NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:681
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18 - Unscripted

Vee

Ini pertama kalinya kami bertemu lagi sejak ciuman itu. Ciuman pertama kami. Dan sejak kami diam-diam menyebut satu sama lain sebagai “kita.” Melihatnya sekarang benar-benar menguji konsentrasiku. Setiap kali ia bicara, pikiranku kembali ke suaranya waktu itu. Lembut, rendah, tapi penuh keyakinan “Aku ingin kamu jadi milikku.”

Sekarang, ia duduk di seberangku. Kami bertiga—Thomas, Tyler, dan aku—berada di ruang diskusi rumah keluarga Hunt. Di hadapanku, Tyler fokus membaca catatan dari pertemuan sebelumnya. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tegas. Man bun andalannya setengah terlepas, beberapa helai rambut jatuh ke pelipis.

Dan entah kenapa, justru itu yang membuatnya terlihat lebih… berbahaya. Lebih manusiawi. Lebih—

Snap.

Ikatan rambutnya putus, dan rambutnya terurai perlahan.

Aku tidak sadar menarik napas lebih cepat. Untuk alasan konyol, momen kecil itu terasa seperti simbol. Seperti dinding yang selama ini ia bangun, sudah retak.

“Sinclair.” Suara Thomas menghantam kesadaranku.

Aku langsung tegak. “Ya, Profesor?”

Ia menyipitkan mata. “Apakah kau mendengar apa yang baru saja ku katakan?”

“Maaf, fokus saya... teralihkan,” jawabku cepat.

Thomas menghela napas panjang. “Hah. Tidak fokus.” Ia berpaling ke Tyler, yang masih sibuk menata rambutnya yang kini jatuh menutupi bahu. “Dan kalau kau sudah selesai bermain-main dengan rambutmu, Hill, kita punya hal penting untuk dibahas.”

Tyler terdiam, tangannya berhenti. Rambutnya tetap berantakan, dan aku benci karena itu membuatnya semakin tampan.

Thomas menatap kami bergantian. Senyumnya muncul pelan tapi tajam, seperti sedang menertawakan sesuatu yang hanya ia pahami. “Kau tahu, Hill,” katanya santai, “untuk seseorang yang hidupnya selalu penuh kontrol, kau sangat buruk menyembunyikan perasaanmu.”

Jantungku berhenti berdetak. Tyler menegang.

Thomas bersandar santai, lalu—seolah tidak baru saja meledakkan ruangan dengan kata-katanya—menyerahkan dua map ke meja.

“Baiklah,” katanya ringan. “Kita ke hal yang penting. Ada dua naskah dari mahasiswa scriptwriting tahun ini yang menurutku menonjol. Aku ingin pendapat kalian berdua.”

Aku menarik salah satu map pertama. Judulnya Ashes of Winter.

Hanya membaca sinopsisnya saja sudah membuat dadaku menegang—kisah tentang pianis yang baru keluar dari penjara dan harus menghadapi keluarganya sendiri yang menolak memaafkan. Sebuah cerita tentang kesalahan, cinta, dan penebusan.

“Aku suka ini,” kataku tanpa sadar. “Sederhana, tapi kuat. Kalau kita mainkan dengan jujur, penonton akan merasakan emosinya secara langsung.”

“Tidak,” Tyler menjawab pelan tapi pasti. “Terlalu gelap. Terlalu mudah ditebak.”

Aku mendongak. “Gelap bukan berarti buruk.”

“Benar,” katanya, suaranya tenang tapi dingin. “Tapi kalau cerita yang sama sudah pernah kita lihat seratus kali, maka tidak ada alasan baru untuk menceritakannya lagi. Apalagi kita bukan studio besar dengan aktor profesional.”

Aku menahan napas, mencoba tidak terpancing. “Kadang, bahkan kisah yang sederhana bisa terasa baru jika dijalankan dengan tulus. Kamera bisa menipu, tapi emosi tidak.”

“Dan emosi tanpa arah hanya jadi melodrama,” balasnya cepat.

