Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 4 Butterfly
Malam itu, kami berjalan tanpa tujuan,
tapi setiap langkah terasa seperti pulang.
Tidak ada peta, tidak ada rencana besar,
hanya dua orang asing yang perlahan membuka pintu ke dalam jiwa masing-masing.
Saat aku melihatnya untuk pertama kali, aku sedikit menahan nafas.
Tidak ada momen dramatis seperti di film-film,
tapi ada perasaan aneh yang menyelinap di dada.
Hangat, seperti akhirnya aku bertemu seseorang yang membuat segalanya terasa tenang.
Dia berdiri dengan senyum yang lebar, membawa dua minuman dingin yang dia sembunyikan di saku belakang celananya.
Aku tersenyum kikuk.
Entah kenapa, tidak ada rasa canggung seperti biasanya saat aku bertemu orang baru.
Tidak ada tekanan untuk tampil sempurna.
Hanya ada aku dan dia dalam malam yang terasa seperti selimut hangat.
"Kelly," katanya sambil menyerahkan minuman.
"Aku tidak tau kenapa aku sangat bersemangat bertemu denganmu malam ini."
Aku tertawa kecil, mencoba menyembunyikan pipiku yang memerah.
"Aku juga. Mungkin jika aku tidak pergi kerumah nenekku, kita tidak akan bertemu"
"Dikota mana kamu tinggal? Aku pikir kamu dari jakarta"
"Aku dari bandung. Ke jakarta hanya untuk berlibur"
Kami mulai berjalan menyusuri trotoar kota.
Langkah kami seiring, namun tidak tergesa.
Seolah kami menyusuri malam seperti sepasang teman lama yang baru saja bertemu kembali.
"Coba lihat itu, bulannya sangat indah dan cerah"
Katanya sambil menunjuk ke arah bulan. Seketika akupun menengok dan ya memang benar, bulan malam itu terlihat sangat cantik.
"Kemana kita akan pergi?" Tanyanya lagi
"Aku tidak tau" Jawabku polos.
"Apakah kamu suka berjalan seperti ini?"
"Ya aku suka. Bahkan jika kamu ingin kita bisa duduk di warung pinggir jalan. Minum kopi mungkin?"
"Ah! Ide yang sangat bagus! Ayo kita cari warung kopi!"
Dan kamipun berjalan menyusuri setiap jengkal jalan. Sampai akhirnya kami tiba di sebuah warung kopi. Kami duduk di sebuah bangku. Dan tiba tiba saja maarten memberikan 2 buah kinder joy untukku. Jajanan anak kecil yang ada disupermarket dan ada hadiah kecil didalamnya.
Aku tau, Maarten mengunjungi indonesia bukan untuk melalukan hal bodoh seperti ini. Duduk dipinggir jalan dengan ditemani segelas kopi. Hal seperti ini tidak ada dinegaranya. Tapi aku melihatnya berbeda. Dia menikmati hal hal baru. Dia tidak pernah mengeluh, dan Maarten adalah pria yang menyenangkan.
"Ini untukmu dan ini untukku. Kita akan buka ini sama sama. Dan kita lihat apa hadiahnya"
Ah, aku merasa ini bukan sekedar jajanan anak kecil. Akupun menuruti perintahnya. Kami membuka bungkus kinder joy itu. Dan kami menemukan hadiah didalamnya.
Malam itu, kami seperti sepasang anak kecil. Terlena dengan sebuah hadiah kecil.
"Ah, aku dapat hadiah kupu kupu berwarna ungu. Cantik sekali"
"Mana aku lihat?"
Maarten mulai memegang hadiah kecil itu, dan dia tersenyum sumringah.
"Aku dapat ini"
Sebuah gantungan kunci.
"Wah itu juga sangat lucu maarten! Tapi lebih lucu lagi hadiahku hahaha"
Aku mengejeknya.
Malam itu kami tertawa memecah keheningan kota. Kami berbincang selama satu jam disini. Aku adalah wanita yang sederhana, nongkrong dimanapun sangat menyenangkan. Tergantung siapa yang bersamaku. Dan marteen pun terlihat tidak keberatan. Dia sangat menikmatinya.
"Eh, kamu asyik banget orangnya kelly"
"Haha, kamu juga. Tapi aku sedikit pemalu"
"Aku suka caramu melihat dunia," katanya tiba-tiba.
"Mata kamu… seakan punya cerita yang belum selesai ditulis."
Aku terdiam. Kata-katanya menyentuh bagian dari diriku yang bahkan aku sendiri malu mendengarnya.
Dan saat dia menatapku, tidak ada penilaian. Hanya penerimaan.
Kami duduk di bangku itu cukup lama. Kami berbicara banyak hal.
Jakarta mulai tenang. Udara malam menyentuh kulit seperti bisikan lembut.
Maarten bercerita tentang laut, tentang sepinya malam di tengah ombak,
dan tentang bagaimana ia mulai lelah dengan kesendirian yang terlalu panjang.
Aku tidak banyak bicara. Tapi saat aku mendengarkannya,
aku merasa seperti menemukan cermin yang jauh, tapi memantulkan luka yang sama.
"Aku bukan pria yang sempurna, Kelly," ucapnya lirih.
