Niat hati menolong seorang wanita yang nyaris diperkosa, Rain justru diperlakukan layaknya sampah. Sebab setelah difitnah oleh para pelaku, Echa selaku wanita yang nyaris diperkosa juga membenarkan, bahwa justru Rain pelakunya.
Karena kenyataan tersebut juga, warga yang telanjur datang ke lokasi, langsung mengeroyok Rain. Rain yang nyaris meregang nyawa sengaja dibuang ke sungai berarus deras. Mereka yakin, dengan begitu Rain akan benar-benar mati. Hingga mereka tak perlu bertanggung jawab, apalagi berurusan dengan polisi.
Padahal, harusnya satu minggu lagi Rain menikah dengan Hasna. Malahan saat Rain mengalami kejadian tragis saja, keduanya baru saja meninjau lokasi resepsi pernikahan. Hanya saja, menghilangnya Rain tak membuat Hasna curiga. Terlebih selain tipikal periang, Rain yang berasal dari keluarga kaya raya juga terbiasa jail. Meski di hari pernikahan mereka, Hasna berakhir pingsan karena Rain tetap tak kunjung datang. Namun di tempat berbeda, Rain yang terluka parah akhirnya sadar. Rain dirawat di rumah seorang dukun dan ternyata merupakan orang tua angkat Echa. Masalahnya, Echa yang hamil di luar pernikahan mengaku dihamili Rain.
Satu-satunya yang ingin Rain lakukan hanyalah balas dendam. Rain sungguh langsung memulainya, dan menjadikan Echa sebagai target pertama sekaligus utama. Meski karena keputusan itu juga, sederet fakta mencengangkan membuat hidup Rain layaknya menaiki roller coaster.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 : Alhamdullilah
“Ini ular enggak takut doa, ya.” Lebih tepatnya, salah satu ular hitam panjang telah melewati sepatu pak Syam. Ular yang lidahnya akan sesekali menjulur itu dengan cekatan menaiki tubuh pak Syam.
Jika kalian jadi pak Syam, kalian pasti sudah pingsan. Hal yang sebenarnya nyaris terjadi kepada pak Syam. Ditambah lagi, ular yang lain juga satu persatu menyusul naik.
“Bismillahirrahmanirrahim ....” Pak Syam tetap berusaha bertahan. Berusaha waras, dan terus melanjutkan niatnya. Tak peduli, meski ular-ular tadi, berkumpul di pundak, punggung, dan juga kepala bagian atasnya. Kadang, ada saja yang sampai di depan wajah pak Syam. Namun demi keadilan keluarga besar mereka. Khususnya demi rumah tangga putrinya, pak Syam tetap bertahan.
Pak Syam berangsur melepas sepatunya. Termasuk juga dengan kedua kakinya yang memang hanya kaki palsu. Kalian yang sudah membaca novel pak Syam pasti tahu, alasan kaki pak Syam begitu.
Susah payah pak Syam berwudu di sana. Karena lantainya saja, terasa sangat licin. Belum lagi, kamar mandi yang harusnya terasa dingin juga justru terasa sangat panas.
“Benar ya ... sehebat apa pun seorang mafia dalam mengalahkan lawan, jika lawannya justru menggunakan ilmu hita.m, tetap saja kalah.”
Ajaibnya, setelah pak Syam beres berwudu, semua ular tadi, termasuk yang awalnya menempel di wajah pak Syam, hilang.
“Alhamdullilah ....” Pak Syam bergegas memakai kaki palsunya. Hanya saja, ketika pak Syam masuk rumah, ibu Jumairah malah belum tidur. Ibu Jumairah masih asyik mengobrol dengan umi Ojin maupun Hasna.
Ketika pak Dartam kesemsem atau itu terpesona kepada umi Ojin, ibu Jumairah justru merasakannya kepada pak Syam. Ibu Jumairah mengagumi pak Syam. Bahkan meski ibu Jumairah tahu, pak Syam merupakan suami umi Ojin, dan kini tengah mengobrol dengannya.
“Ayo, Mi. Nunggunya di ruang pasren,” ucap pak Syam.
“Ah ... aku di sini dulu. Masih seneng ngobrol sama Ibu Jumpaedah!” ucap umi Ojin sambil mendekap ibu Jumairah. Ia sengaja bersikap sok akrab agar bisa menahan istri pak Dartam, di sana.
“Jumairah, Umi. Bukan Jumpaedah!” lembut ibu Jumairah, tapi senyum dan lirikannya tertuju kepada pak Syam.
Pak Syam menyadari itu dan langsung paham. Bahwa istri dari pak Dartam tengah curi-curi perhatian kepadanya.
“Enggak apa-apa, Bu. Yang penting bukan, ... Jum—palitan!” ucap umi Ojin sambil miring-miring melirik pak Syam dan Hasna agar segera pergi dari sana.
Hasna dan pak Syam yang langsung paham, bergegas pergi. Awalnya, ibu Jumairah akan ikut serta. Namun, umi Ojin segera mendekapnya sambil heboh mengajak mengobrol.
“Ya sudah deh, biar anak perawan saya dulu yang ditangani Abah. Syukur-syukur setelah ditangani, perawannya pensiun!” ucap umi Ojin.
“Heran, kok suami kamu bisa sekeren itu. Padahal kamu cungkring berisik gini?” batin ibu Jumairah.
