Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarang Serigala
Pertanyaan Isabella menggantung di udara ruang perang yang kini sunyi, sebuah gema dari kekuasaan mereka yang baru dan tak terbatas. "Hidangan pembuka pertama kita di panggung dunia, akan kita sajikan panas atau dingin?"
Leo menatap peta dunia yang terpampang di meja holografik, matanya tertuju pada titik kecil yang berkedip di tengah Eropa. Swiss. Sarang Serigala. Ia menoleh pada Isabella, dan senyum yang tersungging di bibirnya adalah senyum seorang chef yang akan memulai hidangan paling rumit dalam karirnya. Senyum itu dingin, presisi, dan penuh dengan janji akan sebuah kesempurnaan yang mematikan.
"Dingin," jawabnya, suaranya tenang namun bergema dengan finalitas. "Sepenuhnya beku. Viktor dan Antonio adalah api; mereka membakar dengan emosi dan kekerasan. Kita memadamkan mereka dengan api yang lebih besar. Tapi musuh kita yang baru ini berbeda. Dia adalah es. Dia beroperasi dalam keheningan, presisi, dan kerahasiaan absolut. Menyerangnya dengan api hanya akan membuatnya meleleh dan menguap ke dalam bayang-bayang. Tidak. Untuk mengalahkan es, kita harus menjadi lebih dingin. Kita tidak akan menghancurkannya. Kita akan mengambil alihnya."
Itu adalah sebuah deklarasi dari modus operandi mereka yang baru. Kekerasan brutal adalah alat para preman. Pengaruh sunyi adalah senjata para dewa.
Fokus mereka kini tertuju pada satu nama: "Serigala Alpen". Bianca telah bekerja tanpa henti sejak buku besar Jäger terbuka, dan kini ia menampilkan profil lengkap di layar utama. Wajah seorang pria berusia enampuluhan muncul, dengan rambut perak yang disisir rapi, rahang yang tegas, dan mata biru pucat yang tampak seperti kepingan gletser. Tidak ada kehangatan di mata itu, hanya ada perhitungan yang tak berujung.
"Heinrich Steiner," lapor Bianca. "CEO dan pewaris generasi keempat dari Steiner Privatbank, Zurich. Dari luar, ini adalah bank butik paling eksklusif dan dihormati di Swiss, melayani keluarga-keluarga kerajaan dan industrialis tua. Tapi di bawah permukaan..." Bianca menampilkan sebuah jaringan transaksi yang rumit yang tampak seperti sarang laba-laba global. "...bank ini adalah jantung dari ekonomi bayangan dunia. Uang dari kartel, dana dari negara-negara teroris, keuntungan dari pedagang senjata—semua mengalir melalui brankas digitalnya, dicuci bersih, dan keluar sebagai investasi yang sah. Steiner adalah bendahara tidak resmi dari setiap nama besar di daftar Jäger. Dia tidak tersentuh. Dilindungi oleh hukum kerahasiaan perbankan Swiss dan sebuah benteng keamanan siber yang dirancang oleh para jenius."
"Setiap benteng punya retakan," kata Pak Tirta, yang telah mengamati dalam diam.
"Benar," kata Leo. "Dan retakan di benteng es ini bukanlah sebuah celah di dindingnya, melainkan sesuatu yang ia coba hangatkan."
Leo menampilkan bagian lain dari profil Steiner. Bagian pribadinya. Hanya ada sedikit informasi: seorang istri yang meninggal karena sakit bertahun-tahun yang lalu, dan satu anak perempuan.
"Katarina Steiner," kata Leo, sebuah foto muncul di layar. Seorang wanita muda berusia awal duapuluhan, dengan rambut hitam yang dipotong pendek secara artistik, dan mata biru yang sama tajamnya dengan ayahnya, tetapi di matanya tidak ada kedinginan, melainkan api pemberontakan. "Mahasiswa seni tingkat akhir di Universitas Seni dan Desain Jenewa. Seorang aktivis anti-kapitalis yang vokal. Ia membenci segala sesuatu yang diwakili oleh ayahnya."
