Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
[Mulai sekarang, Rachel adalah Aiden dan Aiden adalah Rachel.]
Kenyataan itu masih sulit mereka terima. Keduanya berdiri terpaku di ruangan yang sunyi, hanya diisi oleh suara detak jantung yang berpacu cepat pada mesin elektrokardiogram atau EKG.
Memandang tubuhnya sendiri yang berdiri tak jauh di hadapan—bergerak, bernapas, dan berbicara, tapi bukan dirinya—membuat bulu kuduk mereka berdiri. Rasanya seperti menatap ke dalam cermin yang rusak, di mana bayangan bergerak sendiri tanpa kendali.
Aiden, yang kini menghuni tubuh Rachel, memandangi dirinya sendiri yang terbaring lemah di ranjang. Tubuh pria itu penuh luka lebam, dan lengan kirinya diperban. Ia menggigit bibir bawah—campuran antara rasa bersalah dan keheranan.
“Ternyata tubuhku terluka lebih parah dari kamu,” ucap Aiden lirih. Nada suaranya lembut, mata yang menatap itu tak lagi dingin seperti biasanya. Entah mengapa, kini justru lebih mirip Rachel—lembut, penuh iba.
Rachel, yang kini berada dalam tubuh Aiden, menatapnya balik dengan wajah datar. Di balik dada bidang dan rahang kokoh itu, perasaannya bergemuruh. "Aku masih hidup, tapi bukan sebagai diriku sendiri."
"Meski begitu, aku yang merasakan sakit ini," balasnya dengan nada tajam, datar, dan sedikit sinis. Persis seperti Aiden saat bicara—dingin dan tak menyisakan celah empati.
Aiden tersenyum miring. Entah karena kesal, geli, atau benar-benar menikmati absurditas ini.
“Aku juga merasakan sakit di sekujur tubuh ini. Tapi, masih bisa bangun. Sepertinya Tuhan kasihan sama aku yang selalu ditindas sama kamu dan semua penghuni rumah. Jadinya, rasa sakit yang harusnya aku tanggung sekarang kamu yang rasakan,” ujarnya dengan nada jenaka yang menyelipkan kepuasan pribadi.
Rachel langsung memelototinya. Amarah meluap di wajah pria itu—pria yang kini dirinya.
"Apa maksudmu?! Aku tidak pernah melukaimu!" bentaknya lantang, suaranya berat dan menggelegar.
Aiden tertawa pendek, penuh ejekan. Tawa itu memantul di dinding ruangan seperti ironi yang menyakitkan.
“Tidak pernah?” ia menatap Rachel lekat-lekat. “Asal kamu tahu, banyak sekali ucapan dan tindakan kamu yang sudah melukai hati dan perasaanku. Itu luka yang tidak terlihat dan tidak berdarah, tapi sakitnya melebihi luka fisik dan sulit sembuh.”
Rachel mencibir. Wajah Aiden—yang kini ia kenakan—mengeras, penuh dendam yang dulu mungkin tak ia sadari. “Itu karena kesalahan kamu sendiri! Kamu yang selalu bikin aku marah. Kamu yang suka bikin keributan di rumah ini, lalu playing victim, seolah semua orang menindasmu.”
Nada bicaranya persis Aiden. Bahkan sorot matanya pun kini berubah—tajam, dingin, dan tak mau kalah. Kini ia bisa merasakan bagaimana menjadi orang yang ia tuduh selama ini. Kebencian dan prasangka lama membuatnya belum bisa menilai segalanya dari sudut pandang baru.
Aiden terdiam sejenak. Lalu, dengan suara rendah tetapi mantap, ia berkata, “Selama ini kamu menilai hanya dari apa yang kamu dengar. Tidak pernah kamu tanyakan bagaimana sebenarnya yang kurasakan. Aku hanya ingin kamu tahu ... betapa menyakitkan hidup sebagai seseorang yang dianggap selalu salah.”
Rachel menelan ludah. Untuk sesaat, ia kehilangan kata.
Kabar buruk tentang dirinya—yang katanya suka menindas Hillary dan memperlakukan para pelayan semena-mena—telah lama membuat Aiden berpihak kepada orang lain. Hillary Dawson, sepupu Aiden dari pihak ibu, selalu tampil sebagai korban di hadapan keluarga Salvador. Lalu, Nenek Hilda, wanita tua dari klan Dawson itu, tentu saja lebih percaya pada darah dagingnya sendiri.
“Aku yakin hukum tabur tuai itu ada. Tuhan tidak tidur. Kelak semuanya akan terbongkar ... siapa yang benar dan siapa yang salah,” ucap Aiden, dengan nada yang lebih tenang—seolah menyerahkannya kepada waktu. Kalimat itu terasa seperti kutipan khas Rachel dan kini keluar dari bibir Aiden sendiri.
Rachel menoleh, ingin membalas, tapi langkah seseorang di luar pintu menghentikan semua kalimat yang menggantung di tenggorokan.
Sandra masuk dengan langkah tergesa dan wajah yang penuh lega, wanita itu langsung menghampiri Aiden—yang kini sebenarnya adalah Rachel. Ia menggenggam tangannya erat, bahkan memeluknya sejenak.
“Aiden, rupanya kamu di sini. Aku khawatir sama kamu, makanya aku cari-cari,” kata Sandra dengan suara lembut yang terdengar manja, wajahnya dihiasi ekspresi sendu yang dibuat-buat.