Ibu Jumairah tak sedikit pun curiga, meski pak Syam dan Hasna buru-buru masuk ke dalam pasren. Karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan setiap pasien sang suami. Hanya saja, ibu Jumairah merasa sangat tidak nyaman dengan sikap akrab umi Ojin. Ditambah lagi, gara-gara umi Ojin, ia jadi tidak bisa mendekati pak Syam.
“Gimana, Mbak?” tanya pak Syam.
Lagi-lagi, usaha mereka tak luput dari rintangan. Di ruang yang tidak luas keberadaan mereka, mendadak ada angin kencang. Mirip tornado dan sekadar mengangkat martil saja, pak Syam sampai tidak sanggup.
Hasna yang menyadari itu, berangsur menyerahkan segelas air minum yang sebelumnya sudah Aqwa doai. Tak beda dengan sang papa, ia juga tak luput dari hambatan. Tangan kanannya gemetaran dan sempat kebas. Doa yang terus ia lafalkan juga tak menghasilkan perubahan. Untunglah meski harus terus berdrama, akhirnya segelas air minum itu diterima oleh pak Syam.
Air minum sudah pak Syam minum. Sisanya diguyurkan ke martil. Detik selanjutnya, keadaan menjadi agak normal. Cincin pak Dartam sudah langsung menjadi tujuan mereka.
“Bismillah ...!” ucap pak Syam yang detik itu juga memartil mata cincin berwarna merah delimanya.
Batu yang warnanya sangat cantik itu langsung remuk dan perlahan menghilang. Hasna sampai gemetaran menahan takut, meski bibirnya sibuk komat-kamit merapal doa. Kemudian, batu cincin yang satunya lagi juga pak Syam hancu.rkan. Hanya dalam satu kali martil, batu itu juga remuk. Batu tersebut juga menghilang tanpa jejak.
“Alhamdullilah ....” Hasna menangis. Tersedu-sedu ia mendekap tengkuk sang papa menggunakan kedua tangan.
Pak Syam yang langsung balas memeluk sang putri, tak sengaja menyaksikan perubahan dari pak Dartam. Seolah ada arwah yang keluar dari sana, pak Syam sungguh melihatnya. Seorang pria tua, yang sudah langsung menatapnya marah.
“Gara-gara kamu, aku harus berhadapan dengan Aqwa!” kesal sosok tersebut.
Hanya pak Syam yang mendengarnya. Karena Hasna sama sekali tidak mendengar suara lain selain suara tangis, napas, juga detak jantungnya dan detak jantung sang papa.
“Siapa suruh, kamu mengganggu keluarga anakku! Pergi dan hadapilah Aqwa. Bukankah harusnya kamu berterima kasih? Karena dengan kata lain, kamu akan mati sempurna?” balas pak Syam dan ia berbicara dalam hati.
Karena sosok arwah dan tak lain ki Awet, terus marah-marah, pak Syam sengaja melempar martilnya ke ki Awet. Entah atas dasar apa, martil tersebut bisa mengenai ki Awet. Ki Awet kesakitan dan perlahan menghilang, menyisakan asap hitam.
“Apa gara-gara, martilnya disiram pakai air yang sudah didoakan Aqwa, ya?” pikir pak Syam.
Perubahan mencolok dari pak Dartam ialah mengenai fisik. Fisik pak Dartam jadi sangat tua. Kulitnya yang awalnya agak merah menandakan kehidupan segar, kini pucat. Selain itu, tubuh pak Dartam juga terasa sangat dingin. Namun, napas, detak jantung, termasuk denyut nadi pak Dartam, masih ada.
Pak Syam menidurkan pak Dartam di tempat tidur yang sempat ditempati umi Ojin.
“Wah ... sekarang pak Dartam jadi kelihatan sepuh banget. Berarti ini sudah enggak ada pengaruh jampi-jampi lagi, ya? Serius, ... mau lihat dari sisi mana pun, pak Dartam tetap kelihatan tua banget. Rambutnya saja tipis putih mirip bihun. Oh iya, ini suami Echa, kan? Syukurlah, ... rezeki wanita tukang fitnah dan biasa s.eks bebas seperti kamu memang gini, Cha!” batin Hasna.
“Punten, Bu. Si Abah tidur terus, kami jadi enggak tega buat bangunin,” ucap Hasna yang menggandeng pak Syam.
Misi mereka sudah selesai, dan kini, waktunya mereka melanjutkan misi selanjutnya.
“Berarti, Abah ada si kamar pasren?” sergah ibu Jumairah memastikan.
Hasna berangsur mengangguk.
“Ya sudahlah, biar si Abah sliping long enggak bangun-bangun. Sudah seharusnya gitu, kan?” ucap umi Ojin girang. Dalam hatinya, pak Ojan tak sabar untuk membebaskan Rain. Karena jika misi kali ini berhasil, otomatis pengaruh guba-guna pak Dartam maupun ki Awet, juga berakhir.
“Alhamdullilah ... tinggal selangkah lagi. Termasuk alhanlmdullilah, Echa pasti jantungan karena suaminya yang sudah tidak dipengaruhi mantra, jadi sangat tua! Alhamdulilah ya, Sayang. Bentar lagi kita ketemu dan bareng-bareng lagi!” batin Hasna sangat bersemangat.