Bagaimana jadinya ketika bayi yang ditinggal di jalanan lalu dipungut oleh panti asuhan, ketika dia dewasa menemukan bayi di jalanan seperti sedang melihat dirinya sendiri, lalu dia memutuskan untuk merawatnya? Morgan pria berusia 35 tahun yang beruntung dalam karir tapi sial dalam kisah cintanya, memutuskan untuk merawat anak yang ia temukan di jalanan sendirian. Yang semuanya diawali dengan keisengan belaka siapa yang menyangka kalau bayi itu kini sudah menjelma sebagai seorang gadis. Dia tumbuh cantik, pintar, dan polos. Morgan berhasil merawatnya dengan baik. Namun, cinta yang seharusnya ia dapat adalah cinta dari anak untuk ayah yang telah merawatnya, tapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Siapa yang menyangka gadis yang ia pungut dan dibesarkan dengan susah payah justru mencintai dirinya layaknya seorang wanita pada pria? Mungkinkah sebenarnya gadis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cat Woman
Morgan membuka pintu toko untuk Cherry sehingga gadis itu masuk lebih dulu lalu dirinya berjalan di belakangnya.
Kini Morgan dan Cherry sedang berada di sebuah toko yang menyediakan berbagai hadiah. Kedatangan mereka ke toko ini untuk membeli hadiah yang akan diberikan kepada teman Cherry yang akan berulang tahun.
Cherry melihat berbagai barang yang ada di rak. Dia mengetuk-ngetuk dagunya menandakan bahwa dia sedang berpikir keras.
"Jadi, hadiah seperti apa yang akan kamu berikan pada temanmu itu?" tanya Morgan, setelah beberapa saat hanya diam mengikuti Cherry melihat-lihat barang tanpa mencoba memilih satupun.
Cherry berhenti di ujung rak, tubuhnya berputar seratus delapan puluh derajat menghadap Morgan. "Tidak tahu," jawabnya santai.
"Kamu belum memikirkannya?" Tangan Morgan yang melipat di dada terulur di depan Cherry seakan sedang meminta hasil berpikir gadis itu sejak tadi.
Cherry menghela napasnya. "Aku bingung."
"Mmmm...." Morgan meletakkan jari telunjuknya di bibir, tengah berusaha untuk membantu Cherry menemukan hadiah yang tepat.
"Begini saja. Apa hal yang paling disukai oleh temanmu?"
Cherry menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."
"Kalau begitu, apa hal yang paling dibutuhkan teman mu? Ponsel? Alat tulis? Atau,-"
Lagi dan lagi Cherry menggelengkan kepalanya. "Aku juga tidak tahu."
"Shit," umpat Morgan, menahan suaranya supaya tak terlalu lantang. Ia menatap Cherry heran.
"Kalau begitu hal apa yang paling menonjol dari temanmu?" Kembali, Morgan bertanya dengan sabar.
"Aku tidak tahu," jawab Cherry, suaranya seakan teredam sehingga Morgan tak bisa mendengar jelas suaranya.
"Teman seperti apa kalian? Kenapa kamu tidak tahu apapun tentang dia?" pekik Morgan, sedikit frustasi menghadapi Cherry yang serba tidak tahu.
Gadis itu kini sedang mencoba tersenyum lebar membuat giginya yang berderet rapi semakin terlihat jelas. "Jangan bilang kalau dia akan mengatakan tidak tahu lagi," batin Morgan
"Aku tidak tahu," celetuk Cherry. Ia mengangkat kerah baju untuk menutupi setengah wajahnya. Setidaknya ia tidak terlalu malu.
"Oh my goodness!" Morgan menepuk keningnya cukup keras. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kelima jarinya secara kasar.
"Tapi ketika ada kucing dia akan langsung bermain bersama kucing itu. Di mana pun itu dan tidak peduli kucing manapun itu. Apa itu artinya dia menyukai kucing?" tanya Cherry ragu-ragu.
