mungilnya itu.

Hamzah dan Clara hanya memperhatikan tingkah cucu mereka yang di luar jangkauan. Lihatlah bocah itu sudah mengangkat kedua tangan Moza dan membersihkan tanah yang menempel pada kedua tangan tantenya.

"Olang cantik Ndak boleh main kotol, nanti jadi jelek kayak istlinya shlek!"

Moza tersenyum melihat apa yang di lakukan keponakannya "tapi kan istri shrek juga awalnya cantik."

Sean mengangkat pandangannya menatap wajah Moza dengan bibir cemberut dan alis menukik seakan akan ia tak suka dengan apa yang ia dengar barusan "tapi Sean Ndak mau my bebeb Sean yang cantik ini belubah jelek. Bunda itu kayak cindelella. Jadi Ndak boleh belubah jelek!" Tekannya di akhir membuat Moza terkekeh.

"Sean tangan mama juga kotor loh ini," beritahu Vira, ia menunjukan tangannya pada sang putra yang juga tak kalah kotor dari tangan Moza.

"Mama ada papa yang bisa belsihin," jawab Sean tak melirik sang mama sedikitpun.

"Tapi papa masih olahraga Sean~"

"Ya udah, tunggu papa siap mama~" ia mengikuti cara sang mama berbicara.

Mata Vira melotot, "heh, kamu itu anaknya siapa sih, bunda atau mama?" Gemas, Vira bahkan sampai mencubit pipi gembul Sean tidak kuat sih, bocah itu saja sampai tak mengadu kesakitan.

Kepala Sean malah mendongak " kotol mama." Keluhnya karena pipinya terkena tanah. Vira sok memasang wajah kesalnya, padahal ia tak kesal sama sekali "Sean anak mama dong, Ndak mungkin anak bunda. Ndak ada bapaknya juga."

Moza tertawa mendengar celotehan Sean yang memang benar adanya. Sementara Vira sudah geleng-geleng kepala sambil tersenyum mendengar ucapan putranya.

"Sean bersihin tangan mama dulu, mama cemburu itu, nanti kamu di pecat jadi anaknya mau?" Kata Moza memprovokasi agar Sean mau gantian membersihkan tangan Vira.

Gantian mata Sean yang melotot, "mana boleh anak semenggemaskan ini di pecat jadi anak!" Katanya tak terima.

"Siapa bilang gak boleh?" Tantang Vira.

"Sean, kan Sean yang ngomong balusan."

Vira menggeleng "selesai papa olahraga, mama mau beli Abe di Indomart."

Perdebatan itu terus berlanjut dan hanya di perhatikan dengan full senyum oleh Hamzah dan juga Clara. Mereka senang sekali jika melihat situasi seperti ini yang sudah lama tak mereka lihat. Andai Jasmine ada di sana juga pasti makin ramai rumah mereka.

"Bu, pak, ada mas Abri di depan" suara art menginterupsi di tengah keduanya yang asyik memperhatikan anak, menatu dan cucu mereka berdebat di luar sana.

"Eh, udah sampai? Memangnya ini udah jam berapa?" Tanya Clara mengangkat pergelangan tangan suaminya untuk melihat jam tangan yang melingkar di sana "Masih pagi loh," Clara menatap suaminya yang juga memasang wajah bingung.

"Memang kemarin pergi janjiannya jam berapa?" Hamzah balik bertanya pada sang istri.

"Kata mbak Nada sih jam sepuluh."

"Terus Abri kecepatan gitu?" Tanya Hamzah lagi tak yakin, ia tau seorang prajurit itu akan selalu tepat waktu, bukan kecepatan seperti ini.

"Temui dulu Pi. Mami mau panggil Moza dulu. Suruh dia bersih bersih." Hamzah mengangguk.

Akhirnya kedua pasturi itu berjalan berlawanan arah.

"Dek, cuci tangan nak Abri ada di depan."

Baik Moza maupun Sean keduanya membulatkan mata mereka. Moza buru-buru berlari masuk kedalam rumah dan mencuci tangannya di wastafel dapur. Ia hampir saja melupakan janji hari ini dan asyik dengan tanaman.

"Om pangelan itu datang Omi?!" Wajah Sean sudah tak bersahabat.

"Om pengeran? Siapa?" Tanya Clara yang memang tak paham.