"Dia adalah satu-satunya aset Steiner yang tidak bisa ia kontrol," lanjut Leo. "Satu-satunya rekeningnya yang selalu merugi. Ikatan emosionalnya, meskipun penuh konflik, adalah satu-satunya variabel yang tidak logis dalam hidupnya yang sangat teratur. Dia adalah retakan di dalam es itu. Dia adalah jalan masuk kita."
Rencananya begitu berani hingga membuat Marco mengerutkan kening. Mereka tidak akan menyerang bank. Mereka tidak akan menyerang Steiner. Mereka akan menyusup ke dalam hidup seorang mahasiswi seni yang rapuh dan penuh amarah.
Dua minggu kemudian, pemandangan berganti dari panasnya Jakarta yang kacau menjadi dinginnya Jenewa yang teratur dan anggun. Kota di tepi danau itu adalah perwujudan dari presisi Swiss. Trem meluncur tanpa suara di jalurnya, fasad-fasad bangunan klasik berjejer rapi, dan bahkan angsa-angsa di Danau Jenewa tampak berenang dalam formasi yang tertib. Bagi Leo dan Isabella, tempat ini terasa seperti planet lain. Di sini, kekuasaan tidak dipamerkan dengan konvoi mobil lapis baja, tetapi dengan kesunyian dari sebuah jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangan yang tepat.
Mereka tiba bukan sebagai raja dan ratu dunia bawah, tetapi sebagai hantu-hantu baru yang beradaptasi dengan lingkungan mereka. Leo menjadi "Dr. Adrian Finch", seorang sejarawan ekonomi dari Oxford yang sedang mengambil cuti sabatikal untuk meneliti sejarah perbankan Eropa. Penyamarannya memberinya akses ke lingkungan universitas, ke perpustakaan, dan ke kafe-kafe intelektual di mana target mereka, Katarina, sering menghabiskan waktu.
Isabella, di sisi lain, mengenakan persona "Elena Petrova", seorang janda kaya dari seorang oligarki Rusia yang telah meninggal, yang kini mendedikasikan hidupnya untuk menjadi pelindung seni-seni radikal dan avant-garde. Penyamarannya memberinya tiket masuk ke dunia galeri seni alternatif dan pameran-pameran mahasiswa di mana Katarina mencoba membangun namanya sendiri, jauh dari bayang-bayang ayahnya.
Rencana mereka adalah serangan penjepit psikologis. Mereka akan mendekati Katarina dari dua sisi yang berbeda dari dunianya—sisi intelektual dan sisi artistik—dan menjadi dua orang dewasa yang akhirnya "memahami" dirinya, sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari ayahnya yang dingin.
Isabella, sebagai Elena, adalah yang pertama bergerak. Ia menghadiri sebuah pameran kecil di sebuah galeri bawah tanah yang menampilkan karya-karya terbaru Katarina. Karya-karya itu mentah, penuh amarah, dan sangat politis—patung-patung yang dibuat dari kartu kredit yang dihancurkan, lukisan-lukisan yang menggunakan logo-logo korporat sebagai simbol kejahatan. Kebanyakan pengunjung yang kaya hanya meliriknya dengan sopan sebelum beralih ke anggur gratis.
Tapi Elena Petrova berhenti lama di depan karya utama Katarina: sebuah instalasi berjudul "Hati Sang Bankir", yang merupakan sebuah brankas baja tua yang di dalamnya, alih-alih uang, terdapat sebuah jam mekanis yang berdetak kencang, dingin, dan tanpa emosi.
"Ini brilian," kata Isabella dengan aksen Rusianya yang dibuat-buat, saat Katarina kebetulan lewat. "Karya ini memiliki kemarahan yang jujur. Ia tidak berteriak, ia berdetak. Seperti sebuah bom waktu di jantung kapitalisme."
Katarina, yang terbiasa dengan pujian basa-basi, menatap wanita elegan di hadapannya dengan terkejut. "Anda... Anda mengerti."
