Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Calya hanya bisa berdiri mematung, menatap punggung Rion yang perlahan menjauh, menghilang di balik kerumunan siswa. Air matanya sudah tak terbendung lagi. Perasaannya hancur berkeping-keping.
Vira dan Jojo segera menghampiri Calya, memeluknya erat dari kedua sisi. "Udah, Cal. Jangan nangis," bisik Vira, mengusap punggung sahabatnya.
"Lo udah lihat sendiri, kan? Dia nggak pantas buat lo," tambah Jojo, suaranya dipenuhi rasa kesal. "Ayo, kita pulang."
Calya hanya bisa mengangguk, membiarkan kedua sahabatnya menuntunnya berjalan ke arah parkiran. Di sana, matanya menangkap sebuah mobil hitam yang melaju pergi. Itu mobil Aksa. Ia melihatnya, melihat Aksa pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Hati Calya semakin perih. Entah mengapa ia merasa sedih ketika melihat Aksa pergi
Tanpa berkata apa-apa, Calya menggeleng. "Kalian pulang aja duluan. Gue mau naik taksi." Ia tidak ingin berlama-lama di sana, ia tidak ingin lagi berhadapan dengan siapa pun. Ia hanya ingin sendiri. Vira dan Jojo mengerti, mereka hanya mengangguk dan membiarkan Calya pergi.
Vira dan Jojo menawarkan untuk mengantar Calya ke apartemen Aksa, berharap Calya bisa berbicara dengannya dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Namun, Calya menolak. Hatinya terlalu sakit untuk berhadapan dengan Aksa saat ini. Ia hanya ingin sendiri.
Saat taksi yang ditumpanginya melaju, ponsel Calya bergetar. Sebuah notifikasi dari grup keluarga muncul, dan pesan dari ayah dan ibunya membuat dunia Calya serasa runtuh untuk kedua kalinya.
...Mama...
...Nak, mama dan papa sudah bicarakan ini. Pernikahanmu dengan Aksa akan dipercepat. Setelah kami pulang, kita akan langsung mulai persiapannya....
tak berselang lama hp Calya kembali berbunyi dan itu dari sang papa
...Papskuy...
...Kami tahu kamu akan bahagia, Nak. Ini yang terbaik untuk kamu....
Calya membacanya berulang kali. Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan hanya Rion yang mengecewakannya, kini kedua orang tuanya juga mengambil keputusan sepihak tanpa memikirkan perasaannya.
Air mata Calya tumpah, membasahi pipinya. Tangisannya pecah, isakannya terdengar pilu di dalam taksi. Ia merasa semua pintu telah tertutup. Ia tidak bisa lagi menolak, tidak bisa lagi lari.
Sopir taksi yang melihatnya hanya bisa diam. Ia mengamati dari kaca spion, merasa iba. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya apa-apa. Ia hanya terus melaju, membiarkan Calya menangis hingga tiba di tujuan.
Calya terus berjalan, menyusuri jalan setapak di dalam taman yang semakin sepi. Hari sudah beranjak senja, dan udara mulai terasa dingin. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh dari segala kekacauan yang menimpa hidupnya. Air mata sudah mengering, menyisakan rasa perih di dadanya. Ia merasa lelah, lelah dengan semua sandiwara dan kebohongan.
Di sisi lain, Aksa berada di apartemennya, mondar-mandir tak tenang. Ia sudah berada di rumah sejak tadi, namun tak ada tanda-tanda Calya akan pulang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam sore. Perasaan khawatir merayap di dalam dirinya. Ia tahu, Calya pasti sedang marah mendengar pernikahan ini dipercepat, tapi ia tidak menyangka Calya akan pergi dan tidak pulang hingga malam.
Dengan tangan gemetar, Aksa meraih ponselnya. Ia membuka daftar kontak, mencari nama Calya. Ia sadar, ini adalah pertama kalinya ia mencoba menghubungi Calya secara langsung. Selama ini, mereka berkomunikasi hanya melalui perdebatan dan ancaman. Ia mencoba meneleponnya, namun tak ada jawaban. Dicobanya lagi dan lagi, namun hasilnya sama. Panggilan itu terus terhubung ke kotak suara. Aksa merasa semakin cemas. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Aksa dengan cepat menyambar jaketnya. Ponselnya ia genggam erat. Ia sudah menghubungi Vira dan Jojo, tetapi jawaban mereka hanya menambah kecemasan. Mereka juga tidak tahu di mana Calya berada dan sudah mencoba meneleponnya berkali-kali tanpa hasil. Aksa tidak bisa lagi menunggu.
Tanpa membuang waktu, ia berlari ke parkiran apartemennya. Ia menekan tombol di kunci mobilnya, dan begitu pintu terbuka, ia langsung masuk dan menyalakan mesin. Dengan cepat, mobilnya melaju, menyusuri jalanan kota yang mulai gelap. Tanpa kacamata yang biasa ia pakai, wajah Aksa terlihat lebih jelas dan sangat tampan Namun, ketampanan itu tertutup oleh raut wajahnya yang tegang dan penuh kekhawatiran.
"Calya, kamu di mana?" bisik Aksa, suaranya parau. Ia memutar stir, mengarahkan mobilnya ke jalan-jalan yang mungkin biasa Calya lewati. "Kenapa enggak pulang? Jangan melakukan hal bodoh, Cal."
Pikirannya dipenuhi oleh gambaran-gambaran buruk. Ia merasa bersalah karena tidak mencoba menghubunginya lebih awal. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. Ia tahu Calya sedang terluka, dan ia takut, sangat takut, kalau Calya melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya. Malam itu, ia tidak hanya mencari calon tunangannya, tetapi juga mencari wanita yang entah sejak kapan telah merebut seluruh perhatiannya.
