NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertarungan Dan Pilihan Lana

Leon menepati janjinya. 

Beberapa hari setelah pertemuan di kantor Sanjaya, berita mengejutkan mulai menyebar di kalangan petinggi Leonhart Group. Sanjaya, orang kepercayaan Tuan Besar Hartono selama puluhan tahun, tiba-tiba dicopot dari semua jabatannya. Tidak hanya itu, ada desas-desus tentang penyelidikan internal yang dilakukan Leon terhadap Sanjaya, mengungkap berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan praktik kotor yang selama ini ditutupi. Ini adalah deklarasi perang terbuka Leon terhadap pengaruh ayahnya, sebuah langkah berani yang tak pernah disangka siapa pun.

Lana mengikuti perkembangan ini dari jauh, dari apartemen Arvino. Hatinya diselimuti campuran lega dan khawatir. Lega karena ancaman terhadap ibunya dan dirinya telah mereda, setidaknya untuk saat ini. Khawatir akan konsekuensi dari tindakan Leon yang begitu frontal. Ia tahu, pertempuran ini belum usai. Tuan Besar Hartono pasti tidak akan tinggal diam.

Hubungan Lana dan Leon selama ini masih terbatas pada komunikasi formal terkait pekerjaan dan sesekali pesan singkat dari Leon yang mengabarkan progres terapinya. Lana bisa merasakan Leon berusaha menjaga jarak, menghormati keinginannya untuk ruang pribadi, bahkan di tengah gejolak yang sedang ia hadapi. Perubahan ini, meskipun lambat, terasa nyata. Ada kerentanan baru dalam diri Leon yang perlahan muncul.

Sementara itu, Arvino tetap menjadi benteng ketenangan bagi Lana. Ia tak banyak bertanya tentang Leon, hanya menyediakan bahu untuk bersandar, kopi hangat, dan percakapan ringan yang mengalihkan pikiran Lana dari beban yang ia pikul. Arvino adalah simbol kedamaian, sebuah masa depan yang mungkin lebih tenang dan bebas dari intrik.

Suatu malam, Lana menerima panggilan dari Leon. Suaranya terdengar lelah, namun ada nada kepuasan yang samar.

"Sanjaya sudah ditangani," kata Leon tanpa basa-basi. "Dia tidak akan bisa mengganggu siapa pun lagi. Ini adalah awal dari pembersihan besar-besaran di Hartono Group."

"Kamu baik-baik saja?" tanya Lana, ada nada khawatir dalam suaranya. Ia bisa membayangkan betapa beratnya pertarungan yang baru saja dilalui Leon.

"Aku baik-baik saja," jawab Leon, suaranya sedikit melembut. "Ada banyak hal yang harus kuurus sekarang. Tapi... ini demi kita."

Kata "kita" itu membuat jantung Lana berdebar. Apakah Leon masih menganggap mereka "kita", bahkan setelah semua yang terjadi?

"Lana," suara Leon terdengar ragu. "Aku tahu ini bukan waktunya. Tapi... bisakah kita bertemu besok? Aku ingin memberimu dokumen pembatalan kontrak. Semua sudah disiapkan."

Ada jeda. Lana merasakan napasnya tertahan. Ini dia. Momen yang ia tunggu-tunggu, kebebasan yang ia impikan.

"Baiklah," kata Lana akhirnya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan. "Di kafe biasa."

Pagi itu, Lana merasa gelisah. Ia telah membuat keputusan, sebuah keputusan besar yang akan mengubah arah hidupnya. Saat tiba di kafe, Leon sudah duduk di sana, mengenakan setelan gelap yang elegan. Ia tampak lebih tegap, lebih berwibawa, namun di matanya masih tersimpan jejak lelah yang dalam.

Leon meletakkan sebuah amplop tebal di atas meja. "Semua sudah ada di sini. Setelah ini ditandatangani, kamu bebas sepenuhnya."

Lana meraih amplop itu. Tangannya sedikit gemetar saat ia memegang dokumen yang selama ini ia idam-idamkan. Kontrak pernikahan palsu itu, jerat yang mengikatnya, akan segera berakhir.

"Leon," Lana memulai, mengangkat pandangannya. "Terima kasih."

Leon menatapnya. Ada tatapan yang sulit diartikan di matanya,rasa sakit, penyesalan, namun juga... penerimaan. "Aku sudah melakukan banyak kesalahan, Lana. Ini adalah satu-satunya hal yang bisa kuberi padamu sekarang,kebebasan."