Aku menutup map itu dengan sedikit terlalu keras. “Baik. Kita lihat yang berikutnya.”

Map kedua bertuliskan The Last Letter. Seorang jurnalis menemukan surat dari masa lalu. Misteri, waktu yang bertumpuk, kisah yang menembus generasi. Naratifnya kuat. Tapi hatiku terasa berat

“Yang ini,” Tyler berkata sebelum aku sempat mengeluarkan suara. Ia menepuk map itu. “Ambisius, padat, kompleks. Thomas bisa menunjukkan keahliannya di sini.”

Aku membaca lagi sinopsis di halaman pertama. Memang menawan. Tapi dingin. “Ceritanya brilian,” kataku akhirnya, “tapi tidak punya nyawa. Penonton tidak akan merasa terikat, mereka akan sibuk memikirkan teka-tekinya, bukan merasakannya emosi filmnya.”

Tyler menatapku, matanya tajam. “Dan Ashes of Winter terlalu aman. Keintiman tanpa keberanian hanya jadi kelembutan kosong.”

“Lalu apa salahnya dengan kisah yang jujur dan lembut?”

“Karena dunia tidak butuh lagi kisah yang sama, hanya dikemas lebih indah.”

Ketegangan di udara menebal, panas, nyaris terasa fisiknya. Thomas, yang sejak tadi diam, akhirnya tertawa kecil. “Nah. Itu dia.”

Kami berdua menoleh.

“Gairah,” katanya pelan, suaranya nyaris lembut. “Aku akan khawatir kalau kalian cepat setuju. Pertentangan itu bahan bakar sinema.”

Ia menepuk ujung jarinya di atas meja, pelan dan teratur. Lalu menatap kami satu per satu, seperti sedang menimbang dua dunia yang bertabrakan.

“Kedua argumen kuat,” katanya akhirnya. “Tapi aku hanya bisa memilih satu film. Jadi, salah satu dari kalian harus mengalah.”

Hening. Jantungku berdegup begitu keras sampai aku bisa mendengarnya sendiri.

Thomas memberi isyarat. “Yakinkan aku. Kenapa pilihanmu lebih layak?”

Tyler bicara lebih dulu. Suaranya dalam, mantap. “Karena The Last Letter menembus batas. Cerita yang tidak mudah diurai, tapi begitu masuk, tidak bisa dilupakan. Ia bukan hanya kisah, tapi pengalaman visual. Ini film yang menantang.”

Aku menarik napas panjang. Kata-katanya benar. Tapi hatiku menolak menyerah. “Ashes of Winter juga pengalaman,” kataku. “Hanya saja, ia tidak berteriak. Ia berbisik. Film ini bicara tentang manusia, tentang kesalahan yang terlalu manusiawi. Tentang cinta yang bertahan bahkan ketika dunia sudah berhenti percaya. Ini bukan tentang trik, tapi tentang kebenaran.”

Tyler menatapku lama. “Dan penonton akan melupakannya begitu kredit bergulir.”

Aku menatap balik tanpa gentar. “Tidak, kalau kita melakukannya dengan benar.”

Hening menebal. Thomas akhirnya bersuara lagi. “Hill.”

Tyler langsung tegak, siap menerima apapun.

Thomas bersandar, menautkan jemarinya di depan wajah. “Aku menghormati ambisi,” katanya perlahan. “Tapi selama hidupku, aku berpegang pada satu hal bahwa cerita di atas segalanya. Karakter lebih dulu diatas pertunjukkan.”

Lalu matanya berpindah padaku. “Sinclair benar. Ashes of Winter.”

Dunia berhenti sesaat. Tyler menunduk. Rahangnya mengeras, tapi ia tidak bicara. Hanya satu anggukan kecil, berat, tapi elegan.

Thomas menepuk map itu. “Keputusan dibuat. Sekarang, langkah berikutnya—casting.”

Ia memindahkan kedua map itu ke sisi meja.

