NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:691
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Membangun Kebanggaan Marhalah GAZA

Empat ratus lebih anak-anak terbaik Indonesia yang baru saja resmi menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar dengan bangga menyebut dirinya sebagai Marhalah GAZA. Nama itu bukan sekadar label, melainkan doa dan harapan. Semoga mereka benar-benar tumbuh menjadi pribadi yang seperti pemuda Gaza: pantang menyerah dalam menghadapi cobaan, ikhlas berjuang di jalan ilmu, dan memiliki semangat juang yang tak tergoyahkan. Harapan besar tersemat di pundak mereka, bukan hanya sekadar mengikuti bimbel, tetapi juga aktif dalam muhadharah (ceramah atau diskusi keilmuan). Bukan sekadar mencari sensasi dan popularitas semu, tetapi juga giat talaqqi (belajar langsung dari guru atau syekh) dengan penuh kerendahan hati. Dan yang terpenting, bukan sekadar mencari ijazah sebagai selembar kertas, tetapi ikhlas menuntut ilmu yang berkah, yang dapat memberikan manfaat bagi diri dan umat.

Tahun ajaran baru di Al-Azhar selalu berarti permulaan yang serba baru. Mulai dari deretan mahasiswa baru yang memenuhi kampus, dosen-dosen baru dengan metode pengajaran yang beragam, muqarrar (diktat kuliah) baru yang menantang, kajian-kajian baru yang mendalam, teman-teman baru dari berbagai belahan dunia, hingga pengalaman baru yang akan membentuk karakter dan wawasan mereka.

"Selamat ya, Fan, sekarang kamu sudah resmi menjadi mahasiswi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir," ucap Haisya kepada Fani, memberikan selamat dengan senyum tulus. Mereka bertemu di kantin kampus yang ramai.

"Syukron, ukhti, selamat juga buat ukhti Haisya yang sudah memperoleh predikat natijah jayyid jiddan (nilai sangat baik)," balas Fani, matanya berbinar penuh kagum sekaligus bangga.

"Syukron… oh ya, semangat belajarnya ya," nasihat Haisya, nadanya penuh perhatian. "Sudah jauh-jauh dari Indonesia ke Mesir, jangan sampai nggak dapat apa-apa, loh, selain ilmu."

"Tenang saja, Kak, pasti dapat capek, kok, hehehe," Fani terkekeh, mencoba melucu dengan gurauan khas mahasiswa.

"Capek?" Haisya mengernyitkan dahi, tidak mengerti maksud Fani.

"Iyalah, capek. Perjalanannya jauh, nunggu bus lama banget, ujung-ujungnya naik tramco yang penuh sesak." Fani mulai mengeluh, menceritakan pengalamannya di hari pertama.

"Eeeh, anak baru tak perlu mengeluh!" Haisya menegur, namun dengan senyum. "Perjalanan ke kampus yang memakan waktu satu jam tak seberapa dibanding perjalanan Imam Bukhari mencari sanad hadis dari satu negeri ke negeri lain. Jarak Nasr City ke Darasah atau ke kampus putri pun tak seberapa dibanding jarak perjalanan Imam Syafii dari Baghdad ke Mesir demi menuntut ilmu. Mereka melintasi gurun dan lautan dengan segala keterbatasan. Apa yang kita alami ini belum ada apa-apanya."

"Iya, iya, deh," Fani menyerah, menyadari nasehat Haisya benar adanya. Ia tersenyum tipis, merasa sedikit malu.

***

Fani dan Haisya sedang berbincang-bincang santai di taman kampus, di bawah rindangnya pepohonan yang sedikit meredakan sengatan mentari. Tiba-tiba Carlysca datang dengan wajah ditekuk, raut murung yang jelas terlihat. Tanpa salam, ia langsung duduk di sebelah Haisya dan bersandar di bahunya, seolah mencari perlindungan.

"Eeeh, kenapa nih?" Haisya bertanya, mengelus punggung Carlysca dengan lembut.