"Aku tahu tentang ayahmu, Leon," kata Lana, mengubah topik. "Dan tentang ibumu. Aku sudah tahu semuanya."

Mata Leon melebar sedikit. Dinding pertahanannya, yang baru saja ia bangun kembali retak. "Siapa... siapa yang memberitahumu?"

"Itu tidak penting," jawab Lana. "Yang penting, aku mengerti sekarang. Aku mengerti mengapa kamu seperti ini. Mengapa kamu begitu... terikat."

Leon menundukkan kepalanya, menyembunyikan emosinya. "Aku tidak tahu bagaimana harus hidup tanpanya. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya tidak kehilangan siapa pun yang aku hargai lagi."

"Aku tahu itu menyakitkan," kata Lana lembut. "Tapi kamu tidak bisa mengendalikan semua orang, Leon. Kamu tidak bisa mengunci mereka dalam sangkar demi melindunginya. Itu bukan cinta."

Leon mendongak, matanya yang merah menatap Lana. "Lalu, apa itu cinta, Lana? Beri tahu aku. Aku tidak tahu."

Air mata mulai mengalir di pipi Lana. Ia melihat betapa putus asanya Leon. Betapa pria ini, di balik semua kekuasaannya, sebenarnya rapuh dan tak berdaya dalam memahami emosi paling dasar.

"Cinta itu... melepaskan, Leon," bisik Lana. "Membiarkan seseorang terbang, meski kamu takut dia akan jatuh. Memercayai bahwa dia akan kembali, bukan karena terpaksa, tapi karena dia memilihmu."

Leon terdiam, mencerna kata-kata itu. Kata-kata "melepaskan" adalah antitesis dari seluruh hidupnya.

"Aku... aku tidak bisa melepasmu, Lana," kata Leon, suaranya serak. "Aku tidak bisa kehilanganmu. Tidak lagi."

"Aku di sini, Leon," kata Lana. "Aku tidak akan lari. Tapi aku tidak bisa bersamamu jika kamu masih ingin mengurungku. Kamu harus berusaha untuk dirimu sendiri. Kamu harus sembuh."

Tiba-tiba, ponsel Lana berdering. Nama Arvino muncul di layar. Lana melirik ponselnya, lalu menatap Leon. Ada sedikit kilatan cemburu di mata Leon, namun ia berusaha keras mengendalikannya. Lana tahu, ini adalah ujian.

"Aku harus menjawab ini," kata Lana, meraih ponselnya.

Leon mengangguk pelan, sorot matanya menyiratkan persetujuan yang penuh kepedihan. "Tentu."

Lana mengangkat telepon. "Halo, Arvino."

"Lana, kamu di mana? Aku mencarimu," suara Arvino terdengar cemas. "Aku dengar Sanjaya sudah dicopot. Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu dengan Leon?"

"Aku baik-baik saja, Arvino," jawab Lana, suaranya sedikit bergetar. "Aku sedang... bertemu Leon. Kami sedang menyelesaikan beberapa hal."

"Selesaikan? Apa maksudmu?"

"Kontrak pernikahan kami... akan dibatalkan," kata Lana, kata-kata itu terasa aneh di lidahnya. "Leon sudah setuju untuk melepaskanku."

Di seberang telepon, Arvino terdiam sejenak. Lana bisa membayangkan ekspresi terkejut dan lega yang bercampur di wajahnya. Lalu, suara Arvino terdengar lagi, kini lebih tenang, namun penuh kelegaan. "Itu... itu kabar baik, Lana. Aku senang mendengarnya. Jadi... kamu sudah bebas?"

Lana menelan ludah. Ia menatap amplop di tangannya. "Ya. Secara hukum, aku akan bebas."

"Bagus," kata Arvino. "Aku akan menunggumu di apartemen. Kita bisa bicara lebih banyak."

"Oke," Lana mengiyakan, lalu menutup telepon.

Ia meletakkan ponselnya di meja, tatapannya kembali pada Leon. Ada senyum tipis di bibir Leon, senyum yang dipaksakan.

"Dia senang kau bebas," kata Leon, suaranya datar.

Lana mengangguk. "Dia adalah temanku."

"Dan apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Leon, matanya menatapnya lurus. "Apakah kamu akan pergi bersamanya? Meninggalkan semua ini?"

