Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Azam, yang dulu aku dengar namanya langsung membuat aku berdebar-debar dan membuat pipiku memerah. Kini mendengar namanya, bagai bom waktu yang membuat aku ketakutan jika Aisha tahu yang sebenarnya. Aku menutupi segalanya dari semua anggota keluarga. Kakek pun tidak tahu, semua ku simpan rapat-rapat. Biar luka ini aku yang menanggungnya walaupun entah kapan akan sembuh.
"Aku tahu itu, Gus! Waktu yang menjadi saksi kala takdir mengubah semua dalam sekejap mata, tidak ada yang berkhianat takdir yang tidak berpihak pada kisah kita,"jawabku kemudian setelah lama terdiam.
Azam menghembuskan napas kasar. Dari sorot matanya yang aku lihat sekilas, tampak sebuah beban yang dia pikul sendiri. Aku bersyukur rumah tangga mereka berjalan dengan lancar dan damai. Aisha sering mengirimkan pesan jika Azam benar-benar suami idamannya.
Aisha mengetahui sosok Azam, saat Azam mengantarkan Sarah adik bungsunya masuk pesantren. Hari itu aku lupa hari apa yang jelas, aku sedang tidak ada di rumah karena pergi ke toko buku. Sebelumnya Azam sudah memberitahuku tentang kedatangannya ke pondok.
Ketika aku pulang di depan pagar rumah mobilku berlawan arah dengan mobil Azam. Aku tidak sadar dan tidak tahu jika sosok yang selalu di bicarakan Aisha itu Azam. Dia yang hanya melihat sekali dan tidak secara langsung bisa jatuh cinta. Lalu apa kabar dengan aku yang hampir setiap hari berjumpa di kampus?
Azam yang memiliki wajah yang manis serta mata yang teduh dia hampir mirip dengan Fedy Nuril, artis yang membintangi film Ayat-Ayat Cinta. Membuat aku nyaris depresi saat takdir berkuasa membentangkan jarak untuk kami bersama. Namun, ketika melihat wajah Aisha yang terlihat sayu membuat aku tetap diam dan merelakan dia menjadi iparku.
"Aku tahu, Neng.. Tapi, aku tetap merasa bersalah pada kamu juga Alisha!" balas Azam. Suaranya bagai sembilu yang menyayat hatiku. Suara ketidakberdayaan atas segala hal yang terjadi. Rumit, semua rumit bagai benang kusut yang susah untuk di urai.
"Jangan merasa bersalah padaku, Gus! Aku sudah ikhlaskan semuanya. Tolong jaga, Aisha untukku!" balasku kemudian dan bersiap pergi dari meja makan karena air mata ini terus saja mendesak untuk keluar.
"Neng Alisha, tunggu!" ucap Azam saat aku baru beberapa langkah menjauh.
"Apalagi, Gus? Sudah tidak ada lagi yang perlu di bahas kembali!" ucapku ketus. Tidak tahukah dia aku ingin segera melepaskan beban di mata yang semakin berat dan mengaburkan pandangan.
"Lalu kenapa belum juga menikah sampai detik ini, Alisha? Aku tahu ancaman Ayah jika tidak mau kembali ke Darul Arkom, kamu lebih memilih ke Darul Arkom tidak memilih untuk menikah?"
Pertanyaan Azam sukes membuat aku bungkam. Allah mengapa kau buat serumit ini? Aku ingin bebas, bebas dari rasa yang membelenggu jiwa raga. Aku sudah ikhlas menerima segalanya. Azam, pertanyaanmu mudah aku jawab jika rasa ini sudah sepenuhnya hilang.
"Kak Alisha... Mas Azam kok pada tegang semua wajahnya?"
Aku memejamkan mata berharap ini mimpi, perkataan Aisha masih terngiang di telingaku. Apa dia mendengar pembicaraanku dengan Azam? Aku dan Azam sama-sama terdiam belum ada yang menjawab pertanyaan Aisha.
