Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. DI BAWAH PENGAWASAN DAN BATAS KEBERANIAN
Dua hari setelah malam kemenangan Rp8.500.000, Rendra kembali ke Gerbang Merah. Kali ini, langkahnya lebih percaya diri, bukan lagi anak sekolah yang menyamar, tetapi seorang pemain yang tahu persis apa yang dia lakukan.
Uang yang ia pegang sekarang cukup untuk mengubah hidupnya, setidaknya untuk biaya hidup yang lebih layak, tapi tidak cukup untuk membebaskannya dari belenggu sosial di SMA Bhakti Kencana. Tujuan Rendra sudah jelas: modal awal yang memungkinkannya melompat ke dunia investasi yang lebih bersih dan legal, yaitu Saham, sebagaimana yang ia rencanakan. Targetnya Rp50.000.000 adalah harga tiket kebebasan.
Malam itu, suasananya terasa berbeda. Lampu di Gerbang Merah terasa lebih redup, dan kebisingan terasa lebih terkendali. Mata-mata yang Rendra lihat sebelumnya kini lebih terang-terangan mengamatinya.
Pria berkumis tebal yang ia lihat—Rendra berhasil mendengar namanya dipanggil ‘Bapak Rudi’—kini duduk di meja di belakangnya, berpura-pura membaca koran, padahal matanya tidak lepas dari setiap gerakan Rendra.
Rendra mengabaikannya. Kehadiran rasa bahaya tidak membuatnya gentar, malah memicu adrenalin yang ia dapat dari latihan fisik intensifnya. Ia mengambil tempat di meja Roulette. Permainan ini adalah yang paling sulit dikalahkan tanpa manipulasi fisik karena sifatnya yang acak sempurna. Namun, bagi penglihatan masa depan milik Rendra, Roulette adalah mesin ATM yang paling efisien.
Ia memasang chip Rp500.000 untuk putaran pertama, memicu Penglihatan.
Deg!!.
Dia melihat bola putih itu melompat dari kantong 17 Merah dan mendarat di 2 Hitam. Ia kalah. Rendra segera menarik chipnya sebelum dealer menutup taruhan.
"Kenapa, Nak? Tidak yakin?" tanya dealer, nadanya datar.
"Ganti angin," jawab Rendra santai, tangannya sudah memindahkan taruhannya.
Putaran kedua, dia kembali memicu Penglihatannya. Ia melihat bola itu akan mendarat di 32 Merah. Rendra mempertaruhkan Rp2.000.000. Taruhan besar untuk anak seumurannya.
"Pasang merah," katanya tegas.
Rudi, yang berada di belakangnya, menjatuhkan korannya. Ini bukan lagi ‘uang saku’. Ini adalah uang serius.
Bola berputar, suara kayu dan logam menciptakan ketegangan. Bola melompat... dan mendarat mulus di 32 Merah. Kemenangan. Uangnya berlipat ganda, menjadi Rp4.000.000 dari putaran itu.
Rendra melanjutkan ritme ini: menang 4 kali, kalah 1 kali (sengaja, untuk menjaga ilusi manusiawinya), lalu menang lagi. Ia tidak rakus. Setiap putaran kemenangan dilakukannya dengan perhitungan yang dingin, memanfaatkan Penglihatannya untuk memverifikasi hasil sebelum meletakkan chip.
Setelah satu jam yang intens, tumpukan chip Rendra sudah menggunung. Ketika ia menghitung, totalnya mencapai Rp24.000.000.
Ia berdiri. "Tukar semua, Pak," katanya kepada dealer.
Saat Rendra menuju konter penukaran, Bapak Rudi menghadangnya. Tubuhnya yang gempal terasa seperti dinding.
"Tunggu dulu, Nak. Kau ini siapa?" tanya Rudi, suaranya rendah dan mengancam.
Rendra menatap mata Rudi tanpa gentar. Tatapan Rendra selalu dingin dan menusuk, yang membuat orang dewasa seringkali merasa tidak nyaman.
"Saya Rendra. Hanya pengunjung. Dan saya ingin menukarkan chip saya."
"Sejak kapan pengunjung bisa memenangkan puluhan juta dalam dua malam?" Rudi menyeringai, menunjukkan gigi yang sedikit kekuningan. "Kau punya mata elang, Nak. Atau ada yang kau sembunyikan?"
Di dunia perjudian, ini adalah momen paling berbahaya. Tuduhan curang berarti kematian sosial, atau bahkan kematian harfiah.
Rendra mempertahankan ketenangannya. Ia ingat pelajaran dari buku-buku yang ia baca: menghadapi intimidasi harus dengan fakta dan kepercayaan diri.