"Iya, Kak Carlysca kenapa?" Fani ikut bertanya, penasaran.

Carlysca tidak menjawab, melainkan menunjukkan sebuah kertas natijah (hasil ujian) yang dipegangnya. Haisya melihat kertas itu dan tersenyum terkejut. Kini ia tahu apa yang menyebabkan Carlysca murung. Rupanya Carlysca mendapatkan natijah jayyid (nilai baik). Sebuah nilai yang sebenarnya bagus, namun mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi Carlysca yang selalu mengejar jayyid jiddan.

"Sudah, enggak apa-apa, enggak usah ditekuk gitu mukanya, ini sudah bagus kok, hanya perlu ditingkatkan lagi," Haisya mencoba meyakinkannya, suaranya penuh kehangatan.

"Iya nih, Kak Carlysca nilai bagus-bagus gini kok malah murung," tambah Fani, ikut menghibur.

"Sudah, jangan gitu mukanya, nanti cantiknya hilang, loh," Haisya mencoba menghibur dengan nada bercanda. Carlysca akhirnya tersenyum tipis, sedikit terhibur oleh perhatian sahabat-sahabatnya.

***

Siang itu matahari sangat tidak bersahabat. Mentari bersinar tepat di atas kepala, mengirimkan sengatan panas yang membuat udara terasa membakar. Seperti biasa, Haisya selalu berduaan dengan mini Al-Quran pink kesayangannya. Mushaf kecil itu selalu ia kantongi di sakunya, menjadi teman setia dimanapun ia berada. Ia akan mengeluarkannya ketika ingin muraja’ah (mengulang hafalan) ataupun sekadar tadarus (membaca).

"Assalamualaikum… Masya Allah… Haisya rajin sekali," sapa seorang pria, suaranya ramah. Haisya mendongak, sedikit terkejut, melihat Muhammad Rifa'i berdiri di sampingnya.

"Waalaikumussalam… cuma lagi muraja’ah saja kok, Kak," jawab Haisya merendah.

"Sudah ngafalin muqarrar?" tanya pria itu, sedikit menggoda.

"He… he… he…," Haisya hanya nyengir, tertawa kecil, tidak tahu harus menjawab apa.

"Bukannya menjawab malah nyengir," goda pria itu, tersenyum. "Ke masjid yuk, ikut talaqqi ke Syekh Abdul Basith. Beliau hari ini akan menguraikan bab penting."

"Emm, gimana ya… cuacanya panas banget," Haisya beralasan, mencoba menghindari panasnya terik matahari.

"Jangan kalah sama orang yang sedang jatuh cinta dong!" pria itu berseru, nada suaranya penuh semangat.

"Maadza? (Apa?)" Haisya mengerutkan kening, berharap ia tidak salah dengar.

"Na’am (iya)," Rifa'i tersenyum, lalu menjelaskan perumpamaannya. "Kata orang yang sedang jatuh cinta kan: GUNUNG TINGGI KAN KUDAKI, LAUTAN LUAS KAN KUSEBRANGI, DEMI BERTEMU KEKASIH. Nah, kalau untuk kita beda lagi dong: GURUN KAN KU LANGKAHI, DINGIN KAN KULEWATI, DEMI THOLABUL ILMI (menuntut ilmu). Semangat harus lebih dari itu!" jelasnya, berhasil membangkitkan kembali semangat Haisya.

"Okeh, yuk!" sahut Haisya semangat, kini benar-benar terpacu.

"Nah, gitu dong," Rifa'i tersenyum puas. "Kan kata seorang pakar, orang yang menang dalam persaingan hidup adalah dia yang punya banyak informasi dan wawasan. Karena orang seperti Mark Elliot Zuckerberg dan Bill Gates begitu dihargai dan disebut-sebut sebagai pemenang di zaman ini, bukan karena harta semata, tapi karena mereka memiliki informasi dan menguasai ilmunya." Pria itu terus nyerocos, memberikan motivasi sambil menyetir mobilnya menuju masjid. Makin ke sini, pria itu —yang ternyata adalah Fa’i alias Muhammad Rifa’i— dan Haisya makin dekat, tidak hanya sebagai teman seperjuangan, tetapi juga sebagai sahabat yang saling menginspirasi.