Aku terjebak diantara dua orang yang aku cintai, tetapi yang membuat hatiku berdarah. Aisha kekuatanku juga kelemahanku. Aku sangat menyanyangi dia, apapun yang dia inginkan pasti akan aku berikan. Aku tak sanggup melihat dia terluka mengetahui kenyataan jika suaminya mantan orang terdekat kakaknya.
Aku kuat menerima kenyataan. Namun, belum tentu Aisha bisa seperti aku. Allah, berikan aku jodoh saat ini juga. Agar Azam tidak mengira jika aku menderita karena kesalahan dia dalam melamar.
"Kak Alisha.." Aisha kembali memanggil namaku. Aku memutar badan menatap Aisha yang berdiri di dekat Azam, di tangannya menenteng plastik berwarna hitam.
"Ada tikus tadi, Aisha.. Makanya kakak tegang! Kamu tahu kan kakak fobia sama tikus?" jawabku berkilah. Aisha nampak menarik napas lega, sepertinya dia tidak mendengar pembicaraanku dengan Azam.
"Iya,, Dek, tadi ada tikus lewat! Mas mau usir eh malah ngejar Neng Alisha,"tambah Azam. Maafkan hambamu ya Allah jika akan sering berbohong. Semua sudah jadi bubur, semoga Aisha tidak berpikir yang tidak-tidak.
"Terus tikusnya sekarang kemana, Mas? Ayah juga takut tikus bisa jantungan nanti!" ucap Aisha. Syukurlah jika Aisha benar-benar tidak mendengar soal tadi. Aku mendengus lega, keringat membasahi baju belakangku.
"Pergi setelah kamu datang, Dek! kan kamu pawangnya!" ucap Azam kembali bercanda yang membuat Aisha bersemu merah dipipinya. Satu sisiku aku bahagia adikku memiliki seorang suami yang sangat memujanya. Satu sisi hatiku sakit mengapa harus Azam yang menjadi suaminya. Mengapa harus aku yang merasakan semua ini?
Andai waktu bisa aku putar kembali, tidak ingin aku mengenal Azam jika hanya jadi adik iparku. Karena melupakan orang yang kita sayang, tidak semudah memasak mie instan yang hanya beberapa menit bisa langsung di makan.
"Assalamualaikum!" suara Ayah dan Ibu terdengar dari arah pintu masuk rumah. Ibu aku sangat rindu, aku ingin tidur di pangkuan ibu untuk meluahkan segala rasa.
"Waalaikumsalam Ibu," aku bergegas lari meninggalkan Aisha juga Azam.
Aku menyalami Ayah juga Ibu secara bergantian. Ibu menarik tanganku untuk duduk di sofa ruang tamu. Tidak ada yang berubah selama aku tidak berkunjung selama satu tahun ini. Hanya foto pernikahan Aisha juga Azam yang baru di ruangan ini. Senyum Aisha begitu sumringah, dia tampak bahagia sekali. Berbanding dengan Azam yang tatapan matanya kosong.
Lelaki yang selalu ceria itu tampak tidak bisa berbuat apa-apa karena baju pengantinnya. Aku meringis melihat foto itu, hatiku belum setangguh baja meski aku terus menempanya dengan doa. Hanya aku dan Allah yang tahu sebenarnya. Tentang betapa rapuhnya aku saat ini.
"Ayah kira kamu tidak mau balik lagi ke Darul Arkom, Neng!" ucap Ayah setelah beberapa saat hening. Aku mengukir senyum tipis. Aku tahu ada makna tersembunyi, berulang kali Ayah menyodorkan foto lelaki yang ingin mengajak aku untuk taaruf. Dan selalu aku tolak. Aku tahu niat Ayah mengancam agar aku pulang ke Darul Arkom atau menikah hanya trik Ayah agar putri sulungnya ini segera melepas masa lajang.
Sayang, putri sulungnya yang keras kepala ini lebih memilih sakit daripada menambah masalah dengan menikah. Sedang hati masih berantakan dan masih di isi sebuah nama yang tetap di gaungkan di sepertiga malam.
"Ini juga rumah Alisha, Yah! Ayah nggak suka Alisha balik ke Darul Arkom?" tanyaku pura-pura merajuk.
"Atau Alisha balik lagi ke rumah kakek?" tambahku lagi.