Morgan menatap Cherry dengan bibir yang tertutup rapat. "Mungkin saja," jawabnya singkat.
"Haruskah kita belikan kucing saja untuknya?"
"Bagaimana dengan boneka kucing saja? Jadi aku juga tidak perlu menyentuh kucing hidup karena aku tidak begitu suka dengan bulunya yang suka menempel."
"Aku tidak suka yang berbulu," tandas Cherry. Bulu apapun itu dirinya benar-benar tidak suka karena bulu tersebut terasa geli ketika menyentuh kulit. Di beberapa hal juga bulu tampak sangat jelek, bulu kemaluan contohnya. Ia sangat membenci itu.
Morgan hampir tersenyum ketika mendengar Cherry mengatakan kalimat tersebut. Otaknya yang mesum langsung tertuju ke arah sana. Masih terlukis jelas di kepalanya bagaimana warna pink menggoda dari bagian dalam tubuh Cherry.
Tapi mungkin jika dirinya menunjukkan milik pribadinya, Cherry tak akan suka, secara dirinya sangat jarang membersihkan bulu-bulu yang ada di miliknya karena terlalu malas.
Keputusan sudah diambil dan pada akhirnya Cherry membeli boneka kucing yang besar. Kini mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang.
"Cherry, aku masih punya sedikit pekerjaan di kantor. Apa tidak apa kamu di rumah sendirian?" tanya Morgan, menoleh sekilas pada Cherry sebelum kembali fokus ke jalan yang sedang dilalui mobilnya.
Gadis itu justru malah diam. Apa dia tidak mendengar pertanyaannya? Morgan bertanya-tanya dalam benaknya.
"Cherry!" panggilnya, barangkali Cherry benar-benar tidak mendengar ucapannya tadi.
"Kalau aku ikut ke kantor mu bagaimana?" tanya Cherry saat itu juga menatap mata Morgan.
Ternyata gadis itu mendengarkan hanya saja diamnya itu sedang berpikir. "Tidak bisa," bantah Morgan begitu cepat.
"Kenapa?"
"Di rumah lebih baik karena nyaman dan tak perlu bertemu dengan banyak orang, kamu bisa istirahat dengan tenang, bertemu banyak orang terkadang melelahkan juga loh. Pokoknya lebih baik di rumah saja."
"Yasudah kalau begitu," pungkas Cherry. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan matanya melihat ke luar jendela.
"Jangan marah. Saat pulang aku akan membawakan makanan kesukaan mu."
"Aku tidak marah kok. Toh, aku punya tugas sekolah yang harus dikerjakan."
####
Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, baik di luar maupun di dalam kesunyian seakan menyelimuti rumah ini.
'Shuuush' Angin mendesing, menggetarkan kaca jendela kamar Cherry dengan lembut namun tegas seolah sedang berbisik di malam yang sunyi ini.
'Tik...tok...tik...tok....' Bunyi detak jam berdentang begitu jelas, seolah menghitung waktu yang terasa lambat di tengah kesunyian.
Meski kesunyian menyelimuti tapi gadis muda di dalam rumah ini tak takut apapun, dia terlarut dengan dunianya sendiri. Berkutat dengan sejumlah buku pelajaran yang membuatnya diam fokus memahami semua yang ada di dalam sana.
Tangannya berulang kali menyalin kalimat dari buku pelajaran ke buku catatannya. "Eh?" Cherry melihat tinta pulpennya, ternyata habis, pantas sudah tak ada warna.
Gadis itu mengobrak-abrik wadah alat tulisnya tapi pulpen yang dipegangnya saat ini miliknya satu-satunya. Cherry beranjak dari kursi dan berjalan keluar kamar, bermaksud pergi ke kamar Morgan dan meminjam pulpen pria itu.
"Kenapa Morgan belum pulang juga?" gumam Cherry saat melihat jam di dinding rumah.