***

Transisi Waktu: Beberapa Bulan Kemudian

Cilacap, 11 September 2027

Teruntuk Ananda Haisya Ardiyanti

Assalamualaikum wr.wb.

Bagaimana kabarmu, nduk? Sehat, kan? Alhamdulillah, kami segenap keluarga di Cilacap juga dalam keadaan baik dan sehat walafiat. Kami semua merindukanmu, nduk. Rumah ini terasa sepi tanpa kehadiranmu. Bapak dan Ibu selalu menangis bila mengingatmu, terutama saat kami berkumpul dan kau tak ada di tengah kami.

Terakhir Ibu memelukmu adalah ketika kamu mau berangkat ke Mesir tiga tahun lalu. Rasanya baru kemarin, tapi sudah begitu lama. Sudah tiga kali Ramadan dan tiga kali Lebaran, keluarga kami tidak lengkap karena tidak ada dirimu. Hati ini selalu diliputi rindu dan harapan. Ibu harap Lebaran tahun depan kami dapat merayakannya dengan dirimu, berkumpul bersama seperti dulu. Ibu dan Bapak sudah semakin tua, nduk, kami takut bila kamu berlama-lama di sana, kamu akan betah di sana dan tidak ingin pulang ke Indonesia untuk merawat dan menemani kami di masa tua ini.

Semua kakak-kakakmu sudah sibuk dengan keluarga mereka masing-masing, membangun bahtera rumah tangga dan karir. Hanya kamu seorang yang masih menjadi harapan kami untuk selalu dekat dengan kami. Belajarlah dengan tekun, selesaikan studimu, dan segeralah kembali ke Tanah Air Indonesia. Kami sungguh menyayangimu…

Wassalamualaikum wr.wb.

Ibumu Tercinta

Haisya berlinang air mata usai membaca sepucuk surat dari ibunda tercinta. Hatinya teriris membaca setiap kalimat yang penuh kerinduan dan harapan. Ia bahkan lupa bahwa usia ibunya sudah menginjak 60 tahun. Waktu begitu cepat berjalan, seolah tak terasa. Tak terasa kini Haisya sudah dewasa, bukan lagi anak kecil yang selalu digendong ibunya. Kini ia adalah seorang mahasiswi yang memikul harapan besar orang tuanya.

Pukul 01.00 CLT (Cairo Local Time), Haisya belum bisa memejamkan matanya. Pikiran dan hatinya terus terbebani dengan permintaan ibunya. Bagaimana ia bisa Lebaran tahun depan berada di Indonesia? Sementara dirinya belum menyelesaikan skripsi dan kuliahnya. Ada beberapa mata kuliah dan ujian akhir yang masih harus ia selesaikan. Bila ia datang ke Indonesia sebelum diwisuda, maka itu akan memerlukan biaya yang sangat banyak. Bagaimana tidak, jarak dari Mesir ke Indonesia tidaklah dekat, dan harga tiket pesawat sangat mahal. Terlebih bila harus bolak-balik Mesir-Indonesia dan Indonesia-Mesir, itu benar-benar akan membuat kantong Haisya kekeringan dan menguras tabungannya.

Haisya beranjak dari kasurnya, melangkah menuju kamar mandi. Ia mengambil air wudhu, membasuh wajah dan anggota wudhunya dengan khusyuk. Setelah itu, ia mengambil mushaf Al-Quran, membuka kembali lembaran-lembaran suci itu, dan mulai membacanya. Barulah setelah ketenangan meresap dari lantunan ayat, Haisya dapat memejamkan matanya dan beristirahat, menyerahkan segala kegelisahannya kepada Allah SWT.