"Jika Anda menuduh saya curang, silakan buktikan," balas Rendra, suaranya sedikit meninggi agar didengar beberapa orang di sekitar. "Apakah ada kartu yang saya sentuh? Atau mesin yang saya sentuh? Saya bermain di Roulette, Pak. Dan saya memasang taruhan sebelum dealer mengumumkan 'tidak ada taruhan lagi.' Aturan mana yang saya langgar?"
Rudi terdiam. Rendra benar. Permainan Roulette tidak bisa dimanipulasi dari luar.
"Keberuntunganmu terlalu besar, Nak. Terlalu sempurna," desak Rudi.
Rendra menyeringai tipis—senyum yang jarang ia tunjukkan, penuh dengan sarkasme. "Di dunia ini, Pak Rudi, hanya ada dua jenis orang: yang bergantung pada keberuntungan, dan yang menciptakan keberuntungan. Saya tipe yang kedua. Jika Anda tidak bisa membuktikan kecurangan, izinkan saya pergi dengan uang saya. Atau tempat ini akan mendapat masalah besar jika kabar burung mengatakan Gerbang Merah menahan kemenangan sah."
Ancaman Rendra—tentang reputasi Gerbang Merah—berhasil. Judi ilegal sangat bergantung pada kepercayaan, sekecil apa pun itu. Rudi memelototinya sekali lagi, lalu menghela napas kasar.
"Silakan," kata Rudi, memberi isyarat kepada petugas. "Tapi jangan kembali dengan pola yang sama, Rendra!. Tempat ini bukan untuk anak-anak."
Rendra mengangguk, mengambil uang Rp24.000.000 itu. Ia tidak menjawab, karena ia tahu ia akan kembali.
Rendra kini memiliki total Rp32.500.000. Ia sudah melewati setengah perjalanan menuju target Rp50.000.000-nya.
Saat perjalanan pulang, Rendra menyadari satu hal krusial: Sistem itu hanya bisa memberinya uang dalam jangka pendek. Ia tidak bisa terus-terusan mengandalkan kasino, karena cepat atau lambat, dia akan dilenyapkan oleh mafia pemiliknya. Perjudian hanyalah Batu Loncatan.
Ia harus segera beralih ke Saham, yang jauh lebih aman dan lebih profesional. Saham adalah arena di mana kekayaan besar dibuat, dan jika ia bisa memprediksi pergerakan pasar 24 jam ke depan, ia bisa menjadi raja.
Di rumahnya, Rendra segera menyalakan komputer tuanya. Dia mulai meneliti. Bukan tentang casino, tapi tentang mekanisme bursa, aplikasi broker, dan, yang paling penting, perusahaan mana yang pergerakan harganya cukup stabil untuk dimanipulasi dengan keunggulan Penglihatan masa depannya.
Ia membagi uangnya: Rp2.500.000 ia sisihkan untuk perbaikan atap rumahnya dan membeli beberapa pakaian yang lebih layak. Rp30.000.000 sisanya adalah amunisi terakhirnya di Gerbang Merah, sebelum ia pensiun dari dunia judi gelap.
Senin pagi, di SMA Bhakti Kencana.
Rendra berjalan dengan postur yang lebih tegak, namun tetap rendah hati. Di koridor, Kevin dan gengnya kembali menyambutnya dengan ejekan.
"Lihat, Tuan Beasiswa sedang melamun. Mungkin sedang menghitung berapa lama lagi atap rumahnya akan bocor," cibir Kevin.
Rendra biasanya mengabaikan mereka, tapi hari ini berbeda. Kepercayaan diri dari memegang puluhan juta memberinya keberanian yang dingin.
Rendra berhenti. Ia menoleh perlahan, tatapannya mengunci Kevin.
"Pernahkah kau memikirkan, Kevin," Rendra berbicara dengan nada yang tenang dan berbahaya, "bahwa orang yang memiliki segalanya, lebih mudah kehilangan segalanya? Karena mereka tidak pernah tahu bagaimana cara mendapatkannya."
Kevin terkejut, rona merah menjalar di wajahnya karena marah. Tidak pernah ada murid yang berani menjawabnya dengan kalimat secerdas dan setajam itu.
"Apa maksudmu, anak miskin?"
"Hanya pengamatan," jawab Rendra, lalu ia tersenyum, senyum yang sama yang ia berikan kepada Bapak Rudi. "Nikmati saja warisanmu. Itu satu-satunya hal yang kau punya."
Rendra melangkah pergi, meninggalkan Kevin dalam kemarahan yang membingungkan. Rendra tahu, ia baru saja menciptakan musuh baru di sekolah. Tapi ia tidak peduli. Perubahan hidupnya sudah dimulai. Tekanan sosial sekolah tidak lagi sebanding dengan ancaman mafia kasino yang ia hadapi setiap malam.
Ia kini menunggu malam. Malam terakhirnya di Gerbang Merah, untuk meraih Rp50.000.000, dan melompat ke dunia Saham.
Semangat Thor