"Itu om pangelan," tunjuk Sean ke sembarang arah "om pangelan! Ngapain dia kesini?! Jangan bilang om itu mau melancalkan aksinya ya. Mau culik my bebeb Sean! Gak akan Sean bolehin!" Ocehnya lalu setelah itu berlari masuk, walaupun sedikit meringis karena dadanya masih agak ngilu kalau ia beraktivitas berlebihan tetap saja ia tak perduli. Tujuannya adalah untuk mengusir Abri.

Pria itu nampak tengah mengobrol bersama sang kakek di ruang tamu dan Sean langsung mengambil tempat duduk di samping Hamzah dengan tangan bersedakap dada dan mata menatap tajam Abri. Tapi bukannya menakutkan malah itu begitu menggemaskan di mata pria itu.

"Salim dulu dong omnya masak malah di pelotoin gitu, dosa loh. Mau Opi laporin ke malaikat Sean gak sopan sama orang yang lebih tua?" Ucap Hamzah setelah memperhatikan sikap cucunya pada Abri. Ia tak suka ada anak kecil berkelakukan kurang ajar pada orang yang jauh lebih tua.

"Jangan dong pi," bocah itu langsung melompat menghampiri Abri yang tengah tersenyum padanya.

"Senyum Sean..." Peringat Hamzah lagi pada cucunya karena wajah bocah itu masih jutek dengan alis menukik tajam. Sean tersenyum dengan paksa.

"Opi telpon nih malaikat untuk catat dosa Sean hari ini," ancam sang kakek lagi pada cucunya karena melihat senyum tak tulus dari bibir Sean.

"Iih, Sean kan udah senyum Opi! Nih senyum nih..." Dan kali ini senyuman manis yang benar-benar tulus itu mengembang di bibir Sean. Dia takut kakeknya benar-benar menelpon malaikat.

Abri yang hanya memperhatikan dan menyimak interaksi kakek dan cucunya itu pun tersenyum. Bocah Sok gede itu ternyata sangat menggemaskan jika sudah bertingkah seperti ini.

"Salim om," katanya Sean mengambil tangan Abri untuk ia cium.

"Permisi pak. Izin, ada telpon penting," tiba-tiba saja Marwan datang membuat Hamzah bangkit beranjak dari sana meninggalkan Abri dan juga cucunya. "Saya tinggal dulu ya bri."

"Siap jenderal."

"Tangan om, wangi-wangi Olang kaya," Kata Sean setelah mencium tangan Abri dan melihat kakeknya yang beranjak dari sana.

Mendengar ucapan Sean Abri malah bingung sendiri. "Wangi orang kaya?" Tanyanya tak mengerti.

"Iya, wangi parlfum mahal kayak papa Sean," Katanya dengan tersenyum dia ingat parfum yang sering papanya pakai itu harumnya sama persis dengan wangi yang Abri pakai. Kalau kata Julian parfum itu bau-bau duit Karena harganya mehong.

Eh, tunggu Sean melupakan satu hal. Bocah itu menoleh ke arah sang kakek yang kini telah menghilang bersama ajudannya. Berarti aman tak ada yang melaporkan dosanya kali ini pada malaikat "Om ngapain kesini?!" Tanyanya. Wajahnya kembali galak, bocah itu meluruskan niat awalnya.

Abri terkekeh melihat raut wajah Sean yang balik berubah secepat kilat "Iih, gak sopan sama orang tua, om telpon malaikat ni," Ancam Abri, ia meniru apa yang Hamzah lakukan sebelumnya untuk membuat bocah itu menurut.

"Om pangelan gak punya nomor malaikat!"

"Eh, siapa bilang?" Tantang Abri.

"Olang bohong nanti ompong, loh, om," Dengan mata menyipit ia mewanti Abri.

"Iya, makannya kamu ompong karena tukang bohong kan?" Tambah Abri melihat gigi depan bagian atas milik Sean sudah habis.

Bocah itu terkekeh lucu "iya, ini di ambil malaikat kalena Sean seling bohong," Dia sudah lupa kembali "eh, om ngapain kesini?! Jangan coba coba buat Sean lupa ya!" Kali ini bocah itu sudah berkacak pinggang dengan mata melotot seolah olah ia sedang murka.