Di sisi lain, Calya berjalan gontai di trotoar. Dinginnya malam dan rintik hujan tak ia hiraukan. Baju seragam yang ia kenakan kini basah kuyup, menempel erat di tubuhnya. Ia tidak peduli. Perasaan di hatinya jauh lebih dingin dan basah dari rintik hujan yang mengguyurnya.
Pikirannya kembali memutar adegan tadi sore. Bagaimana Rion, sosok yang selama ini ia puja, pergi bersamanya. Calya merasa begitu bodoh. Ia ingat bagaimana Reina dengan manja memeluk lengan Rion, dan bagaimana Rion tidak menolak sedikit pun. Ia melihat senyum Rion, senyum yang sama yang ia kira hanya diberikan untuknya, kini diberikan pada orang lain.
Sakit. Hatinya sakit. Ia merasa dikhianati. Rion memberinya harapan, meyakinkannya bahwa perasaannya terbalas, tapi mengapa ia bisa sedekat itu dengan wanita lain? Air mata Calya kembali tumpah, bercampur dengan rintik hujan. Ia merutuki kebodohannya sendiri. Vira dan Jojo sudah menasihatinya, sudah memperingatkannya, tapi ia terlalu buta. Ia terlalu yakin bahwa Rion berbeda, bahwa ia bisa mengubahnya.
Kini, di bawah guyuran hujan dan dinginnya malam, Calya menyadari satu hal ia salah. Sangat salah. Ia membiarkan hatinya dikuasai oleh pria yang tidak pernah tulus mencintainya, dan kini ia harus menanggung semua rasa sakit itu sendirian.
Aksa mengacak rambutnya frustrasi, pandangannya menyapu setiap sudut jalan. Sudah satu jam lebih ia berkeliling kota, namun tak ada tanda-tanda Calya. Ponselnya ia lempar ke kursi samping, kesal karena panggilannya tak kunjung dijawab. Ia benar-benar panik. Firasat buruk terus menghantui pikirannya.
Tiba-tiba, di kejauhan, ia melihat sosok wanita berjalan lunglai di trotoar. Rambutnya basah, pakaiannya menempel di tubuh, dan langkahnya terasa tanpa tujuan. Jantung Aksa berdetak kencang. Itu... itu Calya. Tanpa pikir panjang, Aksa memarkirkan mobilnya secara serampangan dan langsung berlari menghampirinya.
"Calya!" teriak Aksa, suaranya dipenuhi amarah dan kekhawatiran yang bercampur aduk. "Lo ke mana aja?! Kenapa enggak angkat telepon gue?! Lo tahu gue khawatir setengah mati?!"
Calya tidak menoleh, ia hanya terus berjalan. Seolah tidak mendengar apa pun. Aksa, yang kini berdiri di depannya, menahan lengannya.
"Dengerin gue! Gue cari lo ke mana-mana!" desak Aksa, matanya tajam. "Kenapa lo kayak gini? Kenapa lo enggak peduli sama sekali? Gue mati-matian cari lo, dan lo malah jalan-jalan kayak gini?!"
Calya akhirnya menatapnya. Matanya sembab dan kosong, tidak ada ekspresi yang berarti. "Kenapa lo peduli?" tanyanya, suaranya serak dan lemas. "Bukankah ini yang lo mau? Gue enggak peduli, jadi lo juga enggak perlu peduli."
"Apa-apaan sih, Calya?! Lo pikir ini main-main?!" bentak Aksa, amarahnya memuncak. "Gue cuma pengen lo aman! Kenapa lo harus kabur?! Apa yang salah?"
Air mata kembali menetes di pipi Calya. Kali ini, ia tidak berusaha menyembunyikannya. "Semuanya salah, Aksa! Lo enggak tahu apa-apa!" balasnya. "Gue cuma mau sendiri. Apa itu salah?!"
"Salah! Kalau lo kayak gini, itu salah! Lo pikir gue bisa tenang di rumah?!" Aksa mengacak rambutnya frustrasi. "Kenapa, Cal? Kenapa lo kayak gini? Karena perjodohan itu? Apa karena Rion?!"
Mendengar nama Rion, Calya terdiam. Ia menunduk, tak berani menatap mata Aksa. "Itu bukan urusan lo," bisiknya.
"Bukan urusan gue?!" Aksa tertawa getir. "Tentu saja ini urusan gue! Lo tahu enggak?! Gue dijodohin sama lo! Gue calon suami lo! Gue berhak tahu kenapa lo bisa sampai sehancur ini!"
"Gue bilang bukan urusan lo! Jangan ikut campur!" teriak Calya, emosinya meledak. Ia mendorong Aksa, mencoba menjauh. "Pergi! Gue mau sendiri! Jangan pernah cari gue lagi!"
Aksa menahan dorongan itu, tangannya kembali menggenggam erat lengan Calya. "Gue enggak akan pergi! Gue enggak akan pergi sampai lo cerita apa yang terjadi! Gue tahu ini karena Rion, kan?! Dia ngapain lo? Kenapa dia bikin lo kayak gini?! Jawab, Calya!" desaknya, suaranya sedikit melunak, berubah dari amarah menjadi kepedihan. "Gue cuma pengen lo tahu, gue di sini. Gue di sini untuk lo, Cal." Aksa sangat murka ia bahkan menggunakan tak berkata aku ataupun kamu....