Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Permainan di Atas Jeda
Pagi hari setelah pertemuan rahasia itu terasa sangat berbeda. Aku bangun dengan rasa pusing, bukan karena kurang tidur, melainkan karena otakku dipenuhi oleh kalimat Raka: “Sebuah ruang aman yang hanya kita berdua yang tahu isinya.”
Ruang aman itu terasa seperti jebakan yang indah.
Di meja makan, aku berusaha keras memfokuskan diri pada sarapan, menghindari kontak mata dengan Raka. Hari ini, Kak Naira berangkat lebih pagi untuk rapat penting. Ini berarti aku akan sendirian dengan Raka selama hampir satu jam sebelum dia berangkat kerja.
"Kenapa diam?" tanya Raka tiba-tiba, suaranya pelan dan mengancam.
Aku mengangkat pandangan. Naira sedang sibuk mencari kunci mobil di tasnya, jadi dia tidak mendengar.
"Aku... aku takut, Mas," bisikku balik. "Aku takut Kak Naira curiga."
Raka tersenyum tipis, senyumnya kali ini terasa dingin dan percaya diri. "Curiga apa? Kita hanya duduk dan bicara, Aluna. Itu yang disebut komunikasi. Suami dan adik ipar. Itu wajar."
"Tapi kita membicarakan hal yang tidak wajar," balasku, suaraku hampir tidak terdengar.
"Wajar atau tidak, itu tergantung siapa yang mendengarnya." Dia berdeham, lalu berbicara dengan nada yang lebih keras untuk didengar Naira. "Nasi gorengnya enak, Aluna. Kamu memang lebih pandai masak daripada Naira."
Naira menoleh, tersenyum bangga. "Aluna memang jago masak, Mas. Dia dulu sering bantu Mama."
Aku merasa wajahku memerah. Raka baru saja memberiku pujian yang membandingkan, dan itu terasa seperti racun manis. Dia sedang memposisikanku sebagai 'lebih baik' di mata Naira, dan itu membuatku merasa jijik pada diriku sendiri.
Raka menatapku lagi, dan kali ini, ada kilatan tantangan di matanya. Seolah berkata: Lihat, betapa mudahnya ini.
Setelah Naira pergi, Raka kembali ke ruang kerja, meninggalkanku sendirian untuk membereskan meja. Aku merasa lega dan ngeri pada saat yang sama. Lega karena ketegangan itu berakhir, ngeri karena aku tahu itu akan terulang lagi.
Tepat pukul setengah sembilan, Raka keluar dari ruang kerja dengan briefcase di tangan. Dia tampak terburu-buru.
Dia berhenti di dekat pintu, dekat dengan tempat aku mencuci piring.
"Aku harus buru-buru. Ada presentasi mendadak," katanya, tidak menatapku.
"Hati-hati, Mas," kataku, mencoba menjaga jarak.
Dia mengangguk, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu depan. Aku menarik napas, berpikir aku aman.
Tiba-tiba, dia berhenti di depan pintu, berbalik lagi, dan berjalan kembali ke meja makan.
"Dompetku ketinggalan di meja," katanya, sambil mengambil dompet yang memang tergeletak di sana.
Namun, alih-alih langsung pergi, dia berjalan pelan melewatisuku. Kali ini dia tidak menyentuh kursiku.
Tangannya bergerak perlahan, seolah tidak sengaja, menyentuh punggung tanganku yang sedang memegang spons. Sentuhan itu sangat cepat, nyaris tak terdeteksi. Hanya sekejap, tapi terasa seperti getaran listrik yang tidak bisa disangkal.
Aku langsung menarik tanganku, wajahku memanas.
Raka tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Dia hanya tersenyum tipis, smirk yang berbahaya.
"Aku pergi. Sampai nanti malam, Lun."
Dia pergi. Dan aku ditinggalkan sendiri di dapur, mematung dengan jantung berdebar kencang. Sentuhan itu begitu disengaja, begitu melanggar batas. Itu adalah garis pertama yang dia tarik, dan aku tidak punya daya untuk menolaknya.
Siang itu, aku tidak bisa tenang. Aku terus memutar ulang sentuhan tangannya di kepalaku.
Aku tahu bahwa Raka tidak hanya mencari teman curhat. Dia sedang menguji batas, dan aku, tanpa sadar, sudah memberikan lampu hijau.
Sekitar pukul dua siang, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
Nomor Tidak Dikenal: Aku butuh pendapatmu, Aluna.
Aku tahu itu Raka. Aku sudah berjanji pada diriku tidak akan membalasnya. Tapi rasa penasaran yang mematikan mengalahkanku.
Aluna: Mas Raka? Bukannya sedang presentasi?
Raka: Presentasi sudah selesai. Aku bosan.
Raka: Naira selalu bilang, "Kenapa tidak cari hobi lain saja kalau bosan?" Menurutmu, itu solusi yang tepat, Lun?
Aku mengetik balasan, hatiku berdenyut sakit karena pengakuan itu.
Aluna: Tentu saja itu bukan solusi, Mas. Kebosanan tidak bisa diatasi dengan hal-hal di luar, tapi dengan... orang yang mengerti.
Raka: Tepat. Kamu selalu tahu cara merangkai kata-kata dengan baik. Kamu sensitif. Kamu mengerti hal-hal yang tidak disadari Naira.
Pujian itu... membuatku mabuk. Itu adalah inti dari emotional affair. Dia melihatku, di mana istrinya tidak.
Aluna: Mas, tolong jangan membandingkan aku dengan Kak Naira. Aku adiknya.
Raka: Aku tidak membandingkan. Aku hanya mengatakan fakta. Naira tidak akan pernah mengerti keheninganmu. Dia terlalu keras dan praktis. Kamu... kamu seperti udara dingin setelah hujan. Lembap dan menenangkan, tapi juga berbahaya.
Kata 'berbahaya' itu menamparku. Dia tahu. Dia tahu perasaanku sudah mulai tergelincir, dan dia mendorongnya.
Aluna: Kenapa Mas Raka bilang begitu?
Raka: Karena kamu membuatku merasa bisa bernapas lagi, Lun. Malam ini, kita bicara lagi. Aku akan menunggu chat-mu.
Aku menatap ponselku yang kini terasa panas di tanganku. Pesan itu adalah perintah, janji, dan undangan yang berbahaya. Aku tahu aku harus berhenti, tapi aku sudah kecanduan akan 'ruang aman' itu.
Kecanduan terhadap rahasia dan sentuhan yang hanya aku dan dia yang tahu.