"Tentu saja aku mengerti," balas Isabella sambil tersenyum hangat. "Aku menghabiskan separuh hidupku dikelilingi oleh pria-pria yang hatinya berdetak seperti itu. Dingin, mekanis, dan kosong."
Itu adalah awal dari sebuah persahabatan yang direkayasa dengan sempurna. Isabella menjadi mentor bagi Katarina, seorang figur ibu pengganti yang kaya raya namun memiliki jiwa seorang pemberontak. Ia tidak hanya membeli karya Katarina dengan harga tinggi, tetapi ia juga mendengarkan keluh kesahnya tentang ayahnya, tentang dunianya yang ia benci.
Sementara itu, Leo, sebagai Adrian Finch, mendekatinya dari sisi yang berbeda. Ia menemukan Katarina sedang membaca buku filsafat di sebuah kafe tua dekat universitas. Ia tidak mencoba merayunya. Ia justru menantangnya.
"Theodor Adorno," kata Leo, menunjuk buku di tangan Katarina. "Penuh dengan analisis yang tajam, tapi pesimismenya sedikit membosankan, bukan? Seolah ia lupa bahwa seni terbaik seringkali lahir dari harapan, bukan hanya dari kritik."
Katarina yang biasanya sinis terhadap orang asing, mendongak, tertarik oleh komentar yang cerdas itu. Mereka akhirnya terlibat dalam perdebatan sengit selama dua jam tentang seni, politik, dan ekonomi. Leo tidak setuju dengan semua pandangan radikalnya; sebaliknya, ia membantahnya dengan argumen-argumen yang kuat, memperlakukannya bukan sebagai seorang gadis pemberontak, tetapi sebagai seorang intelektual yang setara. Bagi Katarina, yang terbiasa diremehkan atau dipuja secara dangkal, pengalaman itu sangat menyegarkan.
Selama beberapa minggu, Leo dan Isabella menenun jaring mereka dengan kesabaran seorang laba-laba. Mereka tidak pernah muncul bersamaan di hadapan Katarina. Bagi Katarina, Adrian adalah teman debatnya yang brilian, dan Elena adalah pelindung seninya yang penuh pengertian. Ia tidak tahu bahwa kedua orang ini, yang telah menjadi pilar-pilar emosional barunya, bekerja sebagai satu unit, melaporkan setiap detail percakapan mereka setiap malam di apartemen mewah mereka yang menghadap ke Danau Jenewa.
Di dalam apartemen itu, jauh dari peran yang mereka mainkan, mereka kembali menjadi Leo dan Isabella. Ketegangan dari penyamaran ganda, kecerdasan yang dibutuhkan untuk memanipulasi target mereka, menciptakan sebuah dinamika baru di antara mereka. Itu adalah sebuah permainan peran yang panjang dan sangat menggairahkan.
Suatu malam, setelah Isabella kembali dari makan malam dengan Katarina di mana gadis itu akhirnya menangis menceritakan betapa dingin dan mengontrolnya sang ayah, ia menemukan Leo sedang berdiri di balkon, menatap lampu-lampu kota yang terpantul di permukaan danau yang gelap.
"Dia hancur," kata Isabella pelan, melepaskan persona Elena-nya yang glamor. "Ayahnya telah merusaknya dengan ekspektasi dan kekecewaannya."
"Kita menggunakan kehancurannya untuk tujuan kita," balas Leo, suaranya datar. "Itu tidak membuat kita lebih baik dari ayahnya."
"Kita tidak pernah mengklaim diri kita sebagai orang baik, Leo," kata Isabella, melingkarkan lengannya di pinggang Leo dari belakang. "Kita adalah monster yang memangsa monster lain."
Ada keheningan yang nyaman di antara mereka. Ketegangan dari permainan peran mereka di luar sana seolah menguap, digantikan oleh ketegangan lain yang lebih akrab dan lebih panas.
"Annelise akan sangat cemburu pada Elena Petrova," bisik Isabella di punggung Leo. "Elena bisa menghabiskan waktu dengan seniman-seniman yang menarik."