Sementara Abri di tempatnya sudah ngakak melihat tingkah lucu Sean. Abri yang memang suka menganggu pun mendekatkan wajahnya pada telinga Sean "Mau jemput my bebebmu, mau om bawa pulang!" Bisiknya setelah itu sebelah sudut bibir Abri naik keatas layaknya orang licik memenangkan perdebatan ketika melihat Sean terdiam sesaat.

Dan selanjutnya tangis Sean pecah seketika. "Mama...!!!" Senyum licik Abri luntur, berganti panik takut jika Sean akan mengadu kembali seperti malam pertemuan keluarga waktu itu.

"Ssst... Diem bocah! Nangisnya jangan kuat-kuat, mampus aku!" kata Abri berusaha menenangkan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri takut ada yang memergokinya.

Dan walah, ternyata memang ada orang yang memergokinya dari awal, dia adalah Moza. Lihatlah gadis yang akan jadi istrinya itu sudah tertawa di tempatnya dengan nampan di tangan. Abri sejenak terpaku pada kecantikan Moza yang bertambah berkali lipat saat tengah tertawa seperti itu.

Sean yang tau kemana arah pandangan Abri langsung menutup mata pria itu dengan tangan mungilnya "jangan liat liat my bebeb Sean, dasal om pangelan jelalatan! Maaf ya bunda Oza Ndak melayani om om mata jelalatan!"

Tawa Moza makin meledak karena tingkah keduanya. Semetara di tempatnya berdiri Hamzah malah berlinang air mata, ia sampai menangis bahagia melihat putrinya perlahan mulai kembali.

"Pak, ayo," Marwan datang lagi mengajak Hamzah pergi karena ada keadaan mendesak.

"Sean pantang..." Peringat Moza lembut, meletakkan teh dan juga cemilan di atas meja.

"Mata om pangelan jelalatan Sean Ndak suka!" Masih enggan menurunkan kedua telapak tangannya dari kedua mata Abri. Sementara Abri hanya diam pasrah, dengan bibir tersenyum kecil membayangkan wajah Sean yang kesal setengah mati padanya.

"Sean..." Bujuk Moza dan Sean masih keukeuh dengan menggelengkan kepalanya keras.

"Bunda marah nih" ancam Moza.

"Yang di malahin itu omnya bunda, bukan Sean. Om pangelan yang matanya jelalatan tau!" Sean ngotot tak mau di salahkan.

"Tapi Sean udah gak sopan." Moza menurunkan kedua Tangan mungil keponakannya dengan lembut dari wajah Abri membuat mata Abri yang tadinya memejam perlahan terbuka. Pandangan keduanya bertemu, keduanya sama-sama terpaku dari jarak yang cukup dekat dengan Moza yang sedikit membungkuk.

"Bunda!!!" Sean menarik tubuh moza sekuat tenaga, kesal melihat Moza malah tatap tatapan seperti sinteron yang ada di TV dan sering ominya tonton. Belum lagi dalam bayangan Sean bunga bunga bermekaran di sekeliling keduanya, tingkat kesalnya pun jadi naik satu level.

Tapi karena tubuh Moza yang tak siap dengan apa yang Sean lakukan, ia pun oleng dan akan jatuh ke atas lantai. Beruntung Abri dengan sigap menangkap tangan Moza yang belum sempat terjatuh itu lalu menariknya, kalau tidak sudah pasti Moza akan mendapatkan malu sampai tak ingin muncul di depan Abri lagi. Tapi kejadian selanjutnya membuat baik Moza maupun Abri sama-sama melotot kaget karena apa? Karena sebagai ganti Moza yang tak jadi jatuh di atas lantai malah jatuh di atas pangkuan Abri.

Mata mereka yang semula melotot karena kaget, tiba-tiba kembali sayu saling beradu. Moza mengakui untuk ukuran seorang tentara Abri ini terlalu tampan, bahkan mungkin Abri adalah termasuk jajaran tentara ganteng se-Indonesia mayor Teddy dan AHY pun masih kalah telak ini. Suara tangis Sean pun tak menganggu keduanya.

Deg! Deg!

Tak ingin kalah dengan mata yang saling beradu, jantung mereka juga sama memompa begitu cepat, seakan saling berlomba siapa yang paling kuat.

Cekrek!

Diam-diam Clara memotret keduanya lalu mengirim foto tersebut pada calon besannya agar sama-sama merasakan apa yang ia rasakan.