"Aku tidak tahu ke mana arah hidupku nanti. Tapi malam ini… aku bahagia bersamamu."
Aku menatapnya. Untuk sesaat, aku lupa rasa sakit yang pernah mengoyakku.
Aku lupa tentang janji-janji palsu, tentang air mata yang menetes diam-diam.
Karena saat ini, aku duduk disamping seseorang yang tidak berjanji apa-apa, tapi bisa membuatku tersenyum dihari pertama.
"Kelly, apa ini pertama kalinya kamu bertemu dengan seorang turis?"
Aku tersenyum hangat dan menatap matanya pelan.
"Tidak. Aku pernah bertemu dengan banyak turis sebelumnya"
"Ah itu sangat menyenangkan. Bagaimana kamu bisa mengenal mereka?"
"Ya aku mengenal mereka dulu ketika aku sedang berlibur. Dan kami berkenalan"
"Aku pikir, kamu mencarinya di aplikasi"
"Haha tidak. Aplikasi tidak menjanjikan apapun. Hanya berkenalan biasa. Ya mungkin sama seperti kita sekarang. Kamu datang untuk berlibur, dan setelah liburanmu selesai, kamu akan kembali kenegaramu. Dan mungkin melupakanku"
"Haha tidak. Kamu adalah gadis yang menyenangkan. Kamu tampil sederhana, dan ya aku menyukai ini semua. Aku menyukai tempat ini, aku menyukai hal hal seperti ini. Karena dinegaraku jarang ditemukan tempat seperti ini"
Aku tersenyum hangat. Sejenak aku memandangi hadiah kupu kupu yang ada ditanganku.
"Aku sampai lupa, dari mana kamu berasal?"
Maarten tertawa sangat keras. Aku merasa bingung dan mengernyitkan dahiku.
"Amm kelly, kau sampai lupa bertanya hal penting seperti ini"
Lalu kamipun tertawa, memecah keheningan.
"Hahaha, maaf. Mungkin aku terlalu antusias bertemu denganmu, sampai aku lupa menanyakan ini"
"Tidak apa apa"
Maarten menepuk pundakku pelan lalu tersenyum.
"Aku dari belgia"
"Belgia? Oh negara yang sangat indah. Aku sangat menyukai negara belgia, dan katanya belgia adalah penghasil cokelat terbaik"
"Ya, bisa dibilang begitu. Tapi aku bosan dengan coklatnya haha. Oh ya, apakah kamu pernah pergi keluar negeri?" Tanya maarten dengan meminum kopi, kopi yang sudah terlihat dingin.
"Tidak pernah. Aku tidak pernah mengunjungi negara manapun"
"Kenapa?"
"Aku bukan orang kaya. Aku tidak mempunyai apapun untuk bisa pergi keluar negeri. Bahkan bahasa inggrisku sangat buruk"
Maarten menarik nafasnya pelan dan mencoba memahami apa yang aku katakan.
"Kau tau, suatu hari nanti kau akan seperti kupu kupu ini. Kamu akan terbang kemanapun yang kamu inginkan. Kamu akan mempunyai sayap yang indah. Dan kamu tau? bahasa inggrismu cukup bagus. Dan kamu hanya perlu belajar sedikit lagi".
Malam itu, aku merasa tidak ingin cepat selesai.
Langit terlalu tenang untuk menyembunyikan apa yang sedang tumbuh di antara kami.
Bintang-bintang berkilau malu-malu, seolah tahu bahwa malam ini bukan sekadar pertemuan dua orang asing.
Ada sesuatu yang perlahan bergerak di dada, bukan detak jantung biasa, tapi denyut rasa yang baru saja belajar tumbuh.
Kopi kami sudah mulai dingin, tapi hangat yang lain justru makin terasa.
Bukan dari cangkir, tapi dari jeda-jeda hening yang tidak canggung, dari tawa kecil yang tidak dibuat-buat, dari tatapan mata yang tidak banyak bertanya tapi seolah tahu segalanya.
Aku duduk di sampingnya, mendengarkan dia berbicara, seperti motivator baru dihidupku.
Setiap kalimatnya seperti benang halus yang menjahit luka-luka lama yang bahkan aku sudah lupa bagaimana awalnya.
Lucu ya…
Terkadang kita tidak butuh tempat mewah untuk merasa istimewa.
Cukup seseorang yang membuatku merasa layak untuk dihargai, bahkan dalam versiku yang paling sederhana.
Angin malam memeluk kami pelan.
Lampu jalan berkedip redup, dan suara kendaraan di kejauhan seperti gema dari dunia lain yang tidak penting.
Yang nyata hanya kami, duduk di pinggir jalan, menertawakan hal-hal kecil, dan merasa seolah dunia tidak perlu lebih dari ini.
Ada bagian dari diriku yang ingin waktu berhenti di sini.
Tepat di tengah tawa dan diam kami yang saling melengkapi.
Tepat saat aku sadar, mungkin… hanya mungkin… aku sedang jatuh cinta.
Bukan karena kata-katanya, tapi karena kehadirannya yang tidak pernah memaksaku menjadi siapa-siapa, selain diriku sendiri.
Tapi tidak, cinta tidak sesederhana itu............