Leo berbalik menghadapnya, tersenyum. "Dan Lars Vanderholt bisa belajar satu atau dua hal dari Dr. Finch yang sopan. Setidaknya, Dr. Finch tahu cara berdebat tanpa harus membeli seluruh perusahaannya."
Permainan peran itu kembali, tetapi kini hanya untuk mereka berdua. Itu menjadi pemanasan mereka, cara mereka untuk bertransisi dari dunia spionase yang dingin ke dunia gairah mereka yang membara.
"Dr. Finch," kata Isabella dengan nada menggoda, melepaskan kancing kemeja Leo satu per satu. "Aku punya sebuah teori filosofis yang ingin kudiskusikan denganmu. Tentang hegemoni, dominasi, dan penyerahan diri total."
"Oh ya?" balas Leo, tangannya kini menyusuri resleting gaun Isabella. "Aku lebih tertarik pada diskusi praktis daripada teoretis, Nyonya Petrova."
Adegan cinta mereka malam itu adalah perpaduan yang memabukkan dari peran yang mereka mainkan dan diri mereka yang sebenarnya. Itu adalah gairah yang lahir dari kecerdasan, dari kekaguman timbal balik atas kemampuan satu sama lain dalam menipu dan memanipulasi. Itu adalah cinta dari dua mata-mata, di mana setiap sentuhan terasa seperti sebuah manuver yang diperhitungkan dan setiap ciuman terasa seperti sebuah rahasia yang dibagikan. Di atas sprei sutra yang dingin, dengan pemandangan pegunungan Alpen yang megah di luar jendela mereka, mereka melepaskan semua ketegangan dari misi mereka. Itu adalah adegan yang sofistikated, penuh percaya diri, dan sangat panas, sebuah perayaan dari kemitraan mereka yang sempurna baik di medan perang maupun di kamar tidur. Mereka adalah tim yang tak terkalahkan, dan gairah mereka adalah penegasan kembali dari fakta itu.
Di tengah keintiman mereka, saat mereka terbaring dalam pelukan satu sama lain, Isabella berbisik, "Dia akan segera retak. Aku bisa merasakannya."
Dan ia benar.
Beberapa hari kemudian, Katarina, dalam keadaan mabuk dan putus asa setelah pertengkaran hebat lainnya dengan ayahnya melalui telepon, menelepon "Elena" sambil menangis. Isabella segera menemuinya di apartemen kecil Katarina.
Di sanalah, di antara kanvas-kanvas yang belum selesai dan aroma cat minyak, Katarina akhirnya mengungkapkan rahasia terbesar ayahnya—sumber dari kontrol obsesifnya.
"Dia bukan sekadar bankir, Elena," isak Katarina. "Dia adalah sebuah komputer berjalan. Dia punya kondisi langka, hyperthymesia dan ingatan eidetik. Dia mengingat setiap detail dari setiap hari dalam hidupnya. Dia tidak pernah lupa."
Isabella mendengarkan dengan napas tertahan.
"Itulah kenapa dia begitu paranoid," lanjut Katarina. "Dia tidak pernah menuliskan apa pun yang penting. Tidak ada buku catatan, tidak ada file rahasia. Semua rahasia tergelap klien-kliennya, semua kata sandi, semua kunci akses ke brankas digitalnya... semuanya ada di sini." Katarina menunjuk ke kepalanya sendiri. "Di dalam pikirannya."
"Bagaimana dia bisa mengingat semuanya?" tanya Isabella lembut.
"Dia punya sebuah sistem," jelas Katarina. "Sebuah 'istana ingatan'. Dia mengasosiasikan setiap informasi dengan sesuatu yang lain. Dan fondasi dari istana ingatannya... adalah sebuah lagu."
Ia berjalan ke pemutar piringan hitam tuanya dan mengeluarkan sebuah album. "Sebuah karya musik klasik yang sangat langka dan tidak jelas. 'Symphony of Glass' oleh seorang komposer Swiss yang terlupakan. Ayahku terobsesi dengan lagu ini. Ia mendengarkannya setiap malam sebelum tidur, untuk... 'mengatur ulang file-filenya', begitu katanya. Lagu ini adalah kunci dari seluruh kerajaannya."
