Novel ini merupakan kelanjutan dari cerpen Gara-gara Nolongin Bos Galak versi horor komedih nggak pakai putar.
Rachel nggak akan menyangka kalau pertemuannya dengan bos garang bin gahar malam itu merupakan awal dari segala kesialan dalam hidupnya. Asisten Pribadi yang menjadi jabatan yang paling diincar dan diinginkan para ciwik-ciwik di kantor malah jatuh pada cewek cupu macam Rachel, tapi dengan syarat dia harus mengubah penampilannya. Daaaan atraksinya menyambung rambut di salon malah membuat Rachel terus-terusan di ganggu makhluk halus. Akankah Rachel bisa melepaskan diri dari jeratan teror makhluk tak kasat mata itu? we never know...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reina aka dian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sendiko Dawuh
"Kenapa emangnya, Paak?"
"Kenapa kamu nggak bilang sama saya, Racheeell...?! harusnya apa-apa kamu ngomong dulu sama saya, biar kita sepakati bersama," kata pak Raga, sewot dia.
"Ya kan gimana mau ngomong, orang neneknya Bapak nyecer saya dengan berbagai macam pertanyaan, sedangkan Bapak kan 11 purnama baru muncul lagi," aku nggak mau kalah.
"Awwwhh, ssshhh," lagi-lagi pak Raga megang tengkuknya.
"Rachel, coba lihat. Dibelakang sini ada apa, kok daritadi rasanya perih..."
"Perih? emang panu perih ya, Pak?"
"Saya nggak panuan Racheeeeel....?!" pak Raga kesal.
"Ya Allah, Pak ... Pak?! ih Bapak teh ulah sensian atuh. Saya kan cuma bercanda, hidup itu jangan terlalu dibawa serius, nanti stress!" ucapku ngajarin pak bos.
Aku nyalain senter yang ada di hape, dan mengarahkannya pada bagian yang ditunjukkan pak Raga.
"Astaga, luka, Pak...!" ucapku.
"Luka?"
"Iya, seperti bekas cakaran. Sebaiknya segera diobati..." aku baikkan lagi kerah bajunya.
"Apa ada kotak obat disini?" aku nanya pak bos.
"Ada, disana..." pak bos nunjuk dashboard.
"Otakmu jangan berpikiran macam-macam?!" lanjut pak bos.
"Macam-macam apa? tidak sama sekali, Pak. Saya suci dalam pikiran perkataaan maupun perbuatan karena saya anak pramuka!" ucapku sembari membuka laci yang ada di dashboard.
"Lampunya?" aku mencari dimana bisa menyalakan lampu.
Betewe kita masih ngejogrog di depan resto ya. Aku buka kotak putih dan nyoba buat bersihin luka pak bos.
"Apa mungkin ini kerjaan makhluk lain?" aku bergidig sambil celingukan.
"Rachel, kamu mau ngobatin saya atau kamu lagi nyari koin?"
"Kenapa, Pak?" aku nanya baik-baik, tapi pak Raga malah ngegas.
"Mata kamu tidak fokus!"
"Pak jangan marah- marah terus, saya cuma memprediksi ini bukan kelakuan manusia. Kalau iya Bapak nggak inget habis main cakar-cakaran apa nggak?"
"Maksud saya, nggak mungkin bapak habis mainan kucing terus kucingnya nemplok dan nyakar Bapak di sebelah sini kan?" aku meralat ucapanku.
Pak bos buka jasnya, dia buka kancing kemeja.
"Bapak mau ngapain?" aku panik.
"Racheeeeel....?!" pak Raga manggil dengan muka yang gregetan.
"Eh, iya Pak iya Pak, mau diobatin yah?" aku tarik kerah belakang dan mulai ngobatin tengkuk pak Raga.
"Awwhhh, perih!"
"Sabar Pak sabar, tarik napaass keluarkan..." ucapku sambil menutup luka dengan plester.
"Sudah selesai," ucapku.
Pak Raga mendesis, "Kamu sengaja ya membuat ini sangat perih?" dia benerin lagi bajunya dan pakai jas.
"Bapak suka banget nuduh sembarangan?" aku taruh lagi kotak obat ke tempat obat.
Di luar masih gerimis sendu, pak Raga nggak mungkin nyuruh aku balik sendiri, secara sekarang udah malem.
"Pak ... bagaimana tentang permintaan nenek anda?"
"Nanti biar saya pikirkan bagaimana jalan keluarnya. Sekarang turunlah, kosanmu sudah ada di depan mata!" kata pak Raga.
Aku yang disuruh turun pun melepas sabuk pengaman lalu menengok ke arah pak bos, "Oh ya, berarti saya libur satu minggu ya, Pak?"
"Mau makan gaji buta?" pak Raga mendorong keningku dengan jari telunjuknya.
"Jangan seminggu, cukup 3 hari saja!" lanjutnya.