Dia membuka pintu kamar Morgan. Kamar yang luas tapi selalu sepi dan memiliki pencahayaan yang minim. Tidur sendirian di sini pasti terasa sangat dingin, tapi Morgan selalu menolak ajakannya untuk tidur bersama.
Cherry berjalan ke nakas kecil di samping tempat tidur. Beberapa kali dirinya pernah melihat ada pulpen di sana.
DUGH
"Awww!" pekik Cherry kesakitan. Kaki kanannya berjinjit jinjit saat kaki kirinya yang tersandung di angkat untuk ditekan. Ia duduk di samping ranjang sambil memijat kakinya yang benar-benar sakit.
"Benda menyebalkan apa yang ada di bawah sini?" gerutu Cherry lalu mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke bawah ranjang.
Tepat di bawah kakinya, ada sebuah koper kecil berwarna hitam pekat. Cherry langsung turun dan duduk di sampingnya. Rasa penasarannya tak akan hilang sebelum tahu apa isi dalam koper ini.
Cherry membuka laci paling bawah dan siapa yang menyangka kalau dirinya akan menemukan kunci kopernya begitu cepat. Tak ingin buang waktu tangannya bergerak cepat membuka kunci koper.
"Mungkinkah di dalamnya ada senjata?" gumam Cherry menerka.
Kini kuncinya sudah terbuka, akan tetapi dirinya belum berani untuk membukanya. "Bagaimana kalau ternyata di dalamnya itu ada bom seperti dalam film-film?"
Cherry menahan napas, matanya tajam menatap koper, tangannya pun perlahan membuka koper tersebut, dan koper pun terbuka lebar.
"Eh?" Cherry menggaruk lehernya. Ternyata di dalam koper tidak ada senjata ataupun bom. Penasaran ia pun mengangkat salah satu benda yang juga berwarna hitam.
"Ini bra?" pekik Cherry. Tangannya mengambil lagi benda lainnya dan ternyata itu adalah celana dalam. Ia meletakkan semua itu ke tempatnya dan mengambil benda panjang yang menarik perhatiannya.
"Ini ekor kucing, kah?" Cherry mengamatinya dengan sangat serius. Matanya melebar saat pikirannya mendapat sebuah tebakan.
"Ini pasti kostum kucing," ujarnya mantap. "Tapi, kenapa Morgan memiliki semua ini? Apa dia suka memakai hal seperti ini?"
Gadis pemilik otak kecil dan polos itu segera menggelengkan kepalanya. Ia menyangkal tebakannya yang terakhir. Mustahil sang Morgan si pria sangar suka cosplay menjadi kucing.
"Apa mungkin ini untuk ku tapi dia belum berani memberikannya?" tebak Cherry lagi. Sambil berpikir ia menatap pintu kamar.
"Aku akan mencobanya saja," putus Cherry.
Cherry mengangkat koper tersebut dan diletakkan di atas ranjang Morgan. Ia mulai menanggalkan semua pakaikannya yang juga kini di simpan di atas ranjang.
"Bando!" Cherry memasangkan bando ke kepalanya secara asal.
"Di kalungnya juga ada loncengnya. Mirip seperti untuk kucing saja."
Cherry menatap dirinya di pantulan cermin di kamar ini. Bando yang seperti telinga kucing dan kalung yang ada loncengnya, jika dirinya bergerak sedikit saja maka loncengnya akan bersuara.
Cherry kemudian memasangkan bra yang juga berwarna hitam. Bra hitam yang melekat di tubuhnya kini menonjolkan keindahan yang pasti akan menggoda iman Morgan. Ditambah dengan pita hitam yang membelah dada dan bulu-bulu halus di sisinya.
Jemari lentiknya menyentuh permukaan halus bra itu. Bahan satin yang terasa nyaman di kulit. Cherry tersenyum puas. Bra ini sangat pas dengan ukuran buah dadanya, menonjolkan bentuknya yang padat dan berisi.