"Mi... Mereka–" kalimat Vira terpotong kala Clara berdesis menyuruh Vira untuk diam.

"Bawa Sean naik," Perintah Clara dengan full senyum, ia tak ingin kedua anak itu di ganggu bahkan oleh semut sekalipun.

Vira patuh. Sean yang protes pun digiring naik.

Sementara dua manusia itu masih dalam dunia mereka.

"Ekhm!" deham Abri setelah kesadarannya kembali. Abri melepaskan cekalannya pada pinggang Moza yang entah sejak kapan tangan sialannya sudah nagkring disana. Moza kontan melompat turun dari atas pangkuan Abri. Secepat itu keadaan berubah canggung.

"Sa-saya, eh, aku. Aku siap-siap dulu," Tanpa menatap wajah Abri, Moza sudah berlari menaiki tangga menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

"Jantung aku..." Gumam Moza memegangi dadanya yang tak ingin berhenti bedegup kecang. Rasanya Moza tak ingin keluar rumah dengan Abri kali ini, sungguh. Ini lebih malu dari jatuh di atas lantai.

...ART ABRI DAN MOZA👆...

1
Anonymous
Up lagi thor
Nia nurhayati
mbk chika kapan uv lagiii
Risha Bie
dtunggu cerita selanjutnya thor..semangat../Good/
Anonymous
Up lagi thor
Aliya Awina
kasihan juga rania padahal cuman mau bebasin anaknya malah dia yg di penjara
Elizabeth Zulfa
hrusnya Moza msih ngambek tadi tpi ini mlah lngsng udah luluh aja
Elizabeth Zulfa
gak mungkin kn jendral panglima Hamzah gak tau sedikitpun hal zh trjadi dengan Moza... meski ia merasa Moza aman di lingkungan batalyon tpi pling enggk kn dia tetap ngasih mata2/ pengawal bayangan untuk ngawasin putri tersayangnya...
Elizabeth Zulfa
knpa sih negatif thinking melulu.. heran dech ma nich abang2an 😠😠😠
dewi_nie
saknoe Rania😥..kbr anaknya piye ka'thor??penasaran.
'Nchie
🥰
Elizabeth Zulfa
bijak kali kau dico tpi stlah kau nasehati dia sprti itu dan blm sadar juga.. itu artinya dia goblok tingkat dewa ..kesel juga liat kelakuan ABRI...sok jdi korban pdahl Aia pelaku...sok pling menderita disini tpi nyatanya ada tuh zg lbih menderita lagi krna sikapnya itu 😡😡😡
Elizabeth Zulfa
dengan kelakuan ABRI kek gini... kok aq jadi brharap ada adegan Moza kembali diculik tpi ABRI dan pasukannya justru gagal nyelamatin dia... seru kali keknya klo kek gitu
Elizabeth Zulfa
dpet mertua & clon istri lewat jalur tak terduga juga msih gak brsyukur... mlah meremehkan Moza... bener kta aji.. abri gak pntes buat moza..
kmren2 aq dukung ABRI mski msih galon ma masa lalunya tpi krna kjdian ini kok jdi agak ilfeel aq... trusan meremehkan bnget
Elizabeth Zulfa
bener kta jendral Hamzah.... prajurit elit gak mungkin cuma ada mreka berlima tpi knpa sang mayor malah ngasih tugas ke ABRI zg jelas2 mreka tau klo 2hri lagi dia bakal merid dngn anak jendral besar pula... apa mereka merupakan fakta itu🤨🤨🤨
Peni Sayekti
kasian juga Rania. tp pelajaran bwt dia. coba dia terus terang ke abri,pasti bisa dicari solusinya
💗 AR Althafunisa 💗
Nga nyangka ya, berakhir seperti itu 😮‍💨
Tysa Nuarista
bener juga kata abri. KLO Rania bukan mantannya abri mungkin GK akan keseret dlm masalah ini.
tp juga bukan sepenuhnya salah abri. . .
kn yg jdi incaran jendral Hamzah...
penjahatnya aja yg bikin mereka semua terlibat.
semoga kedepannya mereka ber 3 dpt hidup jauh lebih baik...
Aan Azzam
kereeeeeenn.......
dalam banget Thor 👍🏻👍🏻👍🏻
Arieee
👍👍👍👍👍👍👍👍
Aan_erje
makasih thor..ttap semangat y utk up cerita nya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!