"Sendiko dawuhhh, Bapakeeee...?!" aku mengatupkan kedua tanganku, serasa lagi ngadep maha raja dari kerajaan huruhara.
Aku buka pintu dan keluar dari mobil pak Raga. Dan secepat kilat mobil itu juga bergerak, pergi dari pandangan seorang Rachel.
Baru juga tabganku merasakan dinginnya beai gerbang kosan. Ada auara yang nikin aku terhenyak sesaat.
"Racheeel..." suara mas Liam.
Alu mematung sesaat, tanganku mendadak gemeteran. Bagaimanapun aku udah tau faktanya mas Liam itu ya lagi di rumah sakit, lalu yang sedang di belakangku ini siapa. Kenapa dia menjelma dengan wujud mas Liam.
"Racheeel...?"
"Ya Allah, aku harus gimana? duh kepriben kiye Gustiiiii..." ucapku dalam hati.
Aku menghela nafaas sesaat dan mengumpulkan segenap keberanian.
"Anggap saja yang di depanmu ini manusia, Rachel. Semoga dia nggak jahat," batinku.
Perlahan aku memutar badanku, dan melihat sosok mas Liam yang baru aku sadari selalu mengenakan baju yang sama, jas hitam dan kemeja hitam.
"Kamu habis keluar dengan pak Raga?" tanyanya, iya dengan wajah yang makin lama makin pucat aja.
"Ehm, iya, M-mas..." aku menjawab sedikit kaku.
Ketika hujan sudah berhenti, sekarang datang angin besar menyerang kita berdua.
"Awasss," mas Liam berdiri di depanku. Sementara dedaunan kering yang jatuh dari pohon beterbangan, bahkan sampai mengenai wajah yang menawan hati.
"Akkh," aku menghalau terpaan angin dengan tanganku.
"Sebaiknya kita pergi dari sini," ucap mas Liam, dia memegang tanganku dengan tangan dinginnya.
"Tapi kemana?"
"Ke rumahku!" ucap mas Liam.
"Rumah? maksudnya dia mau ngajak aku ke alam baka gitu? nggak, nggak, aku masih pengen idup. Bukan masalah udah kawin atau belum kawin, tapi aku belum bisa bahagiain orangtua. Belum bisa nunjukin ini loh, Rachel anak yang mereka kurang perhatikan," ucapku dalam hati.
"Ayo, Racheeel. Kamu sudah tidak aman disini,"
"Ehm, nggak Mas. Aku nggak mau..." aku melepaskan tangan mas Liam, dan berjalan mundur. Aku pasang wajah setenang mungkin sedangkan angin menggiyangkan pepohonan.
"Percaya sama aku, Rachel. Nanti aku bakal jelasin semuanya, yang jelas kamu nggak bisa disini. Please, aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu," kata mas Liam serius. Bukan cuma wajah mas Liam yang serius tapi anginnya juga serius dan konsisten menyapu dedaunan kering dan juga tanah atau pasir, yang bikin mata nggak bisa melek lama.
"Ayo, Racheeeel...! ikut aku..." mas Liam menggenggam tanganku.
"Aku tau, kamu udah mengetahui sesuatu. Aku punya alasan untuk itu, tenang lah. Aku nggak akan berbuat jahat, sama sekali..." mas Liam melindungi dirinya dari ganasnya angin malam ini.
"Percaya sama aku," ucapnya lagi, lalu aku mengangguk.
Braakkk!!
Braaakk!!
Sebegitu kuatnya angin menerpa kami, sampai-sampai pintu gerbang yang terbuat dari besi aaja bisa terbuka dan menutup dengan sendirinya.
Braak!!
Braakk!!
"Ayo...!" maa Liam menarikku pergi dari kosan.
Tapi baru juga beberapa langkah, rambutku di tarik.
"Aawwwwwhh!" sontak aku berpegangan pada mas Liam.
"Racheeel...?!" teriak mas Liam yang menarikku lebih kuat.
"Aaakh, sakiiit?!!"
"Hey, kembalikan dulu milikku....?!" teriak seorang wanita. Suara yang sama yang akhir-akhir ini menghantuiku.
Suasana malam kali ini sangat berbeda debgan malam sebelumnya. Aku liat beberapa orang pedagang kaki lima pun sudah nggak ada yang stand by di emperan. Belum begitu malam, tapi suasananya sepi banget.
Ditambah lagi ada petir yang menggelegar disertai kilatan dari atas langit.
JEDERRRRR!!
Liam mengajakku berlari, iya berlari. Moon maap, mungkin Liam lupa jaman sekarang udah ada teknologi canggih yang namanya motor sama mobil.
Eh eh eh, tapi. Perasaan baru beberapa metwr berlari. Aku kok udah sampai di sebuah bangunan yang sangat asing.
"Masuklah, ini rumahku!" ucap mas Liam.
"Tunggu...!" langkahku berhenti.
"Kenapa?" mas Liam menautkan alis tebalnya.
"Apa aku sudah mati?" tanyaku pada mas Liam.