NovelToon NovelToon
The Ceo'S Heart Subtitute

The Ceo'S Heart Subtitute

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Pengganti / CEO / Chicklit
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: flower

--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**

--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 32 Amarah

Malam hari.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Luna yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. Jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat Bryan melangkah masuk ke dalam kamar. Ada rasa lega yang sulit ia sembunyikan. Setelah satu minggu penuh tanpa kehadiran Bryan, akhirnya pria itu pulang ke rumah.

Namun sebelum Luna sempat berdiri dan menghampirinya, Bryan justru lebih dulu melangkah mendekat. Ia berhenti tepat di hadapan Luna, tatapannya dingin dan tajam. “Lain kali jangan ulangi kesalahanmu” ucap Bryan datar. “Aku tidak suka.” Luna terdiam.

“Keluar rumah tanpa izinku itu sopan, menurutmu?” lanjutnya. “Apa kamu lupa kalau aku hanya mengizinkanmu keluar untuk kuliah saja, tidak lebih.” Kata-kata itu terasa menusuk. Luna menunduk, jemarinya saling menggenggam, menahan perasaan yang kembali runtuh. Rasa lega yang tadi sempat muncul perlahan menghilang, berganti dengan perasaan asing, takut, dan terluka.

“Maaf…” suara Luna lirih. “Aku nggak bermaksud melanggar apa pun. Aku cuma khawatir… sudah satu minggu kamu nggak pulang ke rumah.” Bryan justru tersenyum miring. Senyum yang sama sekali tidak membuat Luna tenang.

“Khawatir aku nggak pulang,” katanya pelan, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit “atau kamu sebenarnya merindukan kehangatanku, hmm?” Nada dingin itu seolah meremehkan Luna dan langsung menyulut amarah Luna. Tangannya mengepal, dadanya naik turun menahan emosi yang selama ini ia pendam.

“Apa maksudmu berbicara seperti itu?” Luna menatap Bryan, matanya mulai memerah, nadanya bergetar. “Aku khawatir karena aku peduli itu saja" Bryan tertawa kecil, tanpa rasa bersalah. “Jangan terlalu merasa peduli” ujarnya datar. “Aku pulang atau tidak, hidupmu tetap sama, bukan?”

Kalimat itu seperti pukulan telak. Luna terdiam, amarahnya bercampur dengan rasa sakit yang menusuk dalam. Untuk pertama kalinya malam itu, ia sadar kehadirannya di hidup Bryan mungkin tak pernah benar-benar dianggap. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada ia tinggal bersama keluarga angkatnya. 'sakit sekali....ini lebih menyakitkan daripada ibu angkatku memperlakukan ku tidak adil' batin Luna berusaha menahan air matanya.

Luna terdiam. Seolah mulutnya tak lagi mampu mengeluarkan satu kata pun. Semua yang ingin ia sampaikan mendadak menguap, tergantikan oleh perasaan sesak yang menekan dadanya.

Bryan menatap istrinya sekilas. Melihat Luna hanya diam, pria itu justru tersenyum dingin, tanpa sedikit pun rasa iba. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Pintu tertutup pelan, namun bunyinya terasa begitu keras di telinga Luna.

Ia kini kembali sendiri, di dalam kamar yang terasa jauh lebih sunyi dari sebelumnya. Luna duduk mematung, membiarkan air mata jatuh perlahan, menyadari bahwa kehadiran Bryan barusan tak lebih dari sekadar singgah dan meninggalkan luka yang semakin dalam.

"Memang akulah yang salah,” ucap Luna pelan, sambil mengusap air matanya. “Seharusnya aku tidak pergi ke suatu tempat tanpa seizinnya… apalagi dia tidak tahu. Pasti dia marah. Aku harus membujuknya… agar memaafkan aku.”

Luna menunduk, menelan rasa sakitnya sendiri. Di dalam hatinya, ia benar-benar mengakui kesalahan itu. Meski hatinya terluka karena perlakuan Bryan, ia tetap merasa bertanggung jawab dan ingin memperbaiki semuanya

.

.

.

.

Keesokan harinya, Luna bangun lebih pagi dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan dengan hati-hati, memastikan semuanya rapi dan harum ketika disajikan. Setiap gerak tangannya dipenuhi harapan, berharap hari ini segalanya bisa berbeda.

Tak lama, terdengar suara langkah berat dari tangga. Bryan menuruni anak tangga, wajahnya masih sedikit kusut karena baru bangun.