“Tidak tahunya kamu ada di sini. Aku takut kamu kenapa-kenapa,” lanjutnya, lalu menatap Rachel sekilas. Sekilas yang tajam, penuh racun yang terbungkus kepura-puraan.
“Aiden ... aku begitu khawatir ... syukurlah tidak terjadi hal yang lebih buruk sama kamu,” gumamnya lembut.
Aiden yang sesungguhnya—di dalam tubuh Rachel—terdiam. Dadanya sesak melihat adegan itu dari sudut pandang lain. Dulu, ia tak pernah benar-benar memperhatikan siapa yang tulus dan siapa yang memanipulasi. Akan tetapi kini, semuanya tampak mu jelas.
Rachel dalam tubuh Aiden menarik tangannya perlahan dari genggaman Sandra. Ia merasa jijik—bukan karena tubuh Aiden, tapi karena sentuhan itu datang dari wanita yang pernah mencoba merebut suaminya.
“Kamu pasti masih lelah ... istirahat saja dulu, ya. Aku akan selalu di sini untuk kamu.” Sandra mengelus lengan Aiden dengan lembut, lalu tersenyum manis.
Rachel diam. Namun, sorot matanya kini mulai berubah—ada amarah. Jika ia terjebak di tubuh ini, maka dia harus bertahan. Bukan hanya untuk mencari cara kembali, tetapi untuk membuktikan siapa sebenarnya yang selama ini berbohong.
Tatapan Sandra, yang semula tampak cemas, berubah menusuk saat jatuh pada Rachel—yang tak lain adalah Aiden dalam tubuh istrinya. Senyum yang tadi terlihat peduli kini menjelma menjadi senyum sinis penuh kemenangan.
“Aku hanya ingin melihat keadaan Rachel,” ucap Aiden—yang kini dalam tubuh Rachel—datar sambil berusaha menarik lengannya yang masih digenggam Sandra. Sentuhan itu membuat kulitnya merinding, bukan karena kasih sayang, tapi karena jijik.
Sandra mempererat genggamannya, tak rela kehilangan momen bermain drama. “Buat apa kamu peduli sama dia?” ujarnya dengan nada menyudutkan. “Kamu mengalami kecelakaan karena dia! Seharusnya kamu sudah membuat laporan polisi untuk menangkapnya.”
Kalimat itu menyulut api. Rachel—yang kini berada dalam tubuh Aiden—mengeras wajahnya. Rahang mengatup kuat menahan gejolak marah.
“Apa kamu bilang?!” pekik Rachel. Napasnya memburu. “Awas saja kalau kau berani melaporkan aku ke polisi! Akan aku laporkan balik kejahatan yang kamu buat!”
Sandra menoleh heran, tetapi sebelum sempat bertanya, Aiden dalam tubuh Rachel menyahut cepat, “Memangnya kejahatan apa yang sudah aku buat?”
Senyum mengejek mengembang di wajahnya. Dia tahu Rachel sedang terjebak dan itu membuatnya puas.
“Kamu sudah mencuri flashdisk milik—” Rachel terdiam seketika. Matanya membelalak. Ia baru sadar ... bukan dia yang sedang bicara sekarang. Semua tuduhan itu akan kembali ke dirinya sendiri.
Aiden menyeringai. Ada kemenangan yang terpatri di setiap garis wajahnya. Ia membungkuk sedikit ke arah Rachel dan berbisik dengan nada penuh ejekan, “Kenapa? Kamu lupa kalau sekarang kamu adalah Rachel?”
Rachel menahan amarah yang mendidih dalam dada Aiden. Tangannya mengepal, tetapi tubuh itu masih terlalu lemah untuk melawan.
Tawa kecil keluar dari mulut Aiden. Ringan, puas, dan sedikit kejam. Suara tawa itu seolah mencabik-cabik harga diri Rachel yang kini harus menerima perlakuan seperti yang dulu ia berikan.
“Sebaiknya kamu istirahat, biar cepat sembuh,” ucap Aiden riang. Nada hangat yang tak pernah sebelumnya keluar dari bibirnya kini ia pakai untuk menyindir.
Tanpa menoleh lagi, Aiden melangkah keluar. Dia meninggalkan Rachel—dengan tubuhnya sendiri yang sekarang lemah dan tak berdaya.
Sandra masih berdiri di sana. Wajahnya berubah begitu Aiden pergi. Senyuman palsunya kini benar-benar menghilang, berganti dengan wajah asli penuh kebencian.
“Aku senang sekali melihat kamu seperti ini,” katanya pada Rachel, nada suaranya tajam. Ia mendekat lalu membungkuk, menatap Rachel dari atas.
“Aiden sudah tidak peduli lagi sama kamu. Sebentar lagi, kamu akan dibuang.” Tanpa peringatan, Sandra menekan kuat luka di lengan Rachel.
“Aaaa!!” Rachel berteriak kesakitan. Tubuh yang dihuni oleh Aiden saat ini merespons rasa sakit dengan begitu nyata. Wajahnya menegang menahan nyeri.
“Sakit ini belum seberapa, jika kamu terus bertahan di sisi Aiden, maka akan mendapatkan yang lebih menyakitkan lagi,” ujar Sandra sambil terkekeh. Ia lalu berbalik dan berjalan cepat keluar, mengejar Aiden dengan langkah ringan seperti tak terjadi apa-apa.
Rachel menatap tajam ke arah Sandra yang kini ke luar dari ruangan itu. Dia tidak menyangka kalau wanita itu menyembunyikan topengnya.
***
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu
❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀❤❤❤❤