Rayna Sasa Revalia, gadis dengan karakter blak-blakan, humoris, ceria dan sangat aktif. Dia harus meninggalkan orang tua serta kehidupan sederhananya di kampung karena sebuah kesialan sendiri yang men-stransmigrasikan jiwa gadis itu ke dalam sebuah karakter novel.
Sedih? Tentu. Namun ... selaku pecinta cogan, bagaimana mungkin Rayna tidak menyukai kehidupan barunya? Masalahnya, yang dia masuki adalah novel Harem!
Tapi ... Kenapa jiwa Rayna harus merasuki tubuh Amira Rayna Medensen yang berkepribadian kebalikan dengannya?! Hal terpenting adalah ... Amira selalu di abaikan oleh keluarga sendiri hanya karena semua perhatian mereka selalu tertuju pada adik perempuannya. Karena keirian hati, Amira berakhir tragis di tangan semua pria pelindung Emira—adiknya.
Bagaimana Rayna menghadapi liku-liku kehidupan baru serta alur novel yang melenceng jauh?
~•~
- Author 'Rayna Transmigrasi' di wp dan di sini sama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama Sekolah
Pada malam hari, Emira datang ke kamar Rayna untuk mempersiapkan sekolah di bantu seorang pembantu. Rayna seperti seorang ratu. Dia dengan santai selonjoran di atas kasurnya seraya mengotak-atik ponsel Amira yang sudah menjadi miliknya. Ketika sore hari Rayna melihat sebuah ponsel di sebuah laci, Rayna sempat bertanya siapa pemilik itu kepada Emira. Tentu saja, Emira menjawab miliknya. Rayna hampir melompat-lompat kegirangan. Karena baru kali ini dia memiliki ponsel.
“Njir, ni hape lebih gede kalo di bandingin sama yang punya si Dea. Kalo gue bawa hape ini ke kampung gue, udah gue pamerin ke seluruh desa,” monolog Rayna melihat aplikasi-aplikasi di dalam ponsel berwarna grey itu.
“Kak, besok pelajaran di kelas kakak apa aja?” tanya Emira yang akan memasukan buku ke dalam tas kakaknya..
Rayna menoleh. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya menyengir bingung. “Gue gak ta—eh, lupa, lupa.”
Emira geleng-geleng kepala. Lalu membuka ponselnya untuk bertanya kepada salah satu teman sekelas kakaknya.
Rayna kembali fokus pada benda pipih di kedua tangannya. Sebenarnya, sedari tadi ia hanya menggeser kanan-kiri melihat aplikasinya. Tapi ia tidak berani menekan salah satu dari apk di ponsel itu, takut salah tekan sesuatu.
Rayna melirik Emira yang tengah melihat bulak-balik ponsel dan buku yang akan di masukan ke dalan tas. Rayna bingung harus memanggil Emira apa. “Em ....”
Emira menoleh saat mendengar gumamannya. Melihat ekspresi bingungnya, dia bertanya. “Ada apa, Kak?”
Rayna tersenyum canggung. “Gue manggil lo apa, ya?”
Emira menatap kakaknya seraya berfikir. Ia juga bingung, karena kakaknya jarang berinisiatif memanggil namanya. Walaupun butuh sesuatu, kakaknya selalu memanggil ‘ heh, lo’. Emira mengingat panggilan kakaknya ketika masih akrab. Tersenyum lembut menatap Kakaknya. “Panggil aja aku Mira, Kak.”
Rayna mengangguk dengan senyuman di sudut mulutnya. Lalu menatap Emira seraya mengangkat ponsel itu. “Mira gue mau tanya dong. Gimana cara gunain hape ini?”
Emira menatapnya heran. “Kakak kaya baru kenal ponsel aja. Itu ‘kan punya kakak. Masa gak tahu?”
Rayna menyengir canggung. Apa gue kasih tahu aja, kalo gue hilang ingatan sama si Mira? Rayna menatap Emira ragu. “Mir, gue mau kasih tau sesuatu. Tapi rahasia ....”
Emira menyatukan alisnya. Lalu mendekati kakaknya dan duduk di kasur di samping Rayna. “Rahasia apa?”
Rayna mendekat, berbisik di telinga Emira. “Gue gak inget apa-apa. Gue juga gak kenal keluarga gue sendiri selain lo.”
Pikiran Emira ngelag. Dia menjauh dan menutup mulut kaget menatap kakaknya dengan tidak percaya. Emira menggeleng tersenyum hampa. “Kakak jangan becanda, deh ....”
Rayna berkedip beberapa kali terlihat gugup.
Emira mengingat reaksi kakaknya ketika baru saja bangun dari siang. Kakaknya sama sekali tidak mengenali mamahnya, dan menatap mereka seperti orang asing. Emira menatap Rayna dengan mata berkaca-kaca.
Rayna gelagapan melihat Emira yang akan menangis. “Gu-e gak pa-pa, kok. Kan lo tahu, gue sakit bukan karena terbentur. Jadi, nanti gue pasti Inget lagi.” Rayna mengusap bahunya dengan kaku. Tapi Emira malah memeluknya. “Hiks, Kak, maafin Emira .... “
Rayna membalas pelukannya dengan canggung. “Ke-napa lo minta maaf? Ini salah gue sendiri.” Emira semakin menangis.