“Mio Caro… ayo sarapan dulu,” ucap Luna dengan lembut, suaranya membawa harapan terselip di antara setiap kata. Ia menatap suaminya penuh harap, berharap sarapan yang ia buat bisa meluluhkan hati Bryan… membuatnya kembali seperti dulu, hangat dan dekat seperti yang ia kenal.

Bryan menatap sarapan yang tersaji di meja, aroma masakan Luna membuatnya terhenti sejenak. Matanya menelusuri setiap hidangan yang tertata rapi, tapi wajahnya tetap sulit ditebak. “Apa ini semua untukku?” tanyanya datar, nada suaranya masih dingin, tapi ada sedikit keraguan yang terselip. Luna tersenyum tipis, menunduk sambil menata piring.

“Iya… aku ingin kita sarapan bersama. Semoga kamu suka,” ucapnya lembut. “Aku cuma ingin kita… bisa mulai hari ini dengan baik.” Bryan menghela napas panjang, kemudian duduk di kursi, matanya sesekali menatap Luna. Ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Luna menahan napas.

Luna duduk di seberangnya, hati berdebar. Ia berharap, sekecil apa pun, senyum kecilnya dan sarapan ini bisa membuka kembali dinding yang selama ini membatasi kedekatan mereka. Bryan akhirnya mengambil sendok, menatap hidangan, lalu perlahan mencicipi. Suasana hening sejenak, tapi bagi Luna, itu sudah terasa seperti kemenangan kecil. Ia tahu, langkah pertama untuk memperbaiki semuanya baru saja dimulai.

“Apa… malam ini kau akan pulang…?” tanya Luna hati-hati, suaranya bergetar sedikit. Matanya menatap Bryan, berharap bisa membaca sesuatu dari ekspresinya.

Bryan menatap Luna sekilas, lalu menunduk menatap piringnya sendiri. Sunyi memenuhi meja makan beberapa saat, hanya terdengar suara sendok dan garpu saat ia mengambil sedikit makanan.

“Aku… belum tahu,” jawab Bryan akhirnya, nadanya datar tapi tidak dingin seperti biasanya. Ada jeda panjang sebelum ia menambahkan, “Mungkin aku akan tinggal di kantor malam ini… banyak yang harus diselesaikan.”

Luna merasa seperti menelan lumpur di tenggorokannya, menahan kecewa yang muncul. Ia tahu jawaban itu bukan yang ia harapkan, tapi setidaknya nada suaranya tidak sekeras malam sebelumnya. Sedikit lega muncul, meski hatinya masih ragu.

“Apakah nanti siang, sepulang kuliah, aku boleh ke kantormu untuk mengantar makan siang untukmu?” tanya Luna lagi, matanya menatap Bryan penuh harap. Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Bryan menghentikan tangannya dan menatapnya tajam.

“Tidak perlu,” ucapnya singkat.

“Kenapa?” Luna sedikit terkejut, nada suaranya pelan tapi jelas menyimpan rasa kecewa. “Karena aku bisa memesan sendiri” jawab Bryan datar

Luna menunduk, menahan sakit di dadanya. Sekalipun hatinya ingin memeluk Bryan dan menunjukkan perhatiannya, kata-kata pria itu seakan menutup pintu untuk kedekatan mereka. Ia menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. Setelah makanan di piringnya habis, Bryan berdiri. “Aku pergi,” ucapnya datar, tanpa menatap Luna sama sekali.

Luna hanya mengangguk, menahan rasa kecewa dan sakit yang kembali menusuk dadanya. Ia menonton Bryan melangkah keluar, meninggalkan dirinya sendiri di meja sarapan yang kini terasa hampa. Sunyi menyelimuti ruangan. Luna tetap duduk di kursinya, jemarinya meremas tepi meja, mencoba menenangkan diri.

Luna menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya.

“Mungkin akhir-akhir ini dia banyak pekerjaan, makanya bersikap seperti ini,” gumamnya pelan, menenangkan diri sendiri.

Ia menutup mata sejenak, lalu melanjutkan pikirannya.

“Dan untuk wanita kemarin… mungkin itu sekretarisnya. Mungkin dia hanya bertugas membawakan makan siang untuknya.”

Dengan berpikir seperti itu, Luna berusaha menahan rasa cemburu dan kecewa yang mulai muncul. Meski hatinya masih perih, ia memilih untuk tetap positif mempercayai bahwa Bryan, pria yang ia cintai, tidak berniat menyakiti perasaannya.

1
Dwi Winarni Wina
kasian luna diperlukan kayak pembantu sm orgtua angkatnya...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!