Dengan gerakan lembut Cherry meraba-raba buah dadanya yang terbungkus bra hitam, menikmati sensasi sentuhannya sendiri.
Kembali, Cherry mengambil benda yang masih ada di dalam koper. Ia mengambil celana dalamnya sebelum nanti memasangkan ekor panjang di bokongnya.
"Ah!" Cherry menganga lebar kala dirinya hendak melihat diri sendiri di cermin tapi celana dalamnya justru malah melorot.
Gadis itu menunduk menarik lagi celana dalamnya dan untuk kedua kalinya celana itu jatuh lagi ke atas telapak kakinya.
"Pinggang siapa yang begitu besar? Ini bukan ukuran manusia biasa, mungkin ini untuk sumo," gerutu Cherry sembari melemparkan kembali celana dalam itu ke dalam koper.
Cherry mengambil ekor panjangnya dan berlari keluar kamar. Seingatnya ia punya celana dalam berwarna hitam. Sekarang dirinya sedang mengobrak-abrik lemari untuk menemukan itu.
"Ini dia!" Cherry mengangkat setinggi mungkin celana dalam berwarna hitamnya. Meski celana dalamnya bermotif renda hitam dan tidak sama seperti yang ada di koper itu, Cherry tetap memakainya.
"Tinggal step terakhir!" Cherry memasangkan ekor di bagian bokongnya.
Ia menatap penampilan akhirnya di cermin. Mengibas-ngibaskan ekornya yang tampak lucu.
"Tapi mungkin aku tidak bisa menjadi kucing yang menggemaskan, costum ini lebih cocok menjadi kucing yang galak," gumam Cherry.
Cherry keluar dari kamarnya, ia melompat-lompat riang di anak tangga sambil sesekali mengibas-ngibaskan ekor panjangnya yang secara tidak langsung membuat dua daging di belakang tubuhnya yang menonjol itu ikut bergerak. Ia tertawa begitu puas.
Costum kucing yang dipakainya saat ini sangat cocok dengan tubuhnya walau dirinya kurang suka dengan warnanya.
Saat mencapai dasar tangga, matanya menangkap sosok Morgan yang terpaku di ambang pintu. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara terkejut, tak percaya, dan terlihat seperti ada tatapan tergoda di sana.
Cherry tersenyum penuh makna. Ini saatnya ia menjadi seperti kucing sungguhan. Langkah kakinya perlahan-lahan mendekati Morgan, sesekali ia menunjukkan ekornya sambil dikibaskan berulang kali, sengaja untuk semakin menggoda Morgan.
"Miaw!" Cherry tersenyum hingga matanya tertutup dan dua tangannya mengepal bergerak di samping pipinya.
Morgan meneguk saliva, jakunnya terlihat jelas tatkala naik turun. Matanya beralih melihat belahan dada gadis itu dan melihat ekor panjang yang bergerak-gerak seakan meminta dielus olehnya.
"Miaw!" Kembali, Cherry menirukan suara kucing, tapi kali ini hanya sambil mengedipkan mata.
"F**k," umpat Morgan saat mulutnya dibekap kuat dengan tangan kanannya.
"Suka?" tanya Cherry menggoda.
Pun Morgan menatap lagi manik mata Cherry. Ia mengelus dagu, berusaha untuk mengendalikan diri.
"What are you doing?" tanya Morgan dengan suara yang sangat pelan.
"Kalau kamu suka, kamu boleh mengelusnya. Kucing ini jinak dan sangat menyukai pria tampan seperti mu," ungkap Cherry dengan suara mendayu dan manja.
Morgan menggelengkan kepala mencoba menepis semua pikiran buruknya tapi sepertinya sia-sia. Ia merasa benar-benar telah kehilangan akal sehat. Ia tidak minum alkohol, tapi saat ini dirinya merasa sedang mabuk berat.
"Good, Aku tidak bisa lagi menahan diri."
wajar dia nggak peduli lg dgn ortu kandungnya secara dia dr bayi sdh dibuang.🥲