Sean, seorang Casanova yang mencintai kebebasan. Sean memiliki standar tinggi untuk setiap wanita yang ditidurinya. Namun, ia harus terikat pernikahan untuk sebuah warisan dari orang tuanya. Nanda Ayunda seorang gadis yatim piatu, berkulit hitam manis, dan menutup tubuhnya dengan jilbab, terpaksa menyanggupi tuntutan Sean karena ulah licik dari sang Casanova.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
"Itu… bukankah itu Kak Sean? Apa yang dia lakukan di sini? Apa dia juga bekerja di sini?"
Nanda bergumam pelan, matanya terpaku pada sosok pria yang tengah berjalan tak jauh darinya. Ia menghentikan sejenak aktivitas mengepelnya, kedua tangannya masih menggenggam erat gagang pel.
Sean semakin mendekat. Nanda merasakan debaran aneh di dadanya. Haruskah ia menyapa? Atau lebih baik berpura-pura tidak melihat?
Bagaimanapun, mereka tetaplah suami istri. Mereka tinggal serumah. Tapi setelah ucapan Sean tempo hari, apa pantas ia bersikap seperti istri yang menyapa suaminya?
"Mungkin sebaiknya aku melempar senyum," pikir Nanda. Ia menarik sedikit sudut bibirnya, mencoba bersikap ramah. Mereka saling mengenal, rasanya canggung jika ia hanya diam seperti orang asing.
Namun, harapannya hancur dalam sekejap.
Sean berjalan melewatinya begitu saja. Tatapannya lurus ke depan, tak sedikit pun memperhatikan Nanda. Tak ada sapaan, bahkan sekadar lirikan pun tidak.
Dada Nanda terasa diremas. Senyumnya yang sempat muncul perlahan memudar. Ia mengalihkan pandangannya, menelan pahitnya kenyataan.
"Aku harus terbiasa," bisiknya pelan. "Tidak saling kenal, tidak mencampuri urusan masing-masing."
Ia menggeleng, mengusir pikiran yang mulai memberatkan hatinya, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Nanda!"
Suara riang itu membuatnya menoleh. Seorang gadis berjilbab biru dengan seragam senada melambaikan tangan.
"Eni?"
"Pulang bareng yuk!"
Nanda sedikit terkejut dengan ajakan itu. Dulu, mereka sering pulang bersama karena kos mereka searah. Tapi sekarang, ia tak lagi tinggal di kosan.
"Pulang bareng?" Nanda mengulang pertanyaan Eni dengan ragu.
"Iya! Kita bisa cari makan dulu atau sekalian jalan-jalan sebentar. Gimana?"
Nanda terdiam sesaat. Ia tak mungkin pulang bersama Eni, apalagi membiarkan temannya tahu di mana ia tinggal sekarang.
"Em… nggak bisa, Eni. Maaf, aku ada urusan lain."
"Ehh? Mau ke mana?"
"Ke panti," jawab Nanda cepat, mencari alasan.
"Oh, ya sudah kalau begitu."
Eni mengangguk, tampak sedikit kecewa, tapi kemudian berlalu begitu saja. Nanda menghela napas lega.
Ia segera memesan ojek online untuk pulang. Motor yang biasa ia gunakan dulu sebenarnya milik panti, hanya ia pinjam sementara. Sekarang, setelah menikah, ia harus lebih mandiri.
Dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja ia melihat mobil Sean. Mobil sport kuning itu memang terlalu mencolok untuk diabaikan.
Namun, yang membuat Nanda membelalakkan mata bukanlah mobilnya, melainkan pemandangan di dalamnya.
Sean tidak sendiri. Seorang wanita duduk di sampingnya, wajahnya berbeda dari wanita yang Nanda lihat semalam. Mereka terlihat sangat akrab, bahkan tertawa bersama.
"Astaghfirullah…" bibir Nanda bergetar.
Matanya membulat, napasnya tercekat.
"Udah beda lagi? Secepat itu? Apa dia juga punya hubungan dengan wanita ini?"
Dadanya kembali terasa sesak.
Sean benar-benar tak peduli padanya. Tapi kenapa, meski sudah tahu sejak awal, rasa sakit ini masih terasa begitu nyata?
Nanda teringat dengan malam sebelumnya, saat ia berbelanja di sebuah swalayan.
Malam itu.....
Nanda melangkah ke dalam swalayan, pandangan Nanda langsung tertuju pada sosok Sean. Suaminya itu berdiri di depan rak display, tampak sibuk memilih produk. Namun, yang lebih menarik perhatian Nanda adalah wanita di sampingnya—berkulit putih, berambut panjang, dan mengenakan pakaian sedikit terbuka. Bukan hanya berdiri berdekatan, tangan Sean bahkan melingkar di bahu wanita itu dengan begitu alami, seolah mereka pasangan sejati.
Jantung Nanda berdegup kencang. Dengan cepat, ia bersembunyi di balik rak terdekat, menahan napas saat matanya terus mengawasi mereka dari sela-sela barang yang tertata rapi.
"Astaghfirullah... Apa yang dia lakukan di sini? Siapa wanita itu?" gumamnya pelan, dadanya terasa sesak melihat kemesraan yang terpampang jelas di depan mata.
Perlahan, ia mengintip lagi. Sean masih berdiri di sana, tersenyum lebar pada wanita itu, berbincang akrab seolah dunia hanya milik mereka. Nanda tidak bisa mendengar percakapan mereka, tetapi bahasa tubuh mereka cukup untuk membuatnya memahami situasinya.
Ketika menyadari bahwa Sean dan wanita itu mulai melangkah ke arahnya, Nanda buru-buru memutar tubuh, bergegas berpindah ke lorong lain sebelum mereka melihatnya. Ia bersandar di ujung rak, menekan dadanya yang terasa sesak.
"Sebenarnya, apa hubungan mereka? Jika dia punya wanita lain, kenapa malah menikah denganku? Bukankah lebih masuk akal jika dia menikahi perempuan itu?"
Berbagai pertanyaan berputar di kepalanya, tetapi ia tak punya jawaban. Hanya perasaan tak nyaman yang menggelayut di hatinya.
Setelah memastikan mereka sudah berbelok ke lorong lain, Nanda menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
"Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Urusanku dan dia hanya sebatas kontrak. Aku tidak berhak cemburu atau merasa sakit hati."
kembali ke masa kini, Nanda menggeleng, "Enggak usah dipikirkan, Nanda. Ingat, ini hanya pernikahan kontrak dan tidak mencampuri urusan masing-masing."
heheee... pasti kaget lou tau 🤭🙏🌹❤👍
dah tau sean udah muak sama kamu udah dblokir pula ehhh PD bgt sok nlpon2
🤭👍🌹❤🙏
sean siap siap otakmu dipenuhi nanda nanda dan nanda 🤣🤣