“Ada apa ini?” Suara seorang pria datang dari pintu kamar.
Rayna dan Emira menoleh bersamaan mendapati keluarganya yang menatap mereka dengan cemas. Namun, ekspresi Emira menjadi marah. Dia melepaskan pelukannya dan beranjak menghampiri mereka dengan air mata mengalir. “Ini semua gara-gara kalian semua!” teriaknya marah lalu berlari keluar kamar menabrak bahu kakak keduanya.
Mereka menatap kosong kepergian Emira. Lalu perhatian mereka beralih pada Rayna seraya mengerutkan kening. “Amira, ada apa? Bisa kamu jelasin?” Pria yang menjadi ayah Amira itu bertanya dengan tajam.
Rayna menatap mereka dengan serba salah. Apalagi, melihat mata ketiga pria dan satu wanita itu tajam menatapnya, Rayna langsung menciut dengan kepala menggeleng. “Gak tau. Mira tiba-tiba nangis.”
Melihat mereka yang tidak pergi, Rayna membaringkan badannya, membelakangi mereka dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. “Gue mau tidur.” Dengan suara teredam, Rayna mengkode mereka untuk segera pergi.
Mendengar langkah kaki pergi, Rayna menghela nafas di balik selimut tebalnya. “Kayaknya hidup gue sekarang gak selurus jalan tol, gak semulus dan selembut tepung aci, deh.”
“Gak pa-pa, dah. Yang penting gue punya uang banyak, gak ada penghalang buat nyari cogan juga.” Mata Rayna mulai memberat yang awalnya Cuma tiduran untuk membuat mereka pergi.
“Hah, gue ngantuk.” Rayna mulai menutup matanya dan langsung tertidur.
***
Keesokan harinya, Rayna bangun dengan linglung menatap kamar asing yang tengah ia tempati. Setelah ingat, Rayna menepuk keningnya. “Gue lupa gue pindah ke dunia novel.”
Rayna melirik sebuah jam kecil di sisi tempat tidurnya yang menunjukan pukul 04.45. Dia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sudah menjadi kebiasaannya bangun pagi. Biasanya Rayna dibangunkan emaknya sangat pagi, jadi ketika Rayna bangun jam 5 kurang, itu sudah sangat siang.
Rayna mengambil seragam yang sudah terlipat rapi di lemari. Setelah membawa handuk, Rayna berjalan ke kamar mandi. Butuh waktu sekitar 20 menit Rayna keluar dalam keadaan segar. Kamar mandi mewah itu sudah tidak di tanggapi udik Rayna lagi. Karena kemarin ia sudah memekik heboh ketika akan buang air kecil mendapati kamar mandi sebesar itu.
Rayna membuka jendela balkon. Langit sudah terang. Ia terdiam memandang langit seraya menikmati udara pagi yang segar. Sampai matahari terbit menyorot ke arahnya, Rayna langsung bersiap untuk pergi ke sekolahnya. Berhadapan dengan cermin, Rayna bingung bagaimana penampilan Amira ketika ke sekolah. “Gimana gue aja kali, ya?”
Amira mempunyai rambut hitam sepunggung. Poni yang menghalangi matanya. “Ni, poni ngehalangin penglihatan gue aja.” Rayna mengutak-ngatik poninya. “Gue potong dikit gak pa-pa, ‘kan?” Rayna tersenyum dan mengambil gunting.
Pintu kamar Rayna terbuka tiba-tiba diikuti jeritan panik.
“KAKAK! APA YANG KAKAK LAKUIN?”
Emira melihat kakaknya memegang gunting mengarah ke wajahnya. Emira langsung mengambil gunting itu dari tangannya.
Rayna tersentak kaget. Ia menoleh menatap bingung Emira. “Gue mau pot—“
“Kenapa kakak nyakitin diri sendiri? Aku mohon, Kak. Jangan lakuin ini.” Mata Emira mulai memerah akan menangis.
Rayna berkedip bingung. Menggaruk kepalanya. Lalu menyentuh rambut di keningnya. “Gue mau potong poni.”
Emira termangu. Lalu menghela nafas lega namun merasa malu. “... oh, kalo gitu aku bantuin.” Rayna mengangguk. Melupakan maksud ucapan Emira yang belum ia mengerti, ia berkata. “Cuma dikit kok yang di potong, soalnya ngehalangin penglihatan.”
Emira mengangguk mengerti. Ia mulai memotongnya serapi mungkin, sedangkan Rayna mengikat asal rambutnya menjadi kuncir kuda. Setelah selesai, Emira menatap takjub kakaknya. “Kakak cantik banget kalo gini!”
Rayna bercermin. Lalu mengangguk arogan menyetujui ucapan Emira. “Iya. Ternyata gue cantik.”
Emira terkekeh. “Ayo, kita sarapan dulu.”
Rayna menoleh bingung. “Ke mana?”
“Ke meja makan, lah! Ke mana lagi?” Emira menatapnya geli.
“Oh.” Rayna menyengir bodoh.
biar flashback
kok pindah NT?😅