Isabella menatap piringan hitam itu. Ia telah menemukannya. Kunci dari benteng es itu.
"Aku ingin menghancurkannya, Elena," kata Katarina, matanya menyala dengan kebencian seorang anak yang terluka. "Aku ingin menunjukkan pada dunia siapa dia sebenarnya. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."
"Mungkin aku bisa membantumu," kata Isabella, suaranya penuh dengan simpati palsu. "Aku punya beberapa kontak di dunia jurnalisme investigatif. Tapi untuk membuktikan apa pun, mereka butuh bukti. Sesuatu dari dalam sanctuarinya." Ia berhenti sejenak. "Apakah kau punya akses ke chalet keluargamu di Interlaken? Tempat di mana ia menyimpan barang-barang pribadinya?"
Katarina mengangguk. "Aku punya kuncinya. Ia tidak akan ada di sana sampai akhir pekan depan."
"Jika kau bisa memberiku salinan dari partitur musik itu," kata Isabella, "mungkin temanku bisa menemukan pola, sesuatu yang bisa kita gunakan untuk membuka kedoknya."
Katarina, yang dibutakan oleh amarah dan kepercayaan penuh pada sahabat barunya, setuju tanpa ragu.
Chalet keluarga Steiner di dekat Interlaken adalah sebuah benteng kayu dan kaca yang megah, bertengger di sisi gunung dengan pemandangan danau biru kehijauan yang menakjubkan. Tempat itu adalah definisi dari kemewahan yang terisolasi. Dan malam itu, tempat itu akan menjadi panggung dari sebuah skakmat.
Leo dan Isabella, bersama Tim Hantu, menyusup ke dalam chalet itu dengan keheningan total. Sistem keamanan canggih yang dirancang untuk menghentikan pasukan bayaran, dengan mudah mereka lewati berkat kode akses dan denah yang diberikan oleh Katarina.
Mereka tidak datang untuk mencuri atau membunuh. Mereka datang untuk sebuah pertunjukan.
Mereka menunggu di ruang kerja pribadi Heinrich Steiner, sebuah ruangan berpanel kayu gelap dengan perapian besar dan sebuah grand piano Bösendorfer di sudutnya. Di luar, salju mulai turun dengan lembut.
Tepat pukul sepuluh malam, Heinrich Steiner masuk ke dalam ruang kerjanya, sama seperti yang ia lakukan setiap malam. Ia tidak menyadari ada yang aneh. Ia menyalakan perapian, menuang segelas wiski untuk dirinya sendiri, dan duduk di kursinya yang nyaman. Ia tampak rileks, berada di dalam sanctuarinya yang paling aman.
Saat itulah Leo melangkah keluar dari bayang-bayang.
Steiner terlonjak kaget, matanya terbelalak, tangannya secara refleks meraih sebuah tombol panik tersembunyi di mejanya.
"Aku tidak akan melakukan itu jika aku jadi kau," kata Isabella, yang muncul dari bayangan lain, pistol berperedam suara di tangannya diarahkan bukan pada Steiner, tetapi pada panel kontrol di dinding. "Satu tekanan, dan seluruh sistem komunikasi di chalet ini akan mati."
Steiner membeku. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat pasi karena syok dan kebingungan. Bagaimana? Bagaimana mereka bisa masuk?
Leo tidak mengatakan apa-apa. Ia berjalan dengan tenang ke arah grand piano dan duduk. Ia meletakkan sebuah partitur musik di atasnya—salinan dari 'Symphony of Glass' yang diberikan Katarina.
Lalu, ia mulai bermain.
Nada-nada musik yang aneh dan melankolis mulai memenuhi ruangan. Steiner menatapnya dengan ngeri, seolah Leo sedang memainkan lagu dari mimpi terburuknya.