Lana mengambil napas dalam-dalam. "Aku... aku tidak tahu, Leon. Aku belum memutuskan. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya."

"Aku mengerti," kata Leon, suaranya penuh kekecewaan yang kentara. Ia tahu bahwa kebebasan Lana juga berarti kebebasan untuk memilih orang lain.

"Tapi ada satu hal yang ingin aku katakan padamu, Leon," kata Lana, memberanikan diri. "Aku... aku menghargai usahamu. Untuk mencari bantuan. Untuk mencoba berubah. Itu penting."

Mata Leon sedikit melebar. Ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Lana.

"Terima kasih, Lana," bisiknya, suaranya serak. "Itu... itu sangat berarti bagiku."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Atmosfer menjadi sedikit lebih ringan, tidak seberat sebelumnya. Mereka telah berbicara tentang kebenaran yang menyakitkan, dan meskipun itu belum menyelesaikan segalanya, itu adalah langkah maju.

Lana meninggalkan kafe itu dengan perasaan campur aduk. Ia memegang amplop berisi dokumen pembatalan kontrak. Amplop itu terasa berat di tangannya, bukan hanya karena kertas di dalamnya, tetapi karena beban keputusan yang akan ia ambil.

Ia tidak langsung kembali ke apartemen Arvino. Lana memutuskan untuk berjalan kaki, membiarkan pikirannya jernih. Ia menyusuri jalanan kota Sukabumi yang ramai, hiruk pikuk seolah meredam gemuruh di dalam hatinya.

Ia memikirkan Leon. Pria yang telah begitu menyakitinya, namun kini menunjukkan kerapuhan yang tak terduga. Pria yang di balik semua kekuasaan dan kekejamannya, adalah seorang anak kecil yang terluka, mencari cara untuk melindungi dirinya sendiri dari kehilangan. Apakah ia bisa membantu Leon? Apakah ia memiliki kekuatan untuk menjadi sumber penyembuhan bagi pria itu, tanpa mengorbankan dirinya sendiri?

Lana juga memikirkan Arvino. Pria baik hati yang selalu ada untuknya, yang menawarkan tempat aman tanpa tuntutan. Dengan Arvino, hidupnya mungkin akan lebih tenang, lebih stabil, bebas dari drama dan bahaya yang selalu mengelilingi Leon. Ia bisa membangun hidup baru, jauh dari bayangan masa lalu yang kelam.

Namun, ada juga bagian dari dirinya yang tidak bisa mengabaikan Leon. Tidak setelah mendengar semua kebenaran itu. Tidak setelah melihat air mata di mata pria itu. Apakah ia akan menyesal jika ia menyerah begitu saja pada Leon, membiarkannya berjuang sendirian?

Lana sampai di sebuah taman kota kecil. Ia duduk di bangku kosong di bawah pohon rindang, memejamkan mata, membiarkan angin membelai wajahnya.

Ia membenci Leon karena telah mencuri kebebasannya. Tapi ia juga bertanya-tanya, apakah ia telah mencuri kebebasan Leon untuk menjadi dirinya sendiri, untuk sembuh?

Ini bukan lagi tentang siapa yang salah atau benar. Ini tentang dua jiwa yang terluka, mencari jalan untuk kembali utuh.

Lana membuka matanya. Ia mengeluarkan dokumen dari amplop. Pembatalan kontrak. Kebebasan.

Ia memiliki pilihan. Sebuah pilihan yang akan mengubah segalanya.

Apakah ia akan menandatangani dokumen ini dan melangkah menuju hidup baru yang tenang bersama Arvino, melepaskan semua ikatan dengan Leon?

Atau, apakah ia akan memilih untuk tetap berada di samping Leon, menemaninya dalam perjalanan penyembuhan yang panjang dan tidak pasti, dengan risiko hatinya kembali terluka?

Hatinya bergejolak. Tidak ada jawaban yang mudah.

Ia menarik napas dalam-dalam, menatap langit Sukabumi yang mulai gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan, kelap-kelip seperti harapan yang samar. Lana tahu, apa pun keputusannya, hidupnya tidak akan pernah sama. Ia telah belajar tentang kekuatan, tentang luka, dan tentang arti sebenarnya dari kebebasan.

Dan malam itu, di tengah kegelapan kota, Lana harus memilih.

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!