“Tidak ada aktor profesional. Semuanya dari mahasiswa Ashenwood. Kalian berdua yang akan memimpin audisi terbuka. Mari lihat bagaimana kalian menghadapi manusia sungguhan.”

Dadaku berdebar. Audisi. Proyek ini benar-benar dimulai.

Tyler menatapku sejenak, wajahnya masih dingin, tapi di matanya ada sesuatu yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Dan Thomas hanya tersenyum samar, seolah melihat sesuatu jauh lebih dalam dari yang kami berdua sadari.

\~\~\~

Tyler

“Kamu benar-benar menyebalkan,” Vee berkata dari kursi penumpang, lengannya disilangkan di dada.

Kami baru saja keluar dari rumah Hunt. Ia masih cemberut, bibirnya mengerucut sedikit, mata hazelnya menatap jendela. “Berhenti bersikap dingin kepadaku,” katanya lagi. “Menyebalkan tahu nggak.”

Aku menahan senyum. “Aku tidak bermaksud bersikap dingin, Vee. Kita sedang berdiskusi. Wajar kalau kita nggak selalu sependapat.”

“Diskusi?” ia menatapku, nada suaranya meninggi sedikit. “Kamu seolah-olah sengaja beda pendapat cuma buat... bikin aku kesal.”

Aku meliriknya sekilas. Pipinya masih memerah karena marah, tapi aku tahu itu bukan sepenuhnya karena kesal. Tanganku bergerak sebelum sempat kupikirkan. Kuingin menenangkannya, jadi aku meraih tangannya pelan, lalu mengecup punggung tangannya singkat.

“Maaf,” kataku rendah. “Aku terlalu terbawa suasana tadi.”

Ia menatapku kaget—bahkan napasnya tertahan sesaat—sebelum cepat-cepat menarik tangannya lagi. Tapi aku sudah sempat melihat rona merah muda di pipinya, matanya yang menghindar. Aku tersenyum kecil, menatap jalan lagi.

“Gimana kalau... aku menebus kesalahanku dengan kencan?” kataku akhirnya. Ia berpaling, alisnya terangkat. “Sabtu malam. Kita nonton film favoritmu, lalu makan malam. Deal?”

Ia berpikir sejenak, pura-pura menimbang-nimbang, lalu berkata pelan, “Dengan satu syarat.”

Aku melirik ke arahnya. “Apa?”

“Rambutmu.” Ia menatapku lekat-lekat. “Tetap seperti ini mulai sekarang.”

Aku refleks menyentuh rambutku. Rambut ini belum panjang, tapi sudah cukup untuk jatuh ke bahu. Biasanya kuikat rapi agar tidak mengganggu. Sekarang, karena ikatannya putus, rambutku tergerai bebas. “Rambutku?” aku mengulang, pura-pura tidak mengerti.

“Iya,” katanya mantap. “Kamu kelihatan lebih muda, lebih rileks… lebih tampan.”

Kupingku langsung panas. “Vee.”

“Oh my God,” katanya sambil tertawa. “Kamu tersipu ya? Kamu tersipu! Aku lihat sendiri, wajahmu merah, Professor Hill.”

Aku tertawa pelan, tapi menatapnya dengan pura-pura waspada. “Awas kalau kamu bilang ke siapa pun. Ada reputasi yang harus kujaga.”

“Oh, tentu.” Ia menatapku dengan tatapan geli. “Reputasi sebagai dosen pengganti paling dingin di Ashenwood, kan? Tapi ternyata... aku benar selama ini.”

Aku mengangkat alis. “Benar soal apa?”

“Dibalik semua itu,” katanya sambil tersenyum lembut, “ada hati yang hangat.”

Aku terdiam beberapa detik. Sial. Dua kali dia memujiku malam ini, dan entah kenapa rasanya seperti dua pukulan telak di dada. Aku menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan, menyembunyikan senyum kecil yang tak bisa kutahan.

Vee.

Gadis ini benar-benar mengobrak-abrik hatiku, dan aku bahkan tidak ingin menghentikannya.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!