Di suatu hari paling terpuruk di hidup Dinda, dia bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Wanita tua yang menawarkan banyak bantuan hanya dengan satu syarat.
"Jadilah wanita bayaran."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WB&CEO Bab 4 - Janji Kelingking
Setelah Alden pergi, Gaida mendatangi Dinda dan melempar sejumlah uang, bayaran pertama.
"Kerja bagus, Val," ucap Gaida dengan seringai dibibir. Dia lebih suka memanggil Dinda dengan nama yang dia beri, Valerie. Nama Dinda terkesan sangat kampungan baginya. Dia terlalu jyjyk untuk menyebutkan nama itu.
Menjadi salah satu kaum sosialita membuat Gaida memiliki standarnya sendiri dalam hidup, semuanya harus sempurna sesuai dengan taraf yang dia tetapkan.
Gaida tak ingin malu, jika teman-temanya tahu jika sang cucu menikah dengan pria miskin. Tak juga ingin teman-temannya tahu jika dia mengunakan cara kotor membayar seorang Dinda untuk merusak hubungan sang cucu.
Nama Gaida selama ini dikenal sebagai sosok yang dermawan, baik hati dan kaya raya.
Image yang dia bangun, akan dia jaga dan tidak ada siapapun yang boleh menghancurkannya. Alden si pria miskin ataupun Dinda si wanita bayaran.
Dan Dinda pun tergugu, dia menatap uang yang berhamburan di atas meja.
Meja yang sudah berantakan, bahkan sebagian uangnya masuk ke dalam mangkuk sup dan basah.
Melihat itu semua Dinda tidak merasa harga dirinya terluka, dia bahkan mengambil semua uang itu satu per satu. Yang kotor dia bersihkan ke tubuhnya sendiri.
Uang inilah yang akan dia gunakan untuk membayar semua pengobatan sang ibu selama pemulihan. Sementara biaya operasi semuanya sudah di tanggung Gaida.
Ya, bagaimanapun Gaida memperlakukan dia Dinda tak peduli, yang terpenting adalah sang ibu.
Dan melihat Dinda yang memunguti semua uang itu makin membuat Gaida tersenyum miring. Rakyat jelata memang seperti itu, haus akan uang.
"Terima kasih Nyonya," ucap Dinda, dia bahkan menundukkan kepalanya memberi hormat.
Tanpa menyahuti sedikitpun, Gaida lantas segera pergi lebih dulu dari sana.
Di restoran ini semua privasi pengunjung terjaga, Gaida merasa aman. Tak akan ada yang tau ulahnya hari ini.
Tanpa mengulur waktu lagi, setelah melihat Gaida keluar dari restoran ini Dinda pun segera berlari keluar. Dengan cepat langkahnya kembali menuju rumah sakit. Saat ini sudah jam 8 malam lewat, dua sangat yakin jika operasi sang ibu telah selesai.
Dinda berlari menuju lift, menunggu dengan rak sabar pintu lift itu akan terbuka.
"Ayo cepatlah!" gumam Dinda dengan tak sabar.
Dia bahkan sampai tak peduli jika pengunjung lain menatapnya dengan tatapan yang aneh. Wanita ini terlihat sangat cantik, namun tubuh dan bajunya sangat kotor.
Membuat beberapa pengunjung itu memilih untuk mengambil jarak, tak ingin dekat-dekat.
Bahkan saat pintu lift itu terbuka tak ada yang ingin masuk bersama Dinda.
Tapi wanita cantik dengan nama lengkap Adinda Holscher ini tidak peduli, dia dengan segera kembali menutup pintu itu dan menekan tombol lobby.
Di dalam kesendirian ini membuat Dinda jadi teringat ancaman yang diucapkan oleh Alden tadi, kata-kata yang keluar dengan tatapan setajam elang.
Aku tidak tahu apa tujuanmu melakukan ini, tapi ingatlah kata-kataku dengan sangat baik. Setelah malam ini, hidup mu akan lebih hancur dari pada hidupku.
Sesaat Dinda pun takut, bahkan saat kembali ingat tatapan mata tajam Alden membuat tubuhnya pun gemetar.
"Tidak, tidak perlu takut Din, ancaman dari orang miskin tidak akan ada gunanya. Dia tidak akan bisa melakukan apa-apa," ucap Dinda, bicara pada dirinya sendiri.
"Ya, nyonya Gaida memiliki kekuasaan yang lebih besar, aku hanya harus takut padanya."
Dinda terus saja bicara sendiri, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ancaman Alden tidak akan pernah terwujud.
Hidupnya tidak akan pernah hancur hanya karena pria miskin itu.
Dinda pun semakin memegang kuat tas kecil di tangan kanannya, tas yang sangat cantik berisi uang dari Gaida.
Jam setengah 9 malam Dinda baru sampai di rumah sakit, ternyata disana sudah tidak ada Sanny, asisten Gaida yang katanya akan menjaga sang ibu sampai dia kembali, yang katanya akan selalu memberinya kabar andai ada sesuatu yang terjadi pada ibunya.
Tapi ternyata Sanny tidak ada disini. Bahkan saat Dinda bertanya pada salah satu perawat, perawat itu mengatakan jika wanita muda itu pergi tak lama setelah dia dan Gaida pergi.
Mengetahui itu tentu saja Dinda merasa kecewa dan marah sekaligus, namun kedua perasaan itu seketika sirna saat dia mendapatkan kabar yang lebih baik.
Bahwa operasi sang ibu berjalan dengan baik, patah tulang di tangan kirinya pun telah ditangani.
Saat ini ibu Dinda tengah berada di ruang perawatan meski belum sadarkan diri.
Dinda pun mendatangi sang ibu, masuk ke dalam ruangan itu dan melihat ibunya terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya penuh luka berwarna merah yang belum kering.
Air mata Dinda kembali jatuh, kembali teringat dengan jelas kejadian naas tadi siang.
Saat sang ayah meninggalkan mereka dan ibunya jadi korban kecelakaan.
"Ma," panggil Dinda lirih, dia menarik kursi dan duduk di pinggir ranjang. Sekalian menatap lekat tubuh ibunya yang seperti hancur.
"Bangunlah Ma, ayo kita hidup bahagia tanpa pria badjingan itu ..."
"Aku akan melakukan apapun untuk membahagiakan Mama, aku akan buat pria itu menyesal telah meninggalkan kita ..."
"Ma," lirih Dinda, air matanya terus mengalir hingga membuat dadanya sesak.
"Setelah ini kita akan punya kehidupan yang lebih baik, percayalah, percayalah padaku. Jangan cemaskan aku, aku sedikitpun tidak bersedih pria itu pergi ..."
"Aku tidak butuh seorang ayah, aku tidak butuh ..."
"Yang aku butuhkan hanya Mama ..."
"Hanya Mama ..."
"Hanya Mama ..."
"Karena itu aku mohon sadarlah, jangan tinggalkan aku sendirian ..."
"Kalau Mama tega melakukan itu, aku pun akan mengakhiri hidupku sendiri dan menyusul Mama ..."
"Mama dengarkan?"
"Jadi aku mohon, segeralah buka mata."
Tangis pilu Dinda kembali terdengar, ruangan sunyi ini lantas penuh dengan Isak tangisnya yang tersedu.
Dendam di dalam hatinya untuk sang ayah semakin menumpuk. Dinda bahkan sudah menganggap ayahnya Mati.
Di dunia ini dia hanya hidup berdua dengan sang ibu.
Dinda pun tak Sudi lagi memakai nama Holscher dibelakang namanya, nama dari sang ayah yang terdengar sangat menjijikkan.
Semalaman Dinda terjaga, dia terus bicara ingin membuat sang ibu bangun.
Tapi hingga pagi tiba ibunya tak kunjung membuka mata.
Sampai akhirnya Dinda sadar, bahwa tubuhnya pun masih kotor, tercium sangat tak sedap.
"Mama tidak bangun pasti karena malas melihat ku kotor seperti ini, iya kan?"
"Baiklah aku akan mandi ..."
"Tapi janji satu hal padaku, saat aku keluar dari dalam kamar mandi nanti. Mama juga sudah membuka mata." terang Dinda.
Dia pun menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking milik sang ibu, seolah benar-benar sedang membuat janji.
Janji yang tidak boleh di ingkari sang ibu.