Saat Leo memainkan baris pertama dari musik itu, ia mulai berbicara, suaranya tenang dan jelas, selaras dengan melodi yang ia mainkan. "Gerakan pertama: Kunci akses primer ke server utama Bank Steiner. Kode: Alpha-Sierra-Tango-R-A-1-9-2-6."
Di Jakarta, di ruang perang, Bianca mendengar kata-kata itu melalui komunikator. "Kode diterima. Masuk ke server utama."
Steiner gemetar. "Siapa kalian?"
Leo terus bermain, musiknya semakin kompleks. "Gerakan kedua: Brankas digital klien-klien Timur Tengah. Kata sandi: nama kapal tanker pertama yang mereka gunakan untuk menyelundupkan minyak, dibaca terbalik. 'Seraphina'."
"Kata sandi diterima," lapor Bianca. "Aku di dalam rekening-rekening mereka."
Wajah Steiner kini dipenuhi oleh kengerian total. Pria ini tidak hanya memainkan lagu rahasianya; ia sedang membacakan isi dari pikirannya, membongkar istana ingatannya, not demi not. Seluruh kerajaannya, yang dibangun di atas kerahasiaan absolut dan ingatan fotografisnya, sedang diruntuhkan di depan matanya oleh seorang pria asing yang memainkan piano.
Saat Leo mencapai klimaks dari simfoni itu, ia memainkan serangkaian akord yang kuat. "Gerakan terakhir. Kunci utama pembatalan. Kode perintah untuk mentransfer seluruh kontrol administratif dari terminalmu ke terminal kami. Frasa pemicu: 'Das Kapital ist tot'." (Modal telah mati).
"Kunci utama diterima!" seru Bianca di komunikator. "Transfer kontrol dimulai... Selesai! Aku adalah Tuhan di dalam banknya sekarang. Kita memiliki segalanya."
Leo menyelesaikan nada terakhir dari lagu itu. Keheningan yang mengikuti terasa lebih berat daripada musik itu sendiri. Heinrich Steiner, sang Serigala Alpen, salah satu pria paling berkuasa di dunia, kini duduk membeku di kursinya, benar-benar hancur. Ia telah dikalahkan bukan dengan peluru, tetapi dengan sebuah simfoni.
Leo bangkit dari piano. Isabella melangkah maju dari bayang-bayang, pistolnya kini diturunkan.
"Bank Anda, Tuan Steiner," kata Isabella, suaranya tenang dan penuh dengan kemenangan mutlak, "kini memiliki manajemen baru. Anda akan tetap menjadi wajahnya. Anda akan tetap datang bekerja setiap hari. Anda akan tetap menghadiri pertemuan dewan. Tapi mulai sekarang, setiap keputusan, setiap transaksi, setiap bisikan di koridor bank Anda, akan melalui kami. Anda bekerja untuk kami."
Mereka telah menang. Kemenangan total dan tanpa cela. Mereka kini mengendalikan bank sentral dari dunia bawah tanah global.
Saat mereka berbalik untuk pergi, meninggalkan Heinrich Steiner yang hancur di dalam sanctuarinya yang telah dinodai, ponsel terenkripsi Isabella bergetar. Sebuah pesan prioritas dari Bianca. Isabella mengangkatnya, keningnya berkerut.
"Ada apa, Bianca? Rayakan kemenangan kita."
Suara Bianca di ujung sana terdengar tegang, tidak ada nada kemenangan sama sekali. "Bos, Leo... aku sudah menjalankan analisis awal pada data-data inti Steiner yang baru kita dapatkan. Aku menemukan sesuatu... sesuatu yang aneh. Sebuah anomali. Ada serangkaian transaksi rutin yang sangat terenkripsi, disamarkan sebagai 'biaya konsultasi keamanan', ke sebuah rekening di Jakarta. Rekening ini tidak terhubung dengan klien-kliennya yang lain."
Isabella berhenti, firasat buruk menjalari dirinya. "Ke siapa?"
Ada jeda sejenak saat Bianca memverifikasi ulang datanya, seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Suara Bianca akhirnya kembali, dipenuhi oleh kebingungan dan kengerian.
"Ke Detektif Adrian Hartono."