***

Transisi Waktu: Beberapa Waktu Kemudian

Usai kembali dari kuliahnya, Haisya berniat untuk mengikuti workshop bersama Syekh Yusman. Program ini adalah suatu program yang diadakan oleh PPMI (Perhimpunan Pelajar Muslim Indonesia) dengan maksud untuk mendekatkan kembali mahasiswa Al-Azhar dengan para masyayikh-nya (guru-guru besar). Acara dimulai jam 16.00 CLT di aula PPMI.

Usai acara yang dipenuhi ilmu dan nasihat itu, Haisya memberanikan diri. Ia mencurahkan semua isi hatinya dan segala permasalahan yang terus mengganggu pikirannya kepada presiden PPMI yang kebetulan juga masih seorang mahasiswa. Sebuah keuntungan besar bagi para masisir (mahasiswa Mesir) adalah adanya wadah seperti PPMI. Ada sedikit masalah pribadi atau akademik, bisa langsung bilang ke presiden PPMI atau pengurus lainnya untuk dicarikan solusi. Ada sedikit kasus yang lebih serius, bisa langsung telepon ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) untuk mendapatkan bantuan.

Akhirnya, setelah berdiskusi panjang dan mendapatkan banyak masukan, Haisya menemukan solusi untuk masalahnya. Ia memutuskan untuk mempercepat waktu kuliahnya. Ini berarti ia harus mengambil lebih banyak SKS, belajar lebih keras, dan menyelesaikan skripsinya lebih awal dari jadwal normal. Kini Haisya harus bergerak lebih cepat daripada pelajar yang lainnya, mengejar ketertinggalan dan menargetkan kelulusan. Hari-hari Haisya tidak pernah kosong. Selalu ada kegiatan yang ia lakukan demi mewujudkan harapan kedua orang tuanya, terutama keinginan untuk bisa merayakan Lebaran bersama di Tanah Air.

***

Hari Kelulusan

Hari ini adalah hari paling membahagiakan untuk para mahasiswa. Karena hari ini adalah hari di mana mereka akan diwisuda. Aula wisuda dipenuhi sorak sorai kebahagiaan. Haisya merasakan campuran emosi yang aneh. Air matanya menetes, antara perasaan bahagia yang meluap atas pencapaiannya, namun juga sedih karena tak ada keluarga yang mendampingi. Ini adalah hari paling berkesan dan akan selalu terkenang selama hidupnya. Namun, tak ada satupun keluarga atau kerabat yang bisa hadir untuk memeluknya dan mengucapkan selamat secara langsung.

Haisya duduk di barisan belakang, menyaksikan mahasiswa lainnya yang sedang berbahagia dengan orang tua dan keluarga mereka. Pemandangan itu menusuk hatinya. Ia membayangkan andaikan ia yang ada di posisi itu, dipeluk Ibu, disalami Bapak, pasti dirinya akan sangat bahagia dan lengkap.

Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut di bahunya. Seseorang menyodorkan sebuah boneka beruang kecil dan setangkai bunga mawar putih yang menawan dari arah belakang. Haisya tidak tahu siapa orang tersebut, tapi dilihat dari tangannya yang besar, sepertinya dia seorang laki-laki.

Haisya memutar badannya menghadap ke belakang. Matanya membulat saat melihat Fa’i (Muhammad Rifa’i) berdiri di sana, tersenyum dengan sangat manis untuk Haisya.

"Selamat ya, Haisya," ucapnya dengan suara lembut. "Untuk kelulusan dan gelar hafizah-mu."

Rifa’i lalu ikut duduk di samping Haisya dengan menyisakan jarak kurang lebih 1 meter jauhnya, menjaga batasan. Tak lama setelahnya, Carlysca, Fani, Hasna, Maryam, dan teman-teman yang lain juga datang untuk memberi selamat. Mereka memeluk Haisya, memberikan ucapan selamat, dan berbagi tawa serta kebahagiaan. Meskipun keluarga fisik tidak ada, keluarga hati selalu membersamai.

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!