Saat mencoba menerobos ke tingkat kekuatan tertinggi, Xiao Chen—Raja Para Dewa Kultivator—terhisap ke dalam celah dimensi dan terdampar di dunia asing yang hanya mengenal sihir dan pedang.
Di dunia yang nyaris hancur oleh konflik antar ras dan manusia yang menguasai segalanya, kekuatan kultivasi Xiao Chen bagaikan anomali… tak dapat diukur, tak bisa dibendung.
Ia terbangun dalam tubuh muda dan disambut oleh Elvira, elf terakhir yang percaya bahwa ia adalah sang Raja yang telah dinubuatkan.
Tanpa sihir, tanpa aturan, hanya dengan kekuatan kultivasinya, Xiao Chen perlahan membalikkan dunia ini—membangun harapan baru, mencetak murid-murid dari nol, dan menginjak lima keturunan manusia terkuat bagaikan semut.
Tapi saat kekuatan sejati menggetarkan langit dan bumi, satu pertanyaan muncul:
Apakah dunia ini siap menerima seorang Dewa... dari dunia lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GEELANG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 – Langkah Pertama di Negeri Manusia
Langit pagi menyelimuti dataran utara dengan kabut tipis yang melayang pelan. Angin membawa aroma tanah lembap dan udara pegunungan, sementara sinar matahari perlahan menembus sela-sela dedaunan hutan yang meranggas.
Di sebuah jalan batuan tua yang jarang dilalui, seorang pemuda dengan pakaian sederhana melangkah pelan bersama seekor kuda hitam dan seorang gadis cantik berambut perak keungu-unguan yang berjalan dengan riang.
Mereka adalah Xiao Chen dan Serenia, murid keduanya setelah Elvira.
Setelah kejadian di lembah bulan retak, Xiao Chen memutuskan untuk melakukan perjalanan menyusuri dunia manusia, menuju Akademi Aggrale—institusi sihir terbesar di dunia, sekaligus tempat berkumpulnya bangsawan, calon raja, dan anak-anak keluarga pahlawan.
Akademi itu adalah pusat pengetahuan, tapi juga pusat penindasan bagi ras minor. Di situlah semua mata dunia tertuju, dan Xiao Chen tahu, ia harus melangkah ke sana—bukan untuk belajar, tetapi untuk memperkenalkan kekuatan sejati: kultivasi.
Mereka tiba di kota Cirelyn, kota besar terakhir sebelum mencapai wilayah kekuasaan Akademi Aggrale.
Kota ini ramai dan penuh sesak. Pedagang dari berbagai ras berkumpul, menjajakan barang ajaib, bahan sihir, bahkan budak.
Serenia, yang baru pertama kali melihat keramaian manusia, terlihat gelisah.
“Guru… tempat ini aneh. Bau… dan ramai sekali,” gumamnya sambil berusaha menahan napas.
Xiao Chen tertawa kecil. “Itu karena kau terbiasa hidup di hutan. Dunia manusia memang seperti ini—ribut, penuh kepalsuan, dan jebakan.”
Mereka memasuki penginapan sederhana bernama Rubah Perak. Tak terlalu mencolok, tapi cukup strategis di dekat balai kota dan markas petualang.
Setelah memesan kamar, Xiao Chen duduk di balkon penginapan, mengamati langit sore yang mulai memerah. Di kejauhan, tampak benteng putih menjulang, dikelilingi lima menara sihir yang mengambang di langit. Di sanalah tujuan mereka: Akademi Aggrale.
Keesokan Harinya – Pendaftaran Akademi Aggrale
Kota Cirelyn sudah sibuk sejak fajar. Puluhan kereta bangsawan, pelayan, dan calon siswa mulai berkumpul di depan gerbang seleksi awal Akademi.
Serenia mengenakan jubah abu-abu polos. Wajahnya masih terlihat terlalu muda untuk ukuran siswa sihir, tapi sorot matanya tajam. Di sisi lain, Xiao Chen mengenakan jubah hitam sederhana. Ia terlihat seperti remaja biasa berumur 15 tahun, tanpa aura mengintimidasi sama sekali… sampai dia bergerak.
Mereka berdiri di antrean, dikelilingi oleh ratusan anak muda yang membawa jimat pelindung, senjata sihir, dan kertas rekomendasi dari bangsawan.
“Lihat bocah itu. Nggak pakai emblem, nggak ada pendamping. Miskin banget,” bisik salah satu pendaftar.
“Hah? Malah bawa gadis kampung. Mungkin budaknya,” balas yang lain tertawa.
Serenia mencibir, tapi Xiao Chen hanya tersenyum dingin. “Lidah manusia memang tajam sebelum mereka ditampar oleh kenyataan.”
Tes Pertama: Batu Sihir
Di alun-alun luar akademi, berdiri sebuah batu hitam raksasa yang mengambang. Di depannya, para guru berdiri mengawasi.
“Masukkan tanganmu ke batu ini. Kalau kau punya afinitas sihir, warna akan muncul. Kalau tidak… pulang,” ujar salah satu instruktur tua dengan sikap angkuh.
Ratusan peserta satu per satu maju.
Beberapa menghasilkan cahaya biru (air), merah (api), emas (petir), dan sangat sedikit yang menyalakan warna putih (cahaya) atau ungu (ruang).
Giliran Serenia tiba.
Ia menarik napas dan menyentuh batu.
WUSHHH!
Batu itu langsung menyala dengan cahaya emas cerah, lalu merah, biru, ungu, perak, bahkan sedikit hitam. Semua warna muncul seketika, membuat orang-orang terdiam.
“Afinitas… semua elemen?” bisik salah satu penguji dengan mata membelalak.
“Tidak… ini… ini bukan sihir biasa!”
Batu itu retak—retak!
Para guru terkejut. Batu itu telah digunakan selama lebih dari 500 tahun tanpa kerusakan.
Xiao Chen tersenyum. Ia tahu, itu efek dari teknik kultivasi yang perlahan menggantikan struktur sihir dalam tubuh Serenia.
“Nama?” tanya guru itu dengan suara bergetar.
“Serenia,” jawabnya pelan.
Ia langsung ditarik ke dalam barisan khusus—barisan elit.
Giliran Xiao Chen
“Selanjutnya!” seru instruktur.
Xiao Chen maju pelan. Suasana kembali tenang. Semua menatapnya dengan sinis. “Pasti nggak akan ada warna. Bocah miskin kampung.”
Xiao Chen menyentuh batu itu.
...Dan tidak terjadi apa-apa.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Senyum sinis muncul di wajah para peserta.
Namun...
ZAAARRKKKHHHH!
Langit terbelah.
Batu itu langsung hancur berkeping-keping tanpa sempat menyala.
Sebuah raungan naga terdengar di langit.
Awan hitam bergulung di atas akademi. Petir menyambar—tidak hanya satu, tapi sembilan petir dalam satu waktu, membentuk formasi kuno di udara.
Seluruh kota Cirelyn gemetar.
Para penyihir senior di menara akademi langsung bangkit dari meditasi mereka.
“Siapa… siapa dia?!”
Sementara itu, Xiao Chen hanya berdiri diam, menarik kembali tangannya.
“Maaf,” katanya pelan. “Aku terlalu bersemangat.”
Setelah Pendaftaran
Sore hari itu, Xiao Chen dan Serenia diterima tanpa syarat. Mereka langsung ditempatkan di asrama khusus, dan Elvira—yang menyamar sebagai saudara jauh dari Serenia—telah lebih dulu berada di akademi dengan identitas palsu.
Kini, trio mereka resmi menjadi bagian dari Akademi Aggrale.
Namun Xiao Chen tahu, tempat ini bukan hanya akademi. Ini adalah pusat kekuasaan manusia… tempat warisan pahlawan disembunyikan… tempat racun sihir menyebar.
Dan ia sudah mulai mencium bau busuk itu.
> “Dunia ini akan berubah. Dan aku akan jadi alasan di balik perubahan itu.” — Xiao Chen