Putri Daniella menyukai Pangeran Felix dan ingin menikah dengannya. Tapi kehadiran sopir pribadinya Erik Sebastian merubah segalanya. Pemuda desa itu diam-diam mencintai putri Daniella sejak kecil. Seiring waktu, terungkap jika Erik adalah putra mahkota yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunnyku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Belum Bisa Memaafkanmu
Di pagi yang cerah namun terasa dingin di Istana Skandinavia, sinar matahari musim gugur menyusup melalui jendela-jendela tinggi, menerangi koridor batu pualam yang mengkilap seperti es.
Aroma kopi segar dan roti panggang menguar dari ruang makan, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang membawa daun kuning berguguran di taman luar.
Putri Daniella, yang masih terlelap di bawah selimut tebal berbulu, merasa tubuhnya berat, malam tadi penuh mimpi buruk tentang Felix dan Sabrina, membuat tidurnya tak nyenyak.
Tiba-tiba, suara kakaknya, Putri Dania, memecah keheningan kamar.
"Adikku tersayang, Pangeran Felix sengaja terbang pagi-pagi sekali untuk bertemu kamu. Ayo bangun, mandi lalu dandan yang cantik," kata Dania, suaranya penuh semangat tapi penuh kasih, sambil menarik tirai jendela agar cahaya lebih terang.
Daniella mengerang, matanya masih tertutup rapat, hati campur antara marah dan sedih-kenangan rumor kemarin malam membuatnya enggan menghadapi dunia.
"Ngapain juga dia datang pagi-pagi. Sista, aku gak mau ketemu dia. Males banget lihat wajahnya," tolaknya, suaranya serak dan penuh penolakan, menarik selimut lebih tinggi seolah ingin bersembunyi dari kenyataan.
Alecia, staf setianya yang berusia 24 tahun dengan rambut cokelat terikat rapi, berdiri di samping tempat tidur, tangannya tergenggam di depan dada.
Wajahnya penuh empati, matanya menatap Daniella dengan khawatir.
"Aku harap, Putri segera bangun, menemui Pangeran dan menyelesaikan semuanya," batinnya, hatinya ikut teriris melihat gadis yang biasanya angkuh itu kini tampak rapuh.
Alecia tahu betul malam tadi Daniella baru tertidur setelah larut malam, setelah membaca komentar-komentar di media sosial yang membuatnya gelisah.
Dania tak menyerah, duduk di pinggir tempat tidur dan mengusap rambut adiknya dengan lembut.
"Gak boleh gitu. Kalau ada masalah harus dihadapi, bukan dihindari. Temui dia, selesaikan semuanya dengan elegan sebagai seorang putri yang terhormat.
"Ayo," katanya lagi, suaranya tegas tapi penuh dukungan kakak, seperti angin yang mendorong daun jatuh untuk memulai yang baru.
Daniella menghela napas panjang, hatinya bergejolak, marah pada Felix, tapi juga takut kehilangan mimpi masa kecilnya.
Akhirnya, dia bangun, wajahnya masih kusut. Setelah mandi air hangat yang tak bisa hilangkan kegelisahan, dia berdandan sederhana: blouse putih lembut, rok midi biru muda, dan rambut pirangnya digerai dengan anggun.
Dengan langkah berat, dia menuju ruang makan, di mana aroma sarapan pagi, telur orak-arik, croissant hangat, dan buah segar, menyambutnya.
Di meja panjang berhias taplak sutra, sudah ada Ratu Sofia dengan senyum keibuan, Putri Dania yang ceria, dan Pangeran Felix yang tampan dengan mata elangnya, wajahnya penuh penyesalan tapi penuh harap.
"Selamat pagi, Putri Ella. Maaf kalau kedatanganku mengganggu tidurmu," kata Felix, berdiri sopan, suaranya lembut tapi gugup, matanya menatap Daniella dengan penuh kasih yang tak bisa disembunyikan.
"Selamat pagi juga, Pangeran Felix. Selamat datang kembali ke istana kami," ucap Daniella, berusaha tersenyum tipis meski hatinya berdegup kencang, duduk di kursi seberangnya untuk menjaga jarak.
"Yang Mulia Baginda Raja dan Pangeran Shawn sedang ada acara ya?" tanya Felix, mencoba mencairkan suasana yang tegang.
"Iya, harus menghadiri pembukaan sidang parlemen," jawab Ratu Sofia, suaranya tenang dan bijak, seperti ratu yang selalu menjaga harmoni.
"Ayo, silakan dicicipi makanannya," kata Ratu, mempersilakan dengan senyum hangat, mencoba membuat pagi itu terasa normal.
Sarapan berlangsung dalam keheningan yang canggung, hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring porselen.
Setelah selesai, Felix meminta waktu berbicara berdua dengan Daniella di ruang keluarga, ruangan hangat dengan perapian menyala, sofa empuk berwarna krem, dan jendela besar yang memandang taman bersalju tipis.
Daniella sengaja duduk di sofa yang jauh, tangannya memegang cangkir teh dengan erat, hatinya seperti badai yang siap meledak.
"Sweetie, gimana kabarmu?" tanya Felix, suaranya penuh kelembutan, mendekat tapi tak berani terlalu dekat.
"Yang jelas, aku masih sehat dan hidup," ketus Daniella, suaranya tajam seperti angin musim dingin, matanya menatap Felix dengan campuran marah dan luka.
"Ella sayang, aku tahu kamu pasti kecewa mendengar rumor itu. Aku bisa memahami bila kamu marah padaku," sebut Felix, suaranya penuh penyesalan, hatinya terasa berat melihat gadis yang disukainya begitu dingin.
"Apa Pangeran pikir aku bisa menganggap rumor itu angin lalu? Mungkin kalau dengan gadis, wanita, atau perempuan lain, aku bisa mengabaikannya, tapi tidak dengan si Sabrina itu," tegas Daniella, suaranya bergetar, air mata menggenang di pelupuk mata tapi dia tahan, tak ingin tampak lemah.
"Aku tahu, aku minta maaf. Semua salahku. Seharusnya aku membatasi diri untuk tidak berlibur dengan teman-teman perempuanku. Agar tidak ada kesalahpahaman diantara kita dan publik juga," jelas Felix, matanya memohon, tangannya terulur tapi ditarik kembali.
"Agar tidak ada kesalahpahaman diantara kita? Jadi bukan karena seharusnya kamu tidak melakukan itu untuk menjaga perasaanku sebagai kekasihmu?" balas Daniella, suaranya naik, hati terasa seperti ditusuk, dia merasa Felix hanya memikirkan citra, bukan hatinya.
"Bukan seperti itu maksudku. Aku benar-benar minta maaf sepenuh hati. Aku janji tak akan mengulanginya lagi. Aku tidak akan bertemu dia lagi," janji Felix, mendekati Daniella, memegang tangannya lembut.
Tapi Daniella melepaskan genggaman itu dengan cepat, bergeser menjauh, matanya menyala.
"Bagaimana aku bisa yakin Sabrina hanya sebatas teman? Sementara foto-fotomu bersamanya yang beredar sejak dulu, kalian tampak seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara?"
"Sabrina itu hanya teman, tidak lebih. Kamu harus percaya padaku. Tidak mungkin aku mempermainkanmu. Aku serius ingin kita bersama sampai ke gerbang pernikahan, hidup bersama, memiliki anak darimu, menua bersama," ungkap Felix, suaranya penuh emosi, matanya basah karena takut kehilangan.
"Aku tidak percaya padamu, kamu gak bisa meyakinkanku hanya dengan kata-kata kalau memang kalian tak punya hubungan spesial. Jadi, sebelum aku benar-benar yakin, sebaiknya kita break dulu beberapa bulan," tawar Daniella, suaranya tegas meski hati hancur, dia masih mencintai Felix, tapi luka itu terlalu dalam.
"Ella, tolong pikirkan masak-masak dan bijak sebelum kamu mengambil keputusan. Aku gak mau kita pisah. Aku hanya mau kamu. Apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya dan yakin pada apa yang kukatakan," sebut Felix memohon, berlutut di kaki Daniella, tangannya memegang rok gadis itu, wajahnya penuh keputusasaan.
"Sayang, kumohon, jangan seperti ini. Kita menikmati saat-saat bahagia bersama. Aku ingin terus bersamamu, menjalani hari-hari indah kita. Jadi tolong, jangan menawarkan opsi berpisah walau sementara," pinta Felix lagi, suaranya bergetar, air mata menggenang.
"Aku harus mengambil putusan itu," kata Daniella, melipat tangannya di dada, hatinya perang antara cinta dan harga diri.
"Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi? Hanya dalam waktu sehari, karena rumor itu cintamu luntur, pudar padaku? Apa aku bukan lagi laki-laki impianmu? Apa kamu tidak mau mempunyai kekasih pangeran lagi, tidak mau menjadi calon istri putra mahkota?" tanya Felix, suaranya pilu, berdiri pelan dan menatap mata Daniella.
"Aku masih sayang padamu, masih menginginkan itu semua," sebut Daniella, suaranya pelan, tapi tegas.
"Kalau begitu, maafkan aku dan jangan minta kita berpisah," kata Pangeran.
"Maaf, saat ini aku belum bisa memaafkanmu. Sekarang aku dalam keraguan, ketidakpercayaan padamu. Buktikan kalau kamu gak ada hubungan dengan gadis itu. Setelah aku yakin, maka kita akan bersama seperti sebelumnya," pinta Daniella, matanya menatap Felix dengan campuran